Tama nekat mengatakan itu karena sedikit melihat lampu hijau dari senyum Mira, tapi sayangnya senyuman itu terganti dengan wajah emosi wanita hamil itu, Tama tidak tahu kalau modal nekatnya akan membuat Mira semarah ini.
“Kau benar-benar tidak sopan!” protes Mira.
Mira memang membenci suaminya yang berselingkuh, tapi perkataan Tama tidaklah lucu. Entah itu bercandaan atau apa, yang jelas Mira sangat tidak suka dengan perkataan yang dianggapnya tidak sopan.
“Aku tidak tahu kalau perkataanku membuatmu marah, aku hanya bercanda dan berniat menghiburmu,” ujar Tama.
Salah satu yang ada di pikirannya adalah meredakan emosi Mira dulu, jangan sampai Mira membencinya setelah bertahun-tahun lamanya dia menemukan wanita itu.
“Itu tidak lucu dan aku juga tidak terhibur!”
Teriakan yang tertahan dengan berbisik, di mata Tama terlihat jadi sangat menggemaskan, mau semarah apa pun Mira di matanya tetap sangat cantik.
“Oh, ya? Kalau begitu menikahlah denganku sungguhan, aku akan membahagiakanmu,” goda Tama.
Berniat menahan emosi Mira, tapi malah Tama yang tidak bisa menahan diri untuk menggoda Mira. Wajah memerah Mira yang kesal menambah pesona wanita itu di mata Tama.
“Kau benar-benar gila!”
***
Baru sampai di rumah tapi Mira sudah dimaki oleh ibu mertuanya yang sudah menunggu mereka di sana. Padahal baru sampai, tapi Dewi sudah menyuruhnya dengan makian dan sumpah serapah tanpa mengerti kondisinya.
Mira langsung melenggang diri ke dapur tanpa berkata apa pun, membawa rasa sakit hatinya ikut pergi meninggalkan mereka berdua di sana. Mira mulai mencuci piringnya satu per satu beriringan dengan air matanya yang menetes.
“Mir … biar aku bantu,” ucap suara pria yang begitu familiar di telinga Mira, siapa lagi kalau bukan suaminya.
“Tidak perlu, Mas. Nanti ibu marah lagi,” balas Mira dengan suara tercekat.
Bima meraih piring yang ada di tangan Mira berniat membantunya, tapi Mira menepis kasar tangan suaminya.
“Aku bilang tidak perlu, Mas!” teriak Mira yang sedari tadi menahan emosinya.
“Maafkan aku ….” Bima hanya bisa menghela napas berat melihat sudah dua kali istrinya berteriak begitu padanya.
Wanita mana yang tidak sakit hati? Punya suami pernah berselingkuh dan mertua yang tiap hari menghinanya sebagai anak haram yang tidak pantas bersanding dengan putranya.
“Kau … Ibu … kalian terlalu jahat padaku, sebenarnya apa salahku sampai aku harus dapat perlakuan seperti ini dari kalian. Setiap hari aku selalu berusaha menjadi istri dan menantu yang baik! Tapi kalian sama sekali tidak menghargai posisiku di sini.” Mira menumpahkan semua kekesalannya sambil berurai air mata.
Tiba-tiba Dewi datang dari belakang. “Kau ini benar-benar tidak tahu diri, Mira!”
“Baru disuruh cuci piring saja hatimu sudah busuk begitu, Mir! Kau bilang aku dan anakku jahat?! Apa kau tidak sadar diri, Mir?! Kalau kami jahat, kami tidak akan membiarkanmu masuk dalam keluarga ini …! Harusnya kamu berkaca diri, sudah bagus anakku mau menikahimu! Anak haram dari wanita yang menjadi istri kedua, kau dan ibumu itu yang buruk, bukan aku dan anakku!” maki Dewi yang baru saja datang.
“Ibu!” tegur Bima pada ibunya dengan penuh kehati-hatian takut melukai perasaan ibunya dan juga perasaan istrinya.
Mata Mira langsung mengembun air mata lagi, kedua tangannya mengepal di kedua sisi dan bibirnya bergetar menahan rasa sakit yang teramat sangat.
“Aku bukan anak haram, Bu …!” teriak Mira sekuat tenaga melampiaskan semua amarah yang dari tadi dia tahan.
Air matanya mengalir tidak terbendung lagi menatap ibu mertuanya dengan nyalang, mungkin sebelumnya Mira masih segan menundukkan pandangannya, tapi tidak kali ini.
“Aku bahkan lahir setelah tiga tahun pernikahan ayah dan ibuku! Tapi Ibu masih menyebut aku anak haram, di mana perasaan Ibu sebagai sesama wanita?! Ibu memang menerimaku di rumah ini, tapi Ibu tidak pernah menerima aku sebagai menantu Ibu selama ini!” Akhirnya Mira bisa menjelaskan kekesalannya selama ini pada ibu mertuanya.
“Berani kamu berteriak padaku?! Memangnya ada ibu yang rela putranya menikah dengan wanita yang lahir dari ibu pelakor seperti ibumu?! Dari awal pun aku tidak setuju putraku menikahi wanita sepertimu!” teriak Dewi balik.
Mira tidak sanggup melanjutkan perdebatan lagi dengan ibu mertuanya karena dia tahu, dalam perdebatan itu dirinyalah yang akan makin tersakiti dengan semua makian serta hinaan yang yang terlontar dari ibu mertuanya selanjutnya.
Mira langsung melengos pergi meninggalkan cucian piring yang baru setengah dia kerjakan dan tanpa sadar Mira juga menyenggol piring hingga jatuh menimbulkan suara dentuman kuat, tapi Mira tidak peduli, dia terus melanjutkan langkahnya menuju kamar tanpa menoleh sekalipun ke belakang.
***
“Lihat saja kau, Mas. Jika kau terus menghindariku, aku yang akan berjalan mendekat sampai kamu tidak bisa lari ke mana pun,” gumam Arumi.
Arumi mengetuk pintu rumah itu dengan berani tanpa memperdulikan hal yang akan terjadi kedepannya, dia hanya bertekad untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Pintu terbuka menampakan wanita hamil yang dikenal sebagai istri Bima, Mira memang sangat cantik sampai membuat Arumi merasa iri dalam hatinya, tapi itu sama sekali tidak mengurungkan niatnya sedikitpun.
“Apa boleh saya masuk?” tanya Arumi tanpa basa-basi.
Sedangkan Mira masih menatapnya bingung.
“Mas Bima, mengenal saya,” ucap Arumi karena Mira masih diam saja tidak mempersilahkan dirinya masuk.
“Ah, ya, silahkan masuk.” Akhirnya Mira membalas perkataan Arumi dengan begitu lembut.
Semerbak harum ruang tamu rumah itu tercium begitu Arumi memasuki kediaman Bima, Arumi langsung menduduki dirinya tanpa disuruh.
“Siapa yang datang, Sayang?” tanya Bima yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Tidak tahu, katanya kau mengenal dia,” jawab Mira menghampiri suaminya.
Baru saja Bima menoleh ke arah tempat duduk di sana, jantungnya langsung berdebar panik melihat Arumi yang sudah berada di sana dengan senyum merekah menyapanya.
Bima duduk di hadapan Arumi dengan gemetar, sedangkan Mira ikut duduk dengan perasaan yang penasaran ada apa pagi-pagi seorang wanita datang ke rumahnya, pandangan Mira menelisik sepertinya dia pernah melihat wajah Arum, tapi Mira sendiri bingung kapan dia pernah melihatnya.
“Aku tidak mau basa-basi lagi, Mas, Mbak, aku hamil anak Mas Bima,” ucap Arumi memberi kejutan kedua untuk Bima setelah kedatangannya.
Arumi menyerahkan testpack dan surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa dirinya tengah hamil satu bulan. Bagai disambar petir di siang bolong kaki Mira langsung lemas dan dengan tanggal Bima menyanggah tubuh istrinya agar tidak luruh ke bawah.
“Kau benar-benar pembohong! Kau bilang hanya satu malam bersamanya, tapi sampai dia hamil dengan usia kandungan satu bulan …,” lirih Mira.
“Aku mau Mas Bima bertanggung jawab dan menikahiku,” ungkap Arumi pada keinginannya.
Bima melotot ke arah Arumi yang masih tersenyum licik, Bima tidak pernah berpikir kalau Arumi akan sangat nekat mendatanginya di depan Mira yang sudah jelas istri sahnya.
“Rum, kita melakukannya karena sama-sama mau, kenapa kamu menuntutku untuk bertanggung jawab, sedangkan kau tahu kalau aku punya istri dan tidak bisa jika harus bertanggung jawab padamu,” kilah Bima.
“Jadi Mas Bima ingin lari dari tanggung jawab dan mencuci tangan sendiri? Kita memang melakukannya atas dasar sama-sama mau dan sama-sama suka, tapi bukannya kita juga harus menanggung masalah ini bersama? Kenapa Mas Bima hanya melimpahkannya padaku?” sanggah Arumi pada kilahan Bima.
“Tapi Rum, aku sudah punya istri, aku tidak mungkin menceraikan istriku hanya demi kau, istriku juga tengah hamil,” kilah Bima lagi.
“Aku tidak peduli mau apa kau mengatasi itu, yang jelas kau sekarang harus menikahiku karena aku hamil anakmu, mau jadi istri kedua pun aku tidak masalah yang penting kita menikah, jangan coba-coba kabur dari tanggung jawab karena aku akan melaporkanmu jika tidak mau menikahiku!” ancam Arumi.
“Jadi kau … kau yang mengirim foto-foto itu? Pantas saja wajahmu tidak asing, jadi kau yang tidur bersama suamiku malam itu di hotel.” Akhirnya Mira mengeluarkan suara lagi selama dari tadi diam mengumpulkan keberanian.
“Iya Mbak, aku yang mengirim itu semua, agar Mbak tahu kalau suamimu juga menjalin hubungan dengan wanita lain, yaitu aku,” ucap Arumi pantang mundur.
“Kau sampai mengirim itu segala ke istriku, berarti dari awal kamu memang berniat merusak rumah tanggaku,” ujar Bima yang baru tahu kalau Mira mendapat kiriman foto dari Arumi, ternyata mereka ketahuan karena Arumi sendiri yang membongkarnya.
“Yang dari awal menghancurkan rumah tanggamu ya kau sendiri, kenapa kau coba-coba selingkuh? Sekarang sudah seperti ini kau mau menyalahkan aku sendiri? Enak saja kau, Mas!” Arumi menaikan nada bicaranya.
“Aku tidak akan memberikan izin untuk kalian menikah, aku tidak mau di madu,” ucap Mira dengan suara tercekat.
“Jangan egois, Mbak. Aku juga hamil anak Mas Bima, mau tidak mau kau harus berbagi suamimu untuk menikahiku, anggap saja ini karma dari ibumu dulu yang jadi istri kedua juga sama sepertiku,” ucap Arumi.
Mira menatap suaminya tidak percaya kalau bima menceritakan hal itu pada orang lain juga, apakah dirinya sangat terlihat remeh dan tidak bisa dihargai sebagai seorang istri sampai suaminya tidak hanya berselingkuh, tapi juga menyebarkan cerita tentang dirinya.
“Kau benar-benar kelewatan, Mas!”
***
“Jadi wanita itu beberapa kali mengunjungi dokter kandungan dan sekarang sedang ke rumah pria itu untuk meminta dinikahi?” tanya Tama memastikan.
“Ya, sepertinya begitu, saya lihat mertuanya sudah kembali dari berbelanja, sepertinya mereka akan mulai berdebat lagi.”
“Terus awasi mereka dan kabarkan hal terbaru, apalagi tentang Mira jangan sampai ada yang terlewat.” Tama menutup teleponnya secara sepihak.
Tama menyunggingkan senyum miringnya membayangkan apa yang akan terjadi pada Mira, wanita incarannya selama ini yang sudah dia cari-cari sekian lama dan ternyata sudah menikah oleh pria yang dianggapnya sebagai penjilat.
“Kesian sekali nasib wanitaku di tangan penjilat sepertimu, semoga saja kalian bercerai karena Mira sama sekali tidak pantas dengan pria bodoh sepertimu, gaji tidak seberapa tapi sudah berani-beraninya berselingkuh, dasar pria t***l!” ucap Tama bermonolog sendiri.
“Andai saja dulu tidak terjadi tragedi itu, pasti kau sudah menjadi istriku, tapi sayangnya mereka menyembunyikan mu dan menawarkan aku pengantin lain hanya karena alasan ibumu bukan istri sah, padahal aku lebih tertarik padamu dibanding kakakmu,” gumam Tama lagi.