“Mir …,” panggil Bima pelan. Mira tidak mendengarkan panggilan Bima, dia masih terus menangis tergugu dan terus-menerus mengusap air matanya yang tidak kunjung berhenti. Raungan tangisan terdengar begitu pilu menyapa suasana hening di ruangannya, tidak peduli jika dia dianggap cengeng, salah satu menyalurkan dan meluapkan kesedihannya hanyalah menangis, tidak ada cara lain lagi. “Mir … sudahlah, mungkin—” “Sudah aku bilang dia mendorongku, Mas …!” teriak Mira pecah memekik keheningan. Matanya yang merah terus berlinang menyedihkan, napas Mira tersengal-sengal karena mendapati kenyataan yang pahit tiada tara. “Tidak, Mas. Jangan salah paham, aku tidak sengaja, tapi Mbak Mira malah mengatakan aku mendorongnya, itu murni kecelakaan!” kilah Arumi. Persetan dengan pembelaan Arumi. Mira s