Pagi itu, Jakarta belum terlalu macet, tapi hati Anggita sudah deg-degan seperti mau wawancara kerja. Di kursi belakang mobil, sebuah kotak kecil berisi mug keramik bertuliskan "Best Husband, Even Better Drama Queen" tergeletak rapi dalam tas kertas cokelat.
“Gila, aku beneran mau ngasih ini ke direktur Rafka Wijaya?” gumamnya sambil menatap bayangan sendiri di kaca jendela. “Ya ampun, ini kayak mau kasih prank ke CEO perusahaan.”
Meski ragu, tapi Rafka adalah suaminya sendiri. Suami yang di rumah bisa manja banget, suka peluk diam-diam dari belakang pas dia lagi scroll sosial media.
Anggita ingin memberikan serangan balasan pada Rafka karena beberapa hari ini, suaminya yang sering memberikan kejutan untuknya sehingga dia merasa perlu melakukan sesuatu. Sepertinya jiwa tidak ingin kalahnya masih ada, sama seperti dulu.
Anggita melangkah ke gedung tinggi bercat abu-abu di Jakarta Selatan, menatap logo besar stasiun TV tempat Rafka jadi direktur utama. Ruangan lobi megah dan parfum mahal bercampur dengan bunyi sepatu hak. Ia melangkah pelan ke resepsionis.
“Permisi… saya mau ke ruang Pak Rafka Wijaya,” katanya pelan.
Petugas resepsionis mengangkat wajah, sempat tertegun sebentar. “Maaf, sudah ada janji, Bu?”
Anggita tersenyum. “Nggak, tapi bilang aja ini urusan rumah tangga yang mendesak.”
Butuh waktu beberapa detik sebelum resepsionis itu sadar siapa yang berdiri di depannya. “Ah, maaf anda istri direktur, ya?”
Anggita menahan tawa. “Iya, tapi tolong jangan kenceng-kenceng. Nanti Rafka teriak kegirangan.”
Beberapa menit kemudian, dia berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan Director Office : Rafka Wijaya. Ia bisa melihat dari balik kaca, Rafka tengah berdiri di depan meja, berbicara dengan sekretarisnya, seorang perempuan berpenampilan profesional dengan rambut cepol rapi.
Wajah Rafka serius sekali, setelan jas abu muda yang melekat di tubuhnya kelihatan mahal, dan setiap gerakannya terukur.
Anggita berbisik pada dirinya sendiri, “Astaga, ini suamiku? Kok kayak aktor Korea versi saham naik?”
Ketika sekretaris keluar dan melihat Anggita, dia tampak agak kaget. “Oh, Bu Anggita! Silakan masuk, Pak Rafka baru saja selesai meeting.”
Begitu pintu tertutup, Rafka mendongak. Ekspresinya semula dingin berubah seketika—bukan sepenuhnya hangat, tapi jelas-jelas bergeser.
“Kenapa kamu ke sini?” Suaranya dalam, sedikit heran tapi ada senyum kecil yang disembunyikan di sudut bibirnya.
“Aku kangen,” jawab Anggita cepat, disusul cengiran. “Aku juga bawa hadiah spesial buat Tuan Direktur.”
Rafka menyandarkan diri di meja, melipat tangan di d**a. “Biasanya kalau kamu bilang ‘hadiah spesial’, itu artinya aku harus siap stres.”
“Enggak kok. Kali ini beneran manis.”
“Manis kayak kamu?”
“Ew. Jijik.”
Rafka terkekeh, langkahnya pelan mendekat. “Mana hadiahnya?”
Anggita menyerahkan tas kertas itu, dan Rafka membukanya dengan hati-hati. Saat mug konyol itu muncul, wajahnya langsung berubah. Ia menatap tulisan di sana, lalu menatap Anggita, lalu menatap mug lagi.
“Drama queen?” suaranya berat tapi nyaris tertawa. “Kamu serius ngasih ini ke direktur TV nasional yang tiap pagi rapat sama dewan komisaris?”
“Ya biar semua tahu, di balik direktur tampan yang cool, ada seorang suami yang kalau lapar bisa lebih sensitif dari artis sinetron.”
Rafka menunduk, menahan tawa yang akhirnya pecah juga.
“Anggita, kamu tuh...”
“Lucu? Manis? Penuh ide brilian?” potong Anggita cepat.
“Gangguan visual permanen sejak SMA,” balas Rafka tanpa jeda, membuat Anggita melotot.
“Oh, jadi masih dendam karena dulu aku ngalahin kamu di lomba debat SMA, gitu?”
“Bukan. Karena sejak SMA kamu selalu bikin aku nggak fokus. Ngerjain soal aja bisa salah gara-gara kamu duduk di depan aku.”
Anggita berkedip, setengah geli setengah kaget. “Serius, Raf?”
Rafka menatapnya lekat. “Aku udah suka sama kamu dari dulu. Aku mau caper soalnya kamu sibuk banget jadi juara, sampai nggak pernah nyadar kalau musuh bebuyutanmu cuma pura-pura ribut biar bisa deket.”
Ruangan mendadak terasa lebih hangat. Anggita menunduk, pipinya memerah. “Ya gimana dong, aku pikir kamu beneran benci aku. Kamu tuh nyebelin banget waktu itu. Selalu komentar tiap aku presentasi.”
“Komentar biar bisa ngobrol,” jawab Rafka enteng.
“Caramu PDKT payah banget.”
“Tapi berhasil kan akhirnya?”
Tawa mereka pecah lagi. Suasana yang tadi formal berubah total jadi seperti dua remaja yang baru jatuh cinta lagi.
Anggita duduk di kursi tamu, menatap Rafka yang kini menuang air putih ke dua gelas. “Ngomong-ngomong, kamu ini direktur, tapi masih rajin banget hidup sehat ya? Aku aja tiap pagi masih sarapan gorengan.”
“Gorengan itu musuh besar sel tubuh kita.”
“Sel tubuhmu kali, bukan aku. Aku yakin selnya pada panik sendiri, ‘tolong kasih sambal biar hidup lebih berwarna.’”
Rafka menahan tawa, menggeleng pelan. “Kalau kamu makan gorengan terus, nanti aku yang repot.”
“Kenapa?”
“Karena aku mau kamu hidup lama. Aku baru nikmatin istriku yang bawel seminggu, masa udah disuruh kehilangan.”
Kalimat itu membuat Anggita terdiam. Matanya melembut, dan senyum kecil muncul. “Duh, kamu tuh bisa banget ya ngomong gitu sambil muka datarnya nggak berubah.”
“Efek latihan meeting tiap hari,” jawab Rafka ringan.
Anggita menyeruput air putih, lalu mendadak bicara pelan, “Isi mug-nya belum, lho.”
Rafka menaikkan alis. “Maksudnya?”
“Aku taruh di dapur barusan. Smoothie bayam, apel, sama rumput laut favorit kamu. Aku nyuruh OB tadi simpan di kulkas, biar kamu minum nanti siang.”
Rafka menatapnya lama, lalu terkekeh rendah. “Kamu beneran bikin jus sehat yang kata kamu mirip rumput buat aku?”
“Iya dong. Soalnya aku tahu kamu cuma minum kopi kalau lagi terpaksa banget. Jadi aku ganti pakai minuman yang cocok sama ‘pola hidup sehat sang direktur kesayangan media nasional’.”
“Yang istri tercintanya yang makan cilok sambil nonton drakor,” balas Rafka cepat.
“Persis!” Anggita menepuk tangan, bangga. “Kita kombinasi sempurna: kamu kayak salad, aku kayak sambal kacang.”
Rafka tertawa lagi, jarang sekali tawa tulusnya keluar di kantor, tapi hari ini ruangan itu penuh dengan suara ringan mereka.
Ia mendekat, menatap wajah istrinya yang tersenyum cerah. “Kamu sadar nggak, kalau kamu datang ke sini, semua orang langsung tahu aku udah kalah telak.”
“Kalah?”
“Iya. Karena aku kelihatan paling lembek di gedung ini.”
“Bagus dong,” kata Anggita lembut. “Berarti cuma aku yang bisa bikin direktur Rafka Wijaya kalah.”
Ia berdiri, melingkarkan lengannya di leher pria itu. Rafka sempat menatap pintu, memastikan terkunci, lalu berbisik di telinganya, “Aku jadi pengen pulang cepat.”
“Kok, gitu?”
“Karena istri aku datang ke kantor cuma buat ngasih mug, tapi dia bikin jantungku kayak habis minum lima gelas espresso.”
Anggita terkikik, lalu mencium pipinya cepat sebelum menjauh. “Simpan energimu, Tuan Direktur. Siapa tahu nanti malam aku bawa cilok buat ngemil bareng.”
Rafka menatapnya pergi dengan senyum tipis di wajahnya, sementara mug konyol itu kini berdiri di atas meja kerjanya menjadi benda paling mencolok di antara tumpukan dokumen penting dan laptop mahal.
Untuk pertama kalinya dalam seminggu, direktur dingin itu mengetik sambil tersenyum tanpa alasan. Serangan balasan Anggita berhasil meningkatkan presentase bapernya ke level maksimal.