Bab 12 Konyol tapi manis

1162 Kata
Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda bagi Anggita. Begitu melangkah masuk dengan blazer putih dan rok span, semua mata langsung menoleh. Bukan karena pakaiannya, tapi karena sosok di belakangnya yaitu Rafka berjalan santai dengan kemeja biru dan wajah semanis kopi s**u. “Eh, itu Pak Rafka yang viral itu ya?” bisik salah satu staf. “Lho, katanya dia influencer sekaligus pemilik stasiun TV ya?” "Orang sibuk, tapi ikut istrinya kerja?” “Cinta level dewa, sih ini.” Anggita pura-pura tidak mendengar, meski pipinya sedikit merona. Ia menoleh setengah jengkel ke arah Rafka yang memasang wajah sok tenang. “Kamu nggak malu, ya? Semua orang ngelihatin.” Rafka menunduk sedikit, berbisik pelan, “Kenapa harus malu? Aku cuma nganter istriku ke tempat kerja. Lalu… mungkin jadi bodyguard, kalau-kalau ada rekan kerja cowok yang terlalu ramah.” Anggita memutar bola mata, tapi senyum kecilnya tak bisa disembunyikan. “Bodyguard? Aku nggak butuh, Raf.” “Yakin? Aku lihat tadi ada satu staf cowok yang senyumnya ke kamu tuh lebih lama dari loading email di kantor ini.” Anggita terkekeh pelan, menepuk lengannya. “Kamu tuh cemburuan banget.” “Cemburu itu bukti kalau aku serius,” jawabnya sambil mengangkat alis. Begitu mereka sampai di depan ruang kerja Anggita, sekretaris kecil di dekat pintu langsung menyapa, “Selamat pagi, Bu Gita. Eh, Pak Rafka juga datang?” “Pagi,” jawab Anggita sopan. “Dia cuma mau… ya, mengantarkan saya aja.” Rafka cepat menimpali, “Iya, memastikan istri tercinta sampai di tempat kerja dalam keadaan aman dan bahagia. Kalau bisa, tetap bahagia sampai jam lima sore.” Sekretaris itu nyaris tersedak oleh tawa kecilnya. Anggita langsung mendorong lengan Rafka. “Udah, sana. Pulang gih. Atau mau aku titip jadi resepsionis aja sekalian?” Rafka menatap ruangannya seolah sedang mempertimbangkan. “Hmm… boleh juga. Resepsionis ganteng, bisa bikin klien betah nunggu.” “Rafka!” Anggita memelototinya setengah geli, setengah malu. Rafka tertawa kecil, menunduk untuk mengecup puncak kepala istrinya sekilas. “Oke, oke. Aku pulang, tapi nanti aku jemput jam lima, ya.” Anggita menahan senyum, pura-pura cuek. “Kalau aku lembur gimana?” “Ya udah, aku ikut lembur. Di kursi tamu.” “Di kursi tamu? Kamu bisa tidur di sana?” “Kalau ada kamu, aku bisa tidur di mana aja,” ucapnya dengan nada nakal sebelum berbalik keluar. Anggita hanya bisa menggeleng sambil menutup pintu. Akan tetapi senyumnya tak hilang sampai beberapa jam kemudian. --- Siang hari, saat rapat tengah berlangsung, Anggita sedang fokus menjelaskan proyek baru di depan tim. Semua berjalan lancar—hingga ponselnya bergetar di meja. Pesan dari: Suami Paling Ganteng 😎 “Udah makan belum, Mrs Rafka? Kalau belum, jangan salahin aku kalau aku nyelonong ke kantor bawa bekal cinta.” Anggita menahan tawa, menunduk sejenak agar tak terlihat panik. Ia cepat membalas: “Aku lagi rapat, Rafka. Jangan ganggu, please.” “Oh… berarti aku boleh ganggu setelah rapat ya? 🥰” Ia menghela napas dalam, tapi senyumnya susah dikontrol. Rapat pun berakhir dengan ekspresi aneh dari rekan-rekannya yang melihat wajah bos mereka mendadak bersemu merah. Benar saja, pukul 12.35, seseorang muncul di ruangannya membawa tas kertas berisi makanan. Rafka. “Delivery cinta dari suami idaman,” katanya dengan gaya konyol, sambil mengangkat kantong itu seperti piala. “Raf!” bisik Anggita panik. “Kamu gila? Ini jam kerja!” “Jam makan siang juga. Jadi masih legal,” jawabnya enteng. “Aku masak nasi goreng sendiri. Dengan telur setengah hati eh, setengah matang, maksudnya.” Anggita menatapnya tak percaya. “Kamu beneran masak?” “Aku pastiin nggak beracun.” Ia membuka bungkusan itu di meja kecil ruang kerja Anggita. Aromanya wangi sekali, perpaduan kecap manis, bawang, dan sedikit aroma gosong khas masakan rumah. Anggita menyerah. Ia duduk di kursinya, menatap suaminya yang kini membuka sendok dan menyiapkan tisu. “Kamu tau nggak, ini kayak adegan film romantis tapi versi lucunya.” Rafka menyeringai. “Yah, film romantis tuh terlalu serius. Aku suka versi yang bisa bikin kamu ketawa sambil makan.” Mereka makan berdua di ruangan yang sunyi, kadang saling menyuapi, kadang menertawakan tumpahan nasi di meja. Sekretaris yang lewat di luar sempat mematung melihat pemandangan itu—bos besar mereka sedang disuapi nasi goreng oleh suaminya sendiri. Setelah makan, Anggita bersandar di kursinya. “Kamu ini kayak anak kecil yang kebanyakan nonton drama Korea.” Rafka pura-pura tersinggung. “Hei, justru mereka yang niru aku. Aku duluan yang tahu kalau perhatian kecil itu bikin cinta awet.” Anggita tertawa kecil. “Kamu sok tahu, tapi manis.” Rafka mendekat sedikit, berbisik lembut, “Aku manis cuma buat kamu.” Mata mereka bertemu, hanya beberapa detik, tapi cukup membuat suasana mendadak berubah. Hangat dalam diam. Rafka tersenyum kecil lalu beranjak berdiri. “Oke, aku pergi dulu sebelum reputasimu hancur karena suamimu terlalu tampan.” “Pergi sana, Tuan Narsis!” “Oke, tapi nanti aku balik lagi, ya? Nanti sore aku jemput kamu. Aku udah janji.” Anggita hanya bisa melambai sambil menahan tawa. Tapi begitu pintu menutup, ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang dengan senyum lebar. “Dia emang nyebelin… tapi kok aku kangen terus, sih.” --- Sore hari, hujan turun rintik-rintik. Anggita masih di depan laptop, mengetik laporan terakhir sebelum pulang. Kantor sudah mulai sepi. Lalu, ponselnya bergetar lagi. Suami Paling Ganteng 😎: “Aku di bawah, bawa payung, tapi kalau kamu mau, aku bisa naik bawa jas hujan dan drama romantis.” Anggita tersenyum, menutup laptop, lalu membalas: “Tunggu di bawah. Jangan drama norak kamu. Kasihan mbak OB kalau kamu naik dengan setelan penuh air.” Begitu turun, Rafka sudah berdiri di lobi, membawa dua payung. Satu besar, satu kecil. Tapi begitu Anggita menghampiri, ia malah menutup payung besar itu dan menatapnya dengan senyum nakal. “Kayaknya cukup satu payung aja, biar deket.” Anggita memelototinya, tapi akhirnya menyerah juga. Mereka berjalan berdua di bawah payung, bahu saling menempel, langkah disatukan oleh suara hujan. “Tahu nggak,” kata Rafka pelan, “hujan gini tuh bahaya.” “Bahaya kenapa?” “Soalnya bikin aku pengen cium kamu lagi.” Anggita menoleh cepat, setengah malu setengah ingin tertawa. “Raf… kamu nggak ada remnya, ya?” “Remnya rusak sejak kamu jadi istri aku.” Ia tak bisa menahan senyum. “Dasar gila.” “Gila yang legal, kan? Karena aku suamimu.” Mereka tertawa bersama, langkah mereka menyusuri trotoar menuju mobil yang terparkir di bawah rindang pohon. Anggita menyandarkan kepala di bahu Rafka, hujan masih menari di atas payung. “Rafka,” gumamnya lirih. “Hm?” “Jangan pernah berhenti kayak gini, ya. Konyol, tapi tulus.” Rafka menoleh, menatapnya dengan lembut. “Aku nggak bisa berhenti, Gita. Karena dari awal, kamu tuh bukan cuma istri. Kamu rumahku.” Di tengah hujan sore itu, mereka berjalan pelan. Tak perlu lagi kata-kata besar. Karena cinta mereka, meski sederhana, tetap terasa seperti keajaiban kecil yang tumbuh dari tawa dan konyolnya keseharian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN