Bab 11 Rumah yang dituju

1128 Kata
Sinar matahari masuk perlahan melalui tirai jendela kamar, menari di lantai kayu. Anggita membuka mata, sedikit pusing tapi senyum kecil tersungging begitu menyadari siapa yang ada di sampingnya. Rafka masih terlelap, posisi setengah telentang dengan satu tangan melingkari pinggangnya. “Rafka…” gumamnya pelan. “Bangun, dong. Sarapan dingin nanti. Biasanya kamu selalu bangun pagi, lho.” Pria itu mengerang pelan, wajahnya masih tertidur tapi bibirnya membentuk senyum tipis. “Lima menit lagi… Gara-gara kamu, aku kelelahan semalam,” gumamnya setengah mengeluh. Anggita menggeleng, menahan tawa. “Dih, harusnya aku yang bilang begitu, tauk. Bangun atau aku mandiin, nih!” katanya pura-pura mengancam. Rafka membuka mata setengah sadar, lalu mendelik. “Mandikan aku? Di sini? Gila, Gita.” “Terlalu manis sampai aku harus paksa, haha!” Anggita menepuk punggungnya pelan. “Ayo, sarapan!” Rafka duduk perlahan, menguap lebar sambil menarik selimut ke dadanya. “Oke, oke. Kamu menang, tapi jangan senyum gitu, aku belum siap mental.” Anggita cuma nyengir, kemudian keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi dan roti panggang segera mengisi dapur. Ia menatap tumpukan bahan yang dibawa kemarin malam, menahan senyum geli. Sepertinya Rafka sudah menyiapkan semuanya dengan rapi—piring, gelas, dan selai favoritnya. Rafka mengikuti dari belakang, masih setengah mengantuk. “Kamu serius banget nyiapin ini semua, Gita?” “Serius banget. Kamu harus tau, aku juga bisa jadi chef dadakan,” jawab Anggita sambil menuang kopi ke cangkir. Rafka mengangkat alis. “Chef dadakan? Jangan-jangan nanti aku dimasakin telur setengah matang terus dipanggil eksperimen ilmiah.” Anggita menepuk bahunya. “Hah, jangan sok ilmuwan, haha. Aku cuma bikin makanan yang aman buat suamiku.” Rafka pura-pura terkejut. “Aman? Kamu tau nggak, ini baru pagi kelima aku bangun dari malam romantis ekstrem dan aman? Aku menuntut lebih banyak dramanya!” Anggita tertawa. “Drama? Sarapanmu aja udah penuh drama konyolmu. Duduk dulu, biar aku kasih makanan.” Mereka duduk bersebelahan di meja, Rafka masih setengah tidur sambil menatap roti panggang dan telur yang baru matang. Ia mengambil garpu dan berkata dramatis: “Hmm… eksperimen pertama: telur panggang dan kopi. Percobaan cinta level awal.” Anggita menahan tawa. “Kalau kamu nggak berhenti becanda, aku nggak mau kasih selai.” Rafka pura-pura cemberut, tapi cepat-cepat menyambar sepotong roti. “Gila, Gita. Kalau begitu, aku kelaparan. Kamu kejam banget sama suami.” Mereka makan sambil saling melempar candaan ringan. Kadang Rafka sengaja menaruh sepotong roti di bibir Anggita dan mencoleknya sedikit, membuat wanita itu tersenyum malu tapi tak bisa menahan tawa. Setelah sarapan, Anggita menatap wajah Rafka yang masih setengah mengantuk. “Kamu bener-bener nggak masuk kantor hari ini ya?” Rafka menyesap kopinya dengan tenang. “Iya, cuti total. Aku harus pantau istriku. Proyek hari ini: bikin kamu senyum sepanjang hari.” Anggita menelan ludah kecil, setengah geli setengah kagum. “Kamu serius banget sama cuti ini. Nanti kalau kantormu kekurangan orang, papa kamu pasti marah.” Rafka mengangkat bahu. “Aku rela dicaci. Yang penting kamu senyum. Kalau papa marah, aku kasih alasan ilmiah: penelitian sosial tentang kebahagiaan istri CEO.” Anggita terkikik. “Kamu bener-bener gila, tapi lucu. Aku nggak tau harus marah atau ketawa dulu.” Setelah sarapan, mereka duduk di sofa. Rafka menyambar ponsel Anggita yang ditaruh di meja. “Hah, foto selfie lucu aku kemarin malem nggak boleh hilang. Jadi aku backup dulu.” Anggita menepuk tangannya. “Kamu ini… nggak ada obatnya. Selalu nyeleneh, tapi aku suka.” Rafka mencondongkan tubuh, menempelkan bahu ke bahu Anggita. “Aku tuh kayak Wi-Fi, Gita. Selalu nyebar kemana-mana, tapi pusatnya di kamu.” Anggita menatapnya tak percaya. “Wi-Fi? Sungguh?” “Tentu. Tanpa aku, kamu bisa panik nggak konek sama dunia. Dengan aku, aman, nyaman, dan… lucu.” Anggita tertawa, lalu tiba-tiba mendorong Rafka pelan. “Eh, kalau kamu sok lucu terus, aku bakal peluk kamu seharian.” Rafka pura-pura takut, tapi cepat-cepat membalas. “Peluk? Wah, ini uji coba tahan pelukan paling berbahaya.” Mereka terdiam sebentar, mata saling menatap. Ada sesuatu yang hangat mengalir di antara tawa mereka, manis dan aman. Anggita mencondongkan kepala, bersandar di bahu Rafka. “Gila, aku nggak nyangka kita bakal senyaman ini,” gumamnya. Rafka menepuk kepala Anggita lembut. “Dari SMA sampai sekarang, ternyata kita emang jodoh yang paling konyol.” Mereka tertawa bersama, lalu Rafka menepuk tangan Anggita. “Oke, misi hari ini: bikin kamu bahagia, tanpa drama, kecuali drama lucu.” Anggita mengerutkan alis sambil senyum. “Drama lucu? Kamu serius, ya? Aku takut nanti ada kue jatuh di kepala.” Rafka pura-pura serius. “Itu bagian dari eksperimen ilmiah juga. Mengukur reaksi istri terhadap keceriaan ekstrem.” Anggita mendesah, tapi matanya berkilat bahagia. “Kamu ini… bikin aku jatuh lagi, tiap detik.” Rafka mencondongkan tubuh, menatapnya dalam-dalam. “Gita… aku janji, setiap hari aku bakal bikin kamu jatuh lagi. Sampai kamu capek jatuh.” Anggita tersenyum malu, menahan getaran di dadanya. “Aku nggak yakin bisa lelah jatuh sama kamu, Rafka.” Rafka menyentuh pipi Anggita, lembut tapi penuh kasih. “Nah, itu tujuan eksperimen. Aku belajar tiap hari: cara bikin istriku bahagia itu nggak pernah ada habisnya.” Mereka duduk beberapa saat dalam keheningan yang nyaman, hanya suara tawa ringan dan cangkir kopi yang saling bersentuhan. Lalu, tiba-tiba Rafka berdiri, mengangkat bahu Anggita. “Ayo, kita jalan-jalan sebentar. Udara pagi dan istriku butuh sedikit olahraga ringan.” Anggita menatapnya kaget. “Olahraga ringan? Kamu serius? Aku kan masih… eh, capek.” “Tapi aku pengen liat kamu jalan sambil ketawa. Itu olahraga paling efektif,” jawab Rafka sambil tersenyum nakal. Mereka berjalan ke balkon, sinar matahari menyentuh kulit, angin pagi membelai wajah. Rafka pura-pura menyasar Anggita dengan air minumnya, lalu Anggita membalas dengan menyemprotkan sedikit air ke wajahnya. Tawa mereka bergema, manis dan alami. “Lihat, kan? Aku bilang olahraga ringan itu efektif,” goda Rafka. “Efektif bikin aku basah kuyup,” balas Anggita sambil tertawa, menepis air dari wajahnya. Setelah beberapa saat bercanda, mereka kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang sambil menikmati momen tenang. Rafka memeluk Anggita dari belakang, kepala wanita itu bersandar di dadanya. “Gila, pagi ini sempurna,” gumam Anggita. Rafka menepuk bahunya. “Pagi sempurna? Tunggu sampai aku bikin kopi lagi, dan menu sarapan kedua, eksperimen cinta lanjutan.” Anggita tersenyum lebar, menatapnya dengan mata berbinar. “Kamu ini… nggak habis-habis idenya.” “Ya, aku suami yang totalitas. Kadang konyol, tapi penuh cinta,” jawab Rafka sambil menekan ciuman lembut di kepala Anggita. Mereka duduk lama, menikmati momen kecil itu, sarapan kedua, bercanda atau sekadar diam bersama. Tak ada yang penting kecuali mereka berdua. Pagi itu, di antara tawa dan canda, Anggita sadar kalau kebersamaan mereka bukan lagi pertarungan, bukan lagi gengsi, tapi cinta yang manis, konyol, dan hangat… seperti rumah yang selalu ingin ia tuju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN