Bab 10 Malam Romantis

1002 Kata
Malam turun perlahan, menelan sisa cahaya sore yang tersisa di cakrawala. Mobil Rafka meluncur mulus di jalanan kota, lagu lembut mengalun pelan dari radio. Anggita bersandar di kursi penumpang, memeluk tas kerja di pangkuannya. “Aku beneran capek banget hari ini,” gumamnya. Rafka meliriknya sekilas, bibirnya melengkung. “Tapi cantiknya nggak hilang, tuh.” Anggita mendengus kecil. “Gombal banget kamu sekarang.” “Bukan gombal. Fakta ilmiah,” balas Rafka ringan. "Kamu juga ganteng, deh." "Kok ada deh nya?" Rafka protes. "Biarin, yang penting muji, kan?" Rafka merenggut sebal. Anggita tertawa kecil. "Jangan ngambek, kamu ganteng banget, kok." Anggita sedikit tertawa geli, tak tahan melihat ekspresi ngambek suaminya. Rafka mengernyitkan kening, "Benar?" "Benar, dong. Semua orang juga tahu, kamu ganteng banget. Apalagi Kamu milikku sekarang." Mendengar perkataan Anggita, wajah Rafka seketika memerah. "Ciyee baper," goda Anggita. "Biarin, yang penting dibilang ganteng sama kamu." Anggita hanya tertawa, Rafka benar-benar membuat lelahnya terasa membaik. Tiba di rumah, mobil terparkir di garasi. Rafka menggandeng tangan istrinya. Dia bilang ingin masuk bersama. Itu cukup membuat bingung awalnya, tapi Anggita tidak mau berdebat. Dia lelah dan ingin segera istirahat. Begitu pintu rumah dibuka, Anggita mengernyit heran. Ruang tamu gelap… tapi begitu lampu dinyalakan, ia tertegun. Di depan sofa, meja makan kecil telah disulap jadi tempat makan malam romantis dengan lilin-lilin kecil berkelip lembut, kelopak bunga mawar tersebar di atas meja, dan aroma steak hangat memenuhi udara. “Rafka…” suaranya nyaris berbisik. “Kamu nyiapin ini semua?” Rafka mengangkat bahu santai. “Chef kantor juga butuh promosi jabatan dong.” Anggita tersenyum, matanya berkilat lembut. “Kamu bikin aku nggak enak hati, tau. Kamu udah banyak banget keluar uang sejak kita nikah.” Rafka duduk di hadapannya, menuang jus ke gelasnya. “Anggap aja investasi jangka panjang. Dividen cintamu kan nggak ada ruginya.” Anggita nyaris tersedak tawa. “Gila, kamu belajar gombal di mana sih?” “Cutiku, nih, bener-bener dimanfaatin buat riset cara bikin istri bahagia,” sahutnya sambil mengedip nakal. Anggita menatapnya tak percaya. “Cuti? Jadi kamu nganggur beberapa hari ini?” Rafka mengangguk tenang. “Yup. Prioritas: istri dulu, dunia belakangan.” Anggita mendesah, tapi senyum geli muncul di bibirnya. “Kalau nanti kamu kekurangan uang gara-gara terlalu sibuk ngintilin aku, aku yang bakal nafkahi kamu, deh.” “Wah, CEO sugar mommy. Aku nggak keberatan, kok,” goda Rafka sambil mengangkat alis. Tawa mereka pecah, ringan dan hangat, mengisi ruangan yang diterangi cahaya lilin. Makan malam terasa lebih nikmat, bukan karena menunya, tapi karena jeda-jeda kecil di antara tawa dan tatapan yang mencuri napas. Sesekali Anggita menatap wajah suaminya di seberang meja. Ada sesuatu di sana yang membuat dadanya bergetar—campuran kagum, rindu, dan rasa aman yang selama ini ia cari. “Kenapa kamu bisa tiba-tiba… kayak gini?” tanyanya lembut, setelah piring terakhir kosong. Rafka mendekat, suaranya turun menjadi bisikan. “Karena setiap kali aku lihat kamu sibuk, aku ingat betapa kerasnya kamu berjuang. Aku cuma mau kamu ingat… kamu nggak sendirian lagi.” Tatapan mereka bertemu. Lama. Tenang. Tapi hangatnya terlalu nyata untuk diabaikan. Rafka menyentuh pipi Anggita, jempolnya mengusap lembut kulitnya. “Rafka…” bisik Anggita, suaranya gemetar halus. Senyum kecil muncul di bibir pria itu sebelum ia menunduk, mencium bibir istrinya perlahan—hangat, manis, dan tak tergesa. Ciuman itu berkembang, melebur jadi sesuatu yang lebih dalam, seperti mereka sedang menebus tahun-tahun lama penuh ejekan dan debat bodoh di masa SMA. Ketika akhirnya Rafka menarik diri, napas mereka tersengal, mata mereka saling mencari dalam diam yang indah. Tanpa berkata apa-apa, Rafka mengangkat tubuh Anggita, membawanya ke kamar. Pintu menutup pelan di belakang mereka. Di bawah cahaya lampu yang lembut, Rafka menurunkan Anggita di tepi ranjang. Jemarinya tetap menggenggam pinggang wanita itu, seolah takut kehilangan. “Kadang aku masih nggak percaya,” ucapnya perlahan, menatap dalam ke mata Anggita. “Perempuan yang dulu sering aku bikin kesel… sekarang jadi orang yang paling aku jaga.” Anggita tersenyum kecil, matanya bergetar. “Dan cowok yang dulu aku sumpahin biar nggak laku-laku, sekarang malah jadi suamiku.” Rafka tertawa pendek, tapi suaranya menghangatkan ruangan. “Berarti doamu salah sasaran, ya?” “Banget,” jawab Anggita, tersenyum malu. Rafka menunduk, menempelkan dahinya ke dahinya. “Gita…” suaranya menurun, lembut, nyaris serak. “Dulu aku kira aku cuma pengen menang dari kamu, tapi ternyata… yang pengen aku menangkan cuma hatimu.” Anggita memejamkan mata, menelan perasaan yang terlalu penuh. “Kamu ngomongnya sekarang, setelah aku jadi istrimu?” “Mungkin aku telat ngomong,” ucapnya, jempolnya mengusap pipinya lembut, “tapi aku nggak pernah berhenti ngerasain. Aku cinta kamu. Dari dulu. Dari masa paling bodoh kita.” Kata-kata itu mengguncang sesuatu di d**a Anggita. Ia mengangkat wajahnya, menatap lelaki itu lama. “Rafka…” suaranya hampir bergetar, “aku juga. Aku cuma nggak pernah tahu gimana harus nyatainnya tanpa terlihat lemah.” Rafka menatapnya dalam-dalam. “Di hadapanku, kamu nggak pernah lemah, Gita. Kamu cuma jadi dirimu—dan itu udah cukup buat aku jatuh cinta lagi setiap hari.” Kata-kata itu menggantung di udara, manis dan jujur. Lalu bibir mereka kembali bertemu. Kali ini tanpa jeda, tanpa ragu. Hangat, perlahan, dan penuh makna. Setiap hembusan napas adalah pengakuan yang tak lagi butuh bahasa. Rafka menelusuri wajahnya dengan lembut, menyimpan setiap detail seolah itu yang terakhir kali. “Kamu rumahku, Gita,” bisiknya di antara napas mereka. Anggita tersenyum dengan mata berkaca. “Dan kamu… alasan aku akhirnya pulang.” Rafka menutup jarak di antara mereka. Ciuman kembali jatuh, lebih dalam, lebih jujur. Di luar, angin berhembus pelan, menggetarkan tirai. Di dalam, dua hati beradu dalam sunyi—tanpa janji, tanpa rencana. Hanya rasa yang akhirnya tenang setelah terlalu lama berperang. Cahaya lilin terakhir di ruang tamu padam, menyisakan hangat yang tinggal di d**a. Malam itu… bukan sekadar malam biasa bagi mereka berdua. Itu adalah malam ketika cinta yang dulu keras kepala akhirnya bersujud, dan dua orang yang pernah saling menantang akhirnya belajar menyerah, bukan pada kalah, tapi pada cinta yang menang dengan cara paling lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN