Bab 3 Tamu tak Terduga

1030 Kata
Kantor Aurora Agency di Senopati sore itu sibuk seperti biasa. Bunyi mesin printer, langkah terburu, dan aroma kopi dari pantry bercampur jadi satu—simfoni khas dunia kerja. Anggita baru saja keluar dari ruang rapat ketika resepsionisnya berlari kecil menghampiri. “Bu Anggita, ada tamu, tapi…” “Tapi apa?” “Dia tidak memiliki janji bertemu dengan anda, dan… ya ampun, dia ganteng banget, Bu. Semua orang jadi nggak kerja.” Anggita mengerutkan dahi. “Siapa?” Sebelum resepsionis sempat menjawab, suara itu sudah terdengar dari ujung lorong. “Sayang, kamu belum makan siang?” Semua kepala di ruangan sontak menoleh. Di sana berdiri Rafka, lengkap dengan setelan jas abu gelap, dasi sedikit longgar, dan senyum yang kelewat percaya diri. Ia membawa dua kotak makan dan melambaikan tangan santai. Anggita menutup wajahnya sejenak. “Ya Tuhan…” gumamnya. “Dia beneran datang ke sini.” Rafka berjalan santai menuju meja Anggita sambil disoraki lirih oleh para karyawan perempuan yang nyaris bertepuk tangan. “Ini kantor, bukan kafe, Rafka,” bisik Anggita tajam. “Makanya aku bawain makan siang, biar kamu nggak perlu keluar,” jawabnya tenang sambil duduk di kursi tamu, menepuk-nepuk lutut. “Dan lagi, tunangan CEO boleh dong mampir?” Nada genit itu sengaja diperkeras cukup untuk didengar seisi kantor. Sekilas, Anggita bisa mendengar suara seruput kopi berhenti di udara. Semua orang menahan napas. “Rafka…” Anggita tersenyum palsu, tapi matanya sudah seperti ingin melempar stapler. “Ya, Sayang?” “Kalau kamu nggak keluar dari sini dalam waktu tiga detik, aku bakal—” “Aku udah makan duluan, tenang,” potongnya. “Tapi kamu belum. Aku bawain nasi padang favoritmu, yang sambalnya dikit tapi dagingnya dua.” Anggita hampir tertawa, tapi segera menahan diri. “Kamu ngapain inget kayak gitu?” “Waktu SMA, kamu pernah marah karena aku ambil laukmu. Aku nggak mau itu terulang.” “Dan kamu pikir aku bakal terharu?” “Sedikit aja, boleh kan?” Sial. Bahkan ekspresi nyebelinnya pun sekarang punya daya tarik aneh yang bikin jantung Anggita berdebar setengah malu, setengah kesal. Mereka akhirnya makan di ruang kerja Anggita. Rafka, tentu saja, menolak duduk di kursi tamu. Ia duduk di tepi meja kerja, terlalu dekat sampai Anggita bisa mencium aroma parfumnya—maskulin dan lembut seperti kayu basah setelah hujan. “Serius deh, kamu nggak punya malu ya?” kata Anggita di sela mengunyah. “Kalau demi kamu, malu mah lewat aja.” “Rafka.” “Ya, Sayang?” “Berhenti panggil aku ‘sayang’ di kantor.” “Oke, Sweetheart.” “RAFK—” Ia terdiam ketika Rafka menatapnya, menahan tawa. Anggita mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecil di sudut bibir. “Dasar nyebelin.” “Nyebelin tapi ngangenin,” balasnya cepat. “Ngangenin kepala kamu!” Rafka tertawa lepas, dan entah bagaimana, ruangan yang tadinya penuh tekanan kerja jadi terasa lebih hangat. Beberapa menit kemudian, pintu ruangannya diketuk. Mira—teman SMA sekaligus penyebar gosip tercepat di ibukota—masuk sambil membawa dokumen. Dia adalah salah satu bawahan Anggita. “Oh, kalian berdua di sini yaaa,” ujarnya dengan nada menggoda. “Aku ganggu nggak nih, pasangan viral?” “Ganggu banget,” jawab Anggita cepat. “Gak apa-apa, udah biasa diganggu,” sahut Rafka enteng. Mira tertawa kecil. “Duh, kalau aku nggak tahu sejarah kalian dulu, aku bakal pikir kalian emang udah cocok dari awal.” “Sejarah itu penting, Mir,” kata Rafka santai sambil menyandarkan diri di meja. “Kalau bukan karena dulu aku sering nyebelin dia, mungkin sekarang aku nggak duduk di sini.” Anggita menyipitkan mata. “Kalau kamu nggak nyebelin dulu, mungkin aku juga nggak trauma tiap dengar namamu disebut.” “Tapi toh sekarang kamu bertunangan denganku.” Mira menahan tawa. “Fix. Dunia ini nggak masuk akal lagi.” Setelah Mira pergi, Anggita bersandar di kursi, menatap Rafka dengan pasrah. “Kenapa kamu kayaknya menikmati banget peran ini?” Rafka menatapnya lama sebelum menjawab, suaranya lebih pelan kali ini. “Karena aku cuma punya satu cara buat nunjukin ke dunia kalau aku nggak seburuk gosip. Dan anehnya, cara itu selalu melibatkan kamu.” Anggita nyaris kehilangan kata. “Rafka…” Pria itu malah tersenyum lagi, menyembunyikan ketulusan di balik nada main-main. “Tenang, aku nggak bakal jatuh cinta duluan kok.” “Bagus.” “Kalau barengan boleh, kan?” Anggita menghela napas, tapi pipinya memanas. “Kamu beneran gila.” “Gila yang bersertifikat,” ujarnya bangga. --- Sore menjelang malam, ketika karyawan mulai pulang, Anggita masih duduk di ruangannya, menatap langit yang memerah di luar jendela. Rafka belum pergi. Ia duduk di sofa, membaca dokumen dengan santai seolah-olah kantor itu miliknya sendiri. “Serius, kamu nggak ada kerjaan di kantormu sendiri?” tanya Anggita akhirnya. “Kerjaanku hari ini nemenin kamu.” “Raf…” “Aku tahu, kamu capek, tapi aku cuma pengen kamu nggak ngerasa sendirian ngadepin semua ini.” Nada suaranya tiba-tiba berubah, lebih lembut, lebih jujur dari biasanya. Untuk sesaat, Anggita lupa bahwa mereka hanya “pura-pura”. “Rafka…” ia memanggil pelan. “Hmm?” “Kenapa kamu berubah? Dulu kamu nyebelin tanpa alasan. Sekarang kamu nyebelin, tapi kayak… ada maksud.” Rafka menatapnya, tersenyum kecil. “Mungkin karena dulu aku nggak ngerti kenapa pengen deket sama kamu. Sekarang aku tahu.” “Apa alasannya?” Ia berdiri, berjalan mendekat, lalu berbisik di dekat telinganya, “Karena marah kamu masih jadi hal paling indah yang pernah aku lihat.” Anggita mematung. Ia ingin menepis, ingin menertawakan, tapi dadanya terlalu sesak. Rafka menatapnya sejenak, lalu berbalik, mengambil jasnya. “Pulanglah, Gita. Besok aku jemput. Kita pura-pura bahagia lagi.” “Rafka…” “Hmm?” “Kalau kamu terus kayak gini, aku takut pura-pura ini malah jadi nyata.” Rafka berhenti di depan pintu, menoleh setengah, senyum tipisnya nyaris tak terbaca. “Itu risiko yang paling aku tunggu, Gita.” Dengan itu, ia pergi—meninggalkan ruang kerja yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi, terlalu hangat, dan terlalu jujur untuk disebut sekadar “pura-pura”. Entah apakah ini nyata, tetapi sebuah rasa yang tak terduga mulai menumbuhkan tunas yang sempat dikira mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN