Pagi di Jakarta Selatan selalu berisik dengan klakson, langkah tergesa, dan aroma kopi dari kafe bawah hotel yang menembus sampai ke lantai lima. Bagi Anggita, pagi itu terdengar lebih bising dari biasanya.
Ia duduk di tepi ranjang, masih dengan rambut acak-acakan, mencoba menata sisa rasa malu dan bingung yang semalam menempel di dadanya. Di meja kecil sebelah kasur, dua gelas kosong masih berdiri berdampingan. Sial. Semuanya bukan mimpi.
“Minum ini, biar nggak pusing.”
Suara itu datang dari arah pintu kamar mandi. Rafka, dengan rambut masih basah dan handuk di pundak, muncul membawa segelas air putih. Santai, seolah semalam mereka hanya ngobrol tentang saham, bukan tentang hati dan masa lalu.
“Aku nggak pusing,” kata Anggita pelan.
“Yakin? Mukamu pucat banget.”
“Pucat karena liat kamu bangun di sebelahku.”
Rafka terkekeh, duduk di kursi depan cermin, lalu mulai menyisir rambutnya dengan jari. “Kamu bisa aja, tapi aku serius, Gita. Kita harus bahas ini sebelum ada yang salah paham.”
“Udah telat,” gumam Anggita. Ia berdiri, meraih blazer-nya di lantai. “Mira udah lihat kita bareng di kamar. Berarti seluruh grup alumni udah tahu sekarang.”
Rafka berhenti menyisir. Tatapannya menajam. “Kamu yakin dia bakal nyebarin gosip?”
Anggita menghela napas. “Kamu kenal Mira. Mulutnya lebih cepat dari notifikasi media. Meski begitu, dia teman yang paling setia, yang tidak akan bisa disingkirkan sekalipun aku mau.”
Rafka tersenyum tipis, "Aku nggak nyangka kamu menyimpan bom waktu di sisimu."
"Karena segala yang terlihat buruk, belum tentu buruk."
"Jadi, kejadian semalam, nggak buruk sama sekali buat kamu ya?"
Anggita memutar bola matanya malas, "Terserah."
Rafja tersenyum jail.
Satu jam kemudian, ketakutan Anggita terbukti. Ponselnya bergetar nyaris tanpa henti.
[Grup Reuni SMA 12]
Mita: “GITA & RAFKA??!!! 😳😳😳”
Denny: “Seriusan? Mereka kan dulu musuh bebuyutan, wkwk.”
Mira: “Musuh kok satu kamar 🤭🤭🤭”
Sinta: “Astaga! Ini beneran nggak sih?”
Rafka: “...” (read by 56)
Anggita menatap layar dengan wajah datar, lalu menatap Rafka yang sedang menatap hal yang sama.
Mereka diam cukup lama sampai akhirnya Anggita bicara, lirih tapi tegas.
“Ini bakal gila. Orang tua kita mungkin akan dengar.”
"Itu bagus, jadi mama nggak akan maksa aku buat kencan buta lagi."
Anggita melotot tidak suka, "Kamu mau buat ini sebagai alasan? Pikirkan tentang reputasiku, dong!"
"Tapi kamu yang ngajak aku ke sini," sahut Rafka yang membuat Anggita tidak bisa berkata apa-apa untuk membantah.
---
Dua hari kemudian, efeknya mulai terasa. Kantor Anggita, sebuah perusahaan agensi komunikasi di Senopati berdesis dengan gosip baru. Setiap kali ia lewat, bisik-bisik mengikuti seperti bayangan.
Beberapa rekan kerja menatapnya dengan campuran kagum dan penasaran, terutama karena Rafka bukan orang sembarangan, melainkan seorang direktur muda dari salah satu stasiun TV swasta sedangkan Anggita adalah CEO dari perusahaan bernama Aurora Tech.
Siang itu, saat makan di pantry, asistennya berbisik gugup,
“Bu… di sosial media udah rame, lho. Katanya Bapak Rafka ngejar-ngejar Ibu dari zaman SMA.”
Anggita terbatuk. “Separah itu?!”
“Videonya dari Mira, kayaknya. Ada potongan foto kalian di balkon hotel.”
“Ya Tuhan...” Anggita menutup wajah dengan tangan. “Aku mau pensiun dini aja rasanya.”
Sementara itu, di gedung kaca tinggi di kawasan SCBD, Rafka sedang duduk di ruang rapat, mencoba mendengarkan laporan keuangan—tapi pikirannya tak jauh dari kejadian yang sama. Teleponnya bergetar. Sekretaris pribadinya, Dila, menyodorkan ponsel.
“Pak, ini dari Papa. Penting katanya.”
Rafka menghela napas, lalu menjawab panggilan.
“Rafka, kamu lagi main-main apa ini?” Suara ayahnya tajam di seberang.
“Main-main apaan, Pa?”
“Foto kamu sama Anggita di hotel udah nyebar ke mana-mana. Investor sampai nanya ke Papa!”
“Itu cuma salah paham.”
“Kamu pikir media peduli sama salah paham? Kalau kamu nggak mau rusak nama keluarga, beresin secepatnya.”
“Maksud Papa?”
“Lamar dia. Bikin berita baik ngelawan berita buruk. Simple.”
Telepon terputus sebelum Rafka sempat protes. Ia bersandar di kursi, mengusap wajah.
Lamar dia? Anggita? Sekarang?
---
Sore itu, langit Jakarta meremang jingga ketika Rafka memarkir mobil di depan kantor Anggita. Ia turun, menunggu di bawah gedung sambil menatap jam tangan. Beberapa karyawan lewat sambil berbisik—mungkin mengenalinya dari berita yang sedang viral itu. Tak lama, Anggita keluar. Rambutnya diikat rapi, wajahnya lelah tapi masih tampak cantik dalam caranya yang sederhana.
“Ngapain kamu di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Kita perlu bicara.”
“Kalau soal gosip itu, aku udah cukup pusing, Raf.”
“Justru karena itu.”
Ia menyerahkan ponselnya, menampilkan berita yang barusan muncul di portal daring:
“CEO Aurora Tech dan Direktur Kreatif Agency Dikabarkan Bertunangan!”
Anggita menatap layar, membeku. “Apa-apaan ini?”
“Aku juga baru tahu barusan,” jawab Rafka datar. “Kayaknya Papa udah nyebar buat nutup gosip semalam.”
“Jadi sekarang semua orang pikir kita beneran—”
“—akan menikah, iya.”
Anggita menatapnya lama, mata berkaca-kaca antara marah dan lelah.
“Raf, ini hidupku, bukan proyek PR keluargamu.”
Rafka mendekat satu langkah, suaranya turun lembut.
“Aku tahu, tapi kalau kita nggak mainkan ini dengan benar, karier kamu dan aku sama-sama bisa anjlok.”
Anggita memejamkan mata. Napasnya berat.
“Lalu kamu mau apa?”
“Mainkan peran ini… untuk sementara.”
“Sebentar itu berapa lama, Rafka?”
“Sampai gosipnya mati.”
Namun, takdir rupanya punya rencana lebih aneh dari itu. Karena dua minggu kemudian, kedua keluarga mereka benar-benar bertemu—di ruang makan besar rumah keluarga Rafka di Kebayoran Baru.
Ibunya Anggita menatap dengan mata berbinar, sementara ayah Rafka tersenyum lega di ujung meja.
“Anak-anak, Papa senang akhirnya kalian sadar,” kata ayah Rafka. “Kalian cocok, dan sekarang waktunya meresmikan.”
“Pak, Bu—” Anggita mencoba bicara.
Tapi ibunya sudah menimpali cepat, “Iya, Gita juga bilang dia udah nyaman sama Rafka.”
“Apa?” Anggita menoleh cepat. “Aku nggak...”
“Kamu bilang gitu semalam waktu aku telepon!” sahut ibunya polos.
“Aku bilang aku nyaman ngobrol, bukan mau menikah!”
Semua mata kini beralih ke Rafka, yang hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Anggita.
“Kalau kamu mau aku yang ambil alih,” katanya pelan, “aku bisa tolak sekarang.”
“Dan membuat dua keluarga dipermalukan dunia?”
“Daripada kamu terjebak dalam kebohongan.”
Mereka saling diam cukup lama, hingga akhirnya Anggita berbisik,
“Rafka, kadang kebohongan adalah satu-satunya cara bertahan di dunia yang terlalu suka menghakimi.”
Dalam diam itu, keputusan aneh pun tercipta antara dua orang yang dulu tak tahan melihat satu sama lain kini duduk berdampingan, menyepakati sesuatu yang bahkan cinta pun belum punya tempat di dalamnya.
Malamnya, setelah semua tamu pulang, Rafka menatap langit Jakarta dari balkon rumahnya.
Ia tahu, apa pun yang dimulai dari kesalahan tak selalu berakhir buruk, tapi juga tak pernah mudah.
Sementara di sisi lain kota, Anggita menatap cincin perak di jarinya yang masih terasa dingin. Di layar ponselnya, notifikasi terus berdatangan seperti ucapan selamat, emoji cinta, video editan fans yang memuja “pasangan sempurna”.
Ia menghela napas, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Lucu ya, dunia. Butuh gosip buat bikin dua orang musuh duduk di pelaminan.”