Bab 19 Nostalgia

1162 Kata
Sekolah menengah atas, tahun terakhir. Jam pelajaran baru saja dimulai, dan seperti biasa, kelas XII IPA-1 dipenuhi dengan riuh rendah suara siswa yang belum siap menerima kenyataan bahwa pagi sudah datang. Di bangku paling depan, Anggita Daryani duduk tegak, buku catatan di tangan, mata fokus ke papan tulis. Ekspresinya serius, sedikit kaku. Tidak ada yang menyangka, di balik wajah tenang itu, ia menyimpan ambisi besar—menjadi juara kelas, juara lomba debat, juara apa pun yang bisa dimenangkannya. Ia ingin lulus dengan predikat terbaik, juara satu paralel di seluruh sekolah. Di bangku belakang, ada satu nama yang selalu berhasil mengusik ketenangannya: Rafka Wijaya. Rafka bukan tipe murid berandalan, tapi sikap santainya selalu membuat guru geleng kepala. Ia pintar, cepat tanggap, dan punya nilai akademik hampir sempurna. Sayangnya, mulutnya juga nyaris tak pernah berhenti menggoda. Dia tipe murid yang tidak mudah dibenci sekalipun agak tengil. Sejak awal semester, entah kenapa, ia selalu punya satu hobi baru yaitu mengganggu Anggita. Hal itu selalu terjadi dan membuat mereka dijuluki sebagai kucing dan tikus. Satu sekolah setuju kalau mereka adalah musuh yang saling membenci. “Eh, Daryani,” panggil Rafka di sela pelajaran, nada suaranya santai, tapi jelas sengaja ingin didengar. Anggita menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Apaan, sih? Panggil Anggita, dong!” Rafka menyenggol sedikit buku catatan di mejanya, pura-pura tidak sengaja. “Kamu lupa ngerjain PR, kan?” Nada itu cukup untuk membuat beberapa teman di sekitar mereka menahan tawa. Anggita mengerjap, menatapnya tajam. “Apa urusanmu?” “Nggak ada urusan, sih, suka saja,” gumam Rafka dalam hati, bibirnya terangkat membentuk senyum kecil. Bagi Anggita, itu awal dari perang kecil yang tak pernah berakhir. Setiap hari terasa seperti duel tanpa akhir antara dua manusia yang sama keras kepala dan tiak mau kalah. Rafka selalu menemukan cara baru untuk membuat hidup Anggita berantakan. Kadang menukar buku catatannya dengan milik orang lain, kadang pura-pura jadi satu kelompok dalam tugas padahal sudah diatur berbeda, kadang… mencuri satu hal kecil yang penting. Suatu siang, Anggita hampir menangis karena buku catatannya hilang. “Rafka… serius kamu ambil buku tugasku? Aku butuh itu buat besok!” teriaknya di tengah kelas. Rafka, yang duduk di bangku belakang, hanya menatapnya dengan mata berbinar nakal. “Aku cuma pinjam kok, nanti aku balikin. Mungkin besok pagi.” Benar saja, besok paginya buku itu sudah kembali, tapi isinya berantakan, halaman terlipat, bahkan ada gambar doodle kecil di pojok halaman bertuliskan: “Kamu terlalu serius, Gita. Santai dikit.” Anggita ingin marah, tapi tak bisa melakukannya terang-terangan karena dia dikenal sebagai sosok yang anggun dan dewasa. Meski begitu, ia tetap bersumpah dalam hati: suatu hari aku bakal bales dia. Rencana itu tak pernah benar-benar berhasil. Karena setiap kali Anggita ingin membalas, Rafka selalu lebih dulu membuat langkah baru. Suatu hari di kantin, Anggita hanya punya satu cabai tersisa untuk makan siangnya. Saat ia lengah sebentar, Rafka dengan cepat mengambilnya dan memasukkan ke mulut. “Eh! Itu cabe terakhirku!” seru Anggita kesal. “Sekarang udah bukan cabe kamu, tapi cabe kita,” jawab Rafka santai, membuat teman-teman mereka tertawa keras. Selama dua hari setelah itu, Anggita mogok bicara. Tiap kali berpapasan di koridor, Rafka selalu melambaikan tangan dengan senyum jailnya yang khas. Namun, Anggita mengabaikannya dan semakin diabaikan, Rafka semakin punya cara untuk diperhatikan. Datanglah Senin pagi yang memalukan itu. Anggita datang ke sekolah tanpa dasi. Ia yakin sudah memakainya, tapi entah kenapa hilang begitu saja. Saat upacara, guru disiplin menatapnya tajam. “Anggita Daryani, atributmu mana?” Anggita panik, memeriksa saku dan tas. Dari kejauhan, Rafka berdiri di barisan cowok, menatapnya sambil memainkan sesuatu di tangannya. Sebuah dasi dengan senyuman kemenangan. Saat mata mereka bertemu, Anggita tahu—itu ulahnya. Hari itu, ia bersumpah tidak akan pernah memaafkannya. Malamnya, ia tetap memikirkan cowok itu. Kenapa, dari semua orang yang menyebalkan, cuma Rafka yang berhasil membuat dadanya berdebar? Namun, dia tidak mau mengaku. Dia terus menanamkan pikiran kalau dia benci cowok resek kayak Rafka. Waktu berjalan. Pertengahan semester, mereka dipasangkan dalam proyek sains. Anggita kesal, tapi guru mereka bersikeras bahwa kombinasi dua murid terbaik akan menghasilkan nilai tertinggi. Hari percobaan, Anggita bekerja serius, sementara Rafka lebih sibuk menggoda. Saat Anggita lengah, ia menukar satu bahan eksperimen. Hasilnya? Ledakan kecil dan asap putih memenuhi ruang lab. Semua panik, termasuk guru mereka. Anggita menatap Rafka dengan wajah kotor kena debu kimia, sementara Rafka… tertawa. “Maaf, aku kira bakal lucu,” katanya sambil menahan tawa. “Lucu dari mana!” bentak Anggita, tapi bibirnya juga hampir tertarik menahan senyum. Hari-hari berlalu, dan tanpa mereka sadari, semua pertengkaran kecil itu membentuk kebiasaan aneh: saling mencari. Kalau satu hari saja Rafka absen, kelas terasa sepi. Kalau Rafka datang tapi diam, Anggita merasa gelisah. Bahkan teman-teman mereka mulai menggoda, “Kalian tuh musuh apa pasangan?” Anggita selalu menyangkal dengan cepat, tapi rona pipinya tak bisa bohong. Waktu berlalu cepat. Ujian nasional, wisuda, lalu mereka lulus. Tahun-tahun berlalu lagi, dan dunia membawa mereka ke jalan masing-masing. Anggita mendirikan perusahaan start upnya, sementara Rafka menjadi direktur muda dan influencer yang pengikutnya berjuta-juta meski dia hanya memposting video keseharian sehatnya. Mereka tak pernah berhubungan lagi—sampai suatu hari, reuni sekolah mempertemukan keduanya. Aula sekolah malam itu penuh nostalgia. Musik pelan mengalun, lampu redup, semua orang sibuk bercengkerama. Anggita berdiri di pojok ruangan, memegang gelas jus, menatap kerumunan dengan senyum kecil. Matanya berhenti pada satu sosok tinggi di seberang ruangan—Rafka, masih dengan senyum tipis yang dulu sering membuatnya kesal. Tatapan mereka bertemu. Seketika, semua kenangan SMA itu berputar di kepala: buku yang hilang, dasi yang dicuri, cabai terakhir, dan tawa di ruang lab. “Dulu aku benci kamu setengah mati,” gumam Anggita pelan pada dirinya sendiri. “Tapi entah kenapa, aku juga selalu nunggu ulahmu.” Rafka berjalan mendekat. “Kamu masih marah soal dasi waktu upacara?” tanyanya, nada suara masih sama seperti dulu—santai, tapi hangat. Anggita tertawa pelan. “Aku udah lupa, tapi rasanya waktu itu pengen lempar kamu ke kolam.” “Kalau gitu sekarang boleh ganti dengan wiski?” Itu awal dari sesuatu yang baru. Anggita dan Rafka mabuk, tidur bersama, terekam kamera, viral dan mereka menikah dengan sukarela karena dua keluarga sudah setuju dan agak maksa. Pada akhirnya, hubungan yang dulu lahir dari perang kecil berubah menjadi rumah. Kini, mereka menikah. “Kamu masih cantik kayak dulu, Anggita.” Anggita hanya tertawa. “Dan kamu masih nyebelin, Rafka Wijaya.” Mereka berdua tahu, hubungan mereka tidak pernah dimulai dengan cinta manis atau rayuan romantis. Ia lahir dari persaingan, dari rasa penasaran, dari perang dingin yang berujung hangat. Dari dua hati yang sama keras, tapi diam-diam saling mencari. Musuh di masa SMA itu kini menjadi pasangan hidup—bukan karena berhenti bertengkar, tapi karena belajar tertawa di tengah kekacauan yang mereka ciptakan sendiri. Cinta mereka tidak sempurna, tapi justru di situlah keindahannya. Karena setiap kali Rafka membuat ulah, Anggita tahu: itu caranya bilang aku cinta kamu. Dan setiap kali Anggita berpura-pura kesal, Rafka tahu: itu caranya bilang aku juga mencintaimu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN