Bab 7 After Married

1082 Kata
Anggita terbangun dengan rasa aneh di dadanya—dan di sisi ranjang. Biasanya, begitu buka mata, yang ia lihat adalah bantal tambahan, ponsel di tangan, dan kucing tetangga yang nyasar ke jendela, tapi pagi ini… ada pemandangan baru. Seorang pria, dengan rambut acak-acakan tapi entah kenapa tetap tampan, sedang tidur di sebelahnya. Napasnya teratur, lengan kanannya menutupi separuh selimut, dan tubuhnya nyaris menyentuh bahunya. Rafka. Suaminya. Suami yang baru satu malam lalu resmi jadi pasangan hidupnya—dan seumur hidup mungkin bakal jadi sumber stres plus serotonin. Anggita menatap langit-langit sebentar. “Ya Tuhan, ini bukan mimpi, kan?” gumamnya pelan. Rafka bergumam setengah sadar, “Pagi, Sayang…” dengan suara berat khas baru bangun, saat mendengar itu, Anggita tahu kalau semua ini kenyataan pahit manis yang nyata. Anggita spontan meloncat duduk, meraih kemeja yang entah gimana ada di ujung ranjang. “Kenapa kamu di sini?” Rafka membuka sebelah mata, senyum kecil muncul di wajahnya. “Karena aku suamimu, kamu amnesia?” “Bukan gitu maksudku. Aku hanya belum terbiasa aja tidur ada orang lain.” “Wajar. Aku juga belum terbiasa, tapi karena kamu wangi, aku nggak keberatan. Meski kamu agak mendengur tadi malam, udah mirip tikus kejepit pintu.” “RAFKA!” Dia cuma tertawa kecil, bangun, dan meregangkan tubuhnya. Kaosnya sedikit terangkat, memperlihatkan perut berotot yang bikin Anggita refleks memalingkan wajah. Ya ampun, aku nggak siap tinggal serumah sama iklan protein shake berjalan. Rafka hanya tersenyum melihat wajah Anggita memerah. --- Pukul enam pagi, Anggita masih rebahan dengan rambut acak-acakan, sementara dari dapur terdengar suara blender. Ia mengerutkan dahi. “Dia ngapain pagi-pagi gitu sih?” Begitu keluar kamar, ia mendapati Rafka berdiri di dapur besar mereka dengan memakai apron bertuliskan “Hot Husband Cooking Club”. Di meja ada dua telur rebus, potongan alpukat, segelas air putih, dan smoothie hijau mencurigakan. “Selamat pagi, Mrs. Rafka,” sapanya ceria. “Aku belum ngopi.” “Makanya aku buatin green smoothie.” “Aku butuh kafein, bukan rumput.” “Ini bukan rumput. Vitamin C-nya tinggi, bagus buat kulit.” “Rafka, aku kerja di depan laptop, bukan panjat tebing.” Dia terkekeh, menaruh satu piring di depan Anggita. “Makan dulu. CEO nggak bisa perang tanpa amunisi.” “Telur rebus dua butir bukan amunisi, itu penghinaan.” Rafka menatapnya sambil menyeringai. “Kalau kamu makan ini tiap pagi, umur kamu panjang. Jadi aku bisa ganggu kamu lebih lama.” Anggita melotot setengah malas, setengah geli. “Kalau kamu terus ngomong kayak gitu, umurmu yang pendek, bukan aku.” “Mati di tangan istri sendiri kan tetap romantis.” Anggita tak menjawab, hanya memutar bola matanya dengan malas. Setelah sarapan “sehat tapi menyedihkan”, Anggita berganti pakaian kerja—blazer abu, rok pensil, dan heels. Ia memeriksa notifikasi email di ponsel, matanya tajam seperti jenderal perang. Sementara itu, Rafka duduk santai di sofa sambil scrolling berita tentang mereka. “Git, kita trending lagi.” “Apa lagi sekarang?” “Tagar baru: #CoupleGoalsRealLife. Orang-orang bilang kita pasangan paling seru di dunia korporat.” “Seru? Mereka nggak tahu aku udah pengen nonaktifin media sosial sejak semalam.” Rafka bangkit, menghampirinya, menyelipkan tangan ke saku celana dengan gaya santai khas pria yang tahu dia terlalu mempesona buat dimarahi. “Tenang aja, aku bakal jagain image kamu. Mulai sekarang, aku jadi tamengmu dari gosip.” Anggita mendengus. “Tamengku malah sumber gosip utama.” “Tapi tamengnya tampan.” “Dan menyebalkan.” “Dua-duanya benar.” --- Begitu Anggita siap berangkat, suasana depan rumah seperti medan perang mini: dua mobil mewah, satu sopir, satu bodyguard, dan beberapa wartawan sudah menunggu di luar pagar. “Rafka!” serunya panik sambil melihat dari jendela. “Ada media!” “Oh iya, aku lupa kasih tahu, rumahku gampang banget dilacak.” “Kamu lupa kasih tahu?” “Ya, maaf. Aku kira privasi cuma mitos di Jakarta Selatan.” Rafka mengambil jasnya, menatap keluar jendela, lalu berbalik dengan ekspresi setengah serius. “Oke, denger, kalau kita keluar sekarang, mereka bakal ambil foto. Jadi, kita harus kelihatan… romantis.” “Romantis gimana? Aku udah telat meeting!” “Trust me.” Begitu pagar otomatis terbuka, blitz kamera langsung nyala serentak. Rafka berdiri santai di samping Anggita, lalu dengan wajah tenang—dan penuh percaya diri—ia membungkuk sedikit dan mencium keningnya. Klik! Klik! Klik! Suara kamera bersahutan seperti badai. Anggita spontan membeku. “Rafka! Kamu—” “Shhh…” bisiknya pelan. “Ada sasaeng, my wife.” “APA?” “Yang di belakang mobil hitam itu. Kamera lebih besar dari laptopmu.” Anggita hampir melempar sepatu ke arah wajahnya kalau bukan karena fakta bahwa belasan kamera masih menyorot mereka. Dia cuma bisa tersenyum pura-pura bahagia, sementara tangan kirinya mengepal di balik clutch. “Selamat bekerja, Mrs. Rafka,” bisik Rafka lagi dengan nada genit. “Jangan lupa makan siang, atau nanti aku kirim telur rebus ke kantor.” “Kalau kamu kirim itu, aku kirim surat cerai.” “Deal, tapi aku pastiin suratnya dikirim sambil cium kening lagi.” Anggita hampir kehilangan kesabaran, tapi di sisi lain, pipinya justru memanas. Bukan cuma karena malu, tapi karena senyum nakal Rafka itu entah kenapa bikin jantungnya deg-degan dengan cara yang nggak dia mau akui. Setelah mobil Anggita melaju pergi, Rafka masih berdiri di depan pagar sambil melambaikan tangan. Wartawan masih menyorot, dan dia dengan santai berkata, “Terima kasih, teman-teman media. Tapi biarkan istri saya bekerja dengan tenang. Kalau mau wawancara, antre aja minggu depan, pas kita jogging bareng.” “Jogging?” salah satu wartawan bertanya. “Ya, aku lari, dia lari dari aku.” Gelak tawa pecah. Kamera terus merekam. Dan Rafka, dengan senyum penuh kemenangan, masuk kembali ke rumahnya—meninggalkan dunia luar yang masih sibuk menulis berita tentang ciuman pagi viral pasangan korporat abad ini. Sementara di dalam mobil, Anggita bersandar di kursi, menatap layar ponsel yang sudah penuh notifikasi. Satu pesan masuk dari Rafka. “Jangan marah, ya. Aku cuma nyelametin reputasi kamu—dan mungkin sedikit hatiku sendiri 😉.” Anggita menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya mengetik balasan singkat. “Kalau aku trending lagi gara-gara kamu, aku bakar gym kamu.” Beberapa detik kemudian, notifikasi balasan masuk. “Kebetulan aku suka panas-panas, Mrs. Rafka 🔥.” Di tengah tumpukan kerjaan, tekanan, dan headline media, senyum kecil akhirnya muncul di bibir Anggita. Untuk pertama kalinya sejak chaos ini dimulai… hatinya nggak seberantakan kelihatannya. Dia suka kehidupan setelah pernikahan yang sepertinya seru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN