Bab 6 Kok nangis?

1105 Kata
Hari itu, langit Jakarta mendung tapi cerah—semacam cuaca yang bingung mau nangis atau bahagia. Sama seperti Anggita. Gaunnya terlalu berat, makeup-nya terlalu tebal, dan di luar sana, puluhan kamera media sudah siap merekam setiap detik pernikahan “terheboh tahun ini.” Ia menatap pantulan dirinya di cermin, lalu bergumam, “Ini gila. Aku beneran mau nikah sama orang yang bikin aku hampir ditabrak di parkiran.” Mira yang jadi bridesmaid menepuk bahunya pelan. “Eh tapi minimal yang hampir nabrak kamu itu tajir, Git.” “Mira.” “Oke, maaf, tapi serius, kamu kelihatan cantik banget. Kalau Rafka sampai nggak nangis liat kamu, aku yang lempar buket bunga.” Anggita menghela napas. “Aku nggak tahu kenapa rasanya… campur aduk. Kayak mau wawancara tapi pakai gaun 30 juta.” Mira mendengus pelan, "Alay, deh." Sementara itu, di ruangan sebelah, Rafka sedang duduk dengan jas putih dan wajah setegang konferensi pers. Papa-nya menepuk bahunya. “Kenapa? Nggak yakin?” Rafka menghela napas. “Yakin, Pa. Cuma… takut dia nggak yakin.” “Kalau kamu yakin, nanti dia ikut yakin.” “Kalau dia kabur gimana?” Papa-nya tersenyum kecil. “Ya kejar. Wartawan juga dapet tontonan gratis.” Beberapa menit sebelum mereka dipanggil ke altar, panitia bilang kalau masih ada waktu sepuluh menit. Rafka keluar dari ruang tunggu dan menemukan Anggita sedang berdiri di taman belakang gedung, menatap langit. Ia mendekat perlahan. “Lari sebelum akad?” Anggita menoleh. “Lari sih enggak, tapi pengen teleport ke planet lain.” “Sayangnya sinyal TV-ku belum nyampe sana.” Ia tertawa kecil meski jelas gugup. Hening sebentar. Angin berembus lembut. Rafka menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Git… boleh aku jujur sebentar?” Anggita mengerutkan kening. “Kamu biasanya jujur tanpa izin.” “Yang ini beda. Aku takut kalau aku ngomong, kamu malah makin pengen kabur.” “Coba aja.” Rafka menelan ludah. “Malam itu… waktu kita mabuk… aku nyesel.” Anggita langsung menunduk. “Kamu pikir aku nggak?” “Bukan nyesel karena sama kamu.” Suaranya menurun, lebih pelan, tapi tulus. “Aku nyesel karena aku nggak cukup sadar untuk bilang kalau aku bener-bener pengen itu terjadi dengan cara yang lebih baik. Lebih layak buat kamu.” Anggita terdiam. Ia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Rafka tidak sedang bercanda. “Aku tahu itu pertama kalinya buat kamu,” lanjutnya lirih. “Buat aku juga. Aku nggak mau kenangan itu jadi hal yang kamu benci. Jadi, ya… mungkin ini terdengar konyol, tapi aku mau memperbaikinya. Dengan menikah beneran.” “Rafka…” “Kalau kamu pikir aku cuma main-main, aku nggak bakal berdiri di sini dengan jas putih yang bikin gerah ini.” Anggita tertawa kecil di antara haru. “Kamu ini bisa aja… bahkan di momen serius.” “Ya gimana, aku gugup. Biasanya yang nonton aku ribuan, tapi sekarang kamu satu-satunya audiens yang aku takut kehilangan.” Ia memandang wajahnya lama, lembut tapi penuh rasa bersalah yang tulus. “Aku tahu kita aneh. Nggak ada romantisnya sama sekali. Tapi kalau kamu kasih aku kesempatan, aku bakal berusaha bikin kamu bahagia dengan cara yang kamu nggak duga.” Anggita menghela napas pelan, lalu berkata, “Aku masih marah, tahu?” “Aku tahu.” “Dan aku belum yakin bisa jatuh cinta sama kamu.” “Aku juga belum yakin kamu bisa, tapi aku yakin aku bisa bikin kamu ketawa setiap hari sampai akhirnya kamu nggak sadar kapan mulai suka aku.” Ia tersenyum—bukan senyum playboy seperti biasanya, tapi senyum hangat yang jujur. Anggita menatapnya beberapa detik, lalu mengulurkan tangan. “Kalau nanti aku nyesel, aku tuntut kamu.” “Kalau kamu bahagia, aku tuntut balik.” “Deal.” “Deal.” --- Pintu aula terbuka. Musik mengalun pelan. Wartawan berdesakan di luar, tamu berdiri, dan kamera siaran langsung sudah siap. Ketika Anggita berjalan di altar, langkahnya pelan tapi pasti. Di ujung sana, Rafka berdiri dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Mira yang duduk di barisan depan berbisik pada tamu sebelahnya, “Tuh kan, nangis beneran dia.” “Beneran cinta ya?” “Entah, tapi rating acara ini udah pasti tinggi.” Saat tangan Anggita diserahkan padanya, Rafka menerimanya. Upacara pernikahan pun dimulai. Kalimat “Sah!” baru aja bergema, tapi seluruh ruangan udah pecah kayak konser gratis. Tamu bertepuk tangan, wartawan menyoraki, dan kamera dari stasiun TV milik Rafka—tentu saja—menyorot wajah mempelai pria yang… menangis. Bukan nangis elegan kayak di drama Korea. Ini nangis beneran. Hidung merah, mata berkaca-kaca, suara grogi kayak mic rusak. “Bapak Rafka, kenapa menangis?” tanya reporter live dengan semangat. Rafka menyeka air mata sambil tertawa canggung. “Karena… akhirnya ada yang mau nikah sama saya.” Tamu-tamu langsung ngakak. Dalam waktu dua jam, klip itu sudah viral dengan caption: “CEO TV nangis kayak kehilangan sinyal.” “Cowok bad boy juga butuh cinta, guys 😭💍” --- Malam harinya, rumah baru mereka masih berantakan dengan kardus hadiah pernikahan. Rafka duduk di sofa dengan piyama satin—iya, satin, lengkap dengan tulisan “MR. RIGHT” di d**a—sambil live di akun resmi TV-nya. “Guys,” katanya sambil melambaikan tangan ke kamera. “Hari ini aku resmi menikah. Dan ya, aku nangis. Tapi air mata cowok juga investasi, tahu?” Komentar mengalir deras. “Bang, istrimu mana? Kita mau konfirmasi dia beneran ada.” “Cowok nangis, saham cinta naik!” “Bang, rating-nya jangan dipake buat flirting!” Rafka tertawa, lalu berkata, “Dia lagi meeting. Bayangin, istri aku kerja, aku yang live. Dunia ini bener-bener nggak adil.” Rafka segera menghampiri Anggita ketika melihatnya selesai meeting, “Sayang, aku lagi live nih, mau sapa fans?” “Fans kamu banyak banget, Raf. Tapi salah satu dari mereka besok pagi mau review proposal.” “Wah, galak banget, tapi seksi.” Anggita berjalan ke arah pintu kamar, lalu sengaja bersandar di kusen sambil tersenyum jahil. “Eh, husband.” Rafka menoleh sambil masih pegang HP untuk live. “Ya, my viral husband is speaking to the nation right now, what’s up?” “Aku mau mandi.” “Oke, jaga suhu airnya.” “Hmm,” Anggita mencondongkan badan sedikit dan dengan ekspresi tenang tapi menggoda, berkata, “Kamu mau ikut?” Rafka spontan langsung freeze di depan kamera. Live chat meledak. “WHAT DID SHE JUST SAY—” “Bang fokus! Fokus bang!!” “Cepet END LIVE, BANG!!” Mereka berdua tertawa kecil. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah segala kekacauan gosip, pura-pura, dan tangisan di siaran langsung, mereka akhirnya bisa tertawa bukan karena terpaksa, melainkan karena benar-benar bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN