Masa remaja yang biasanya dihabiskan dengan penuh tawa dan bahagia. Harus dilalui Nara dengan seluruh kesakitan akibat perceraian orang tua dan sikap kejam Ayahnya yang sudah tertanam dibenak Nara. Dalam pikiran Nara saat ini, ia hanya benci dengan mahluk yang namanya laki-laki.
Hari-hari yang dilaluinya tidak banyak. Dulu ia bisa menghabiskan waktunya dengan bermain bersama teman-temannya untuk sekedar berbagi cerita. Tapi sekarang Nara rasanya begitu malu. Bahkan setelah pengumuman jika ia diterima di SMP favorit, tanggapannya pun biasa saja dan ia menjalani sekolahnya dengan tidak bersemangat.
Pagi itu Nara ingin langsung berangkat ke sekolah. Tapi saat ia akan mengambil sepatunya, tidak sengaja sepatu itu bertumpuk dengan milik Kala yang terlihat kotor. Hal itu membuat Nara begitu kesal.
"Kala! Dimana kamu, Kala!" Nara berteriak-teriak memanggil saudara kembarnya itu hingga suaranya terdengar ke penjuru rumah.
"Ada apa sih teriak-teriak? Nggak bisa banget tenang jadi orang," sahut Kala yang baru saja keluar dari kamarnya, ia pun sudah siap dengan seragam sekolahnya.
"Kalau nggak mau aku marah, kamu tuh bisa nggak sih menaruh sepatu yang benar? Lihat nih, sepatu kamu ngotorin sepatu aku. Dasar laki-laki ceroboh!" maki Nara yang langsung membuang sepatu Kala dengan kasar.
"Apaan sih, nggak jelas banget jadi cewek. Kamu yang naruh sepatu di rak punya aku. Ya kamu yang salah." Kala mengernyit kesal, mengambil sepatunya kembali lalu meletakkannya ditempat tadi.
"Kamu yang salah! Laki-laki itu seharusnya ngalah sama perempuan. Nggak mau seenaknya aja! Ambil sepatunya lagi!" teriak Nara masih tidak terima, ia sangat kesal dengan semua yang namanya laki-laki.
"Enggak! Kamu nggak usah nyari ribut, kayak anak kecil aja," cetus Kala tidak mau mengambil pusing perkataan Nara.
Nara begitu geram, ia yang sudah sangat muak dengan semua jenis laki-laki langsung membuang sepatu itu dengan gerakan kasar. Ia juga melemparnya kearah Kala sehingga memancing kemarahan saudara kembarnya itu.
"Nara! Kamu keterlaluan!" teriak Kala.
"Kamu yang keterlaluan! Kamu yang nggak pernah ngerti aku ngomong apa. Kamu yang salah! Kamu yang salah!" Nara balas berteriak sehingga menimbulkan suara yang sangat gaduh. Keduanya terus beradu mulut sampai Kanaya yang ada dilantai bawah mendatangi mereka.
"Kakak, Nara, ada apa ini? Kenapa sepatunya berantakan?" tanya Kanaya dengan wajah bingung.
"Tau nih, dia marah-marah nggak jelas. Buat mood orang rusak aja," sahut Kala melirik Nara begitu dongkol.
"Kamu yang salah! Laki-laki maunya menang sendiri," ujar Nara masih dengan segala kemarahannya.
"Nggak perlu saling menyalahkan, kalian ingat nggak, ibu pernah bilang apa? Kalian itu saudara, harus menyayangi satu sama lain. Nara juga, kenapa marah-marah, Sayang? Kalau Kala salah kamu bisa ngomong baik-baik, nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan kemarahan," tutur Kanaya, pagi-pagi sudah dibuat pusing akan sikap putrinya ini.
"Iya harusnya, tapi dia itu nggak mau dengerin aku ngomong. Dia merasa selalu benar. Laki-laki memang sama saja," kata Nara yang langsung pergi meninggalkan Kanaya dan Kala untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya dengan keras.
Kanaya terkejut, ia sampai mengelus dadanya sendiri melihat sikap putrinya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat emosional itu. Kemana Keinara yang selalu ceria.
"Ibu nggak usah ngurusin dia. Nanti juga baik sendiri, nggak jelas emang itu anak," ujar Kala mencoba menenangkan ibunya meski hatinya sendiri kesal.
Kanaya tersenyum sedikit. Ia menepuk lengan putranya yang kini sudah semakin tegap itu. "Kakak sarapan, Ibu akan mencoba membujuk Nara. Kakak juga harus mengerti ya, mungkin Nara sedang ada masalah disekolah, nanti ibu akan mencoba berbicara padanya," kata Kanaya.
"Enggak usah, dia begitu karena mantan suami ibu," ucap Kala sambil lalu.
Kanaya semakin terkejut, apa yang dikatakan Kala memang ada benarnya. Perubahan sikap Nara ini terjadi setelah melihat Adit menyiksa Kanaya waktu itu. Ditambah setiap hari Nara selalu melihat Ayahnya bermesraan dengan Desi di rumah itu.
"Nara, maafkan ibu, Nak. Ibu janji akan berusaha mencari pekerjaan. Kita tidak bisa terus tinggal di rumah neraka ini," lirih Kanaya seraya menyapu air matanya yang tiba-tiba membasahi wajahnya.
Jika memang alasan itu yang membuat putrinya berubah. Artinya Nara sudah sangat trauma sehingga menganggap semua laki-laki hanya akan datang untuk menyakiti.
"Mas jangan disini, nanti ada yang melihat, bukannya kamu juga ingin bekerja?" Suara erot*s Desi terdengar dari dalam kamar Kanaya.
"Bekerjanya nanti saja, kita sarapan yang lezat dulu."
"Mas memang selalu saja tidak sabar, ayo kita ke kamar, Mas."
Disela-sela kekalutan hatinya, Kanaya justru mendengar suara menyebalkan yang datang dari arah tangga. Dirinya dua makhluk tidak tahu diri yang baru saja pulang dengan bau alkohol yang menyengat. Sudah bisa dipastikan dua pendosa itu baru saja pulang dari klub malam.
"Hei, Kanaya. Cepat siapkan kamarku, aku ingin tidur bersama Desi," ucap Adit dengan nada yang arogan.
"Bukannya urat malu kalian sudah putus? Kenapa tidak bercinta di jalanan sana? Aku tidak akan membiarkan kalian mengotori telinga putriku dengan kelakuan hina kalian. Sekarang kalian harus pergi," sahut Kanaya langsung saja mendorong Desi dengan kasar sampai wanita itu terjengkang ke belakang.
"Aduh, beraninya kamu wanita gila!" teriak Desi tidak terima.
"Aku bisa lebih gila dari ini kalau kalian tidak segera pergi. Pergi!" hardik Kanaya memandang keduanya penuh kebencian. Seolah dari tatapan mata itu bisa mencabik-cabik Desi yang mulai ketakutan.
"Mantan istri kamu ini memang udah nggak waras, Mas. Ayo kita pergi saja dan bercinta ditempat lain saja. Aku cukup kasihan, sepertinya dia begitu tidak laku sehingga menganggu kesenangan kita terus," ucap Desi memanas-manasi Kanaya.
"Lagipula siapa yang sudi dengan wanita gila seperti dia. Udah miskin, merepotkan lagi. Emang paling bener kamu ninggalin dia, Mas," sambung Desi terus menghina Kanaya.
"Tutup mulutmu j4lang sialan atau akan merobeknya!" Kanaya tidak terima, ia merangsek maju untuk menyerang Desi.
Namun, Adit langsung pasang badan didepan Desi dan balas mendorong Kanaya sampai wanita itu terjatuh. Sama persis seperti yang wanita itu lakukan pada Desi tadi.
"Sekali saja kamu menyentuh Desi, aku tidak akan mengampunimu, Kanaya." Ancam Adit menatap Kanaya nyalang.
Desi tersenyum penuh kepuasan, ia lalu mengajak Adit pergi meninggalkan Kanaya yang terdiam dengan seluruh luka yang setiap detiknya terus menggerogoti tubuhnya. Perasaan tersiksa batin, itu jauh lebih menyakitkan daripada dipukul berkali-kali. Rasanya benar-benar sakit.
Nara yang melihat apa yang baru saja terjadi dari celah pintu kamarnya semakin menumpuk kebencian kepada sosok Ayahnya. Ia semakin yakin jika ia tidak butuh laki-laki yang hanya bisa menyakiti perempuan.
***
Semalaman Kanaya berpikir keras dan memilih untuk mencari pekerjaan secepat mungkin. Ia tidak ingin membiarkan dirinya dan hidupnya dihina terus menerus. Mungkin ia memang harus melepaskan rumah yang saat ini ia tinggali dan menata hidupnya kembali bersama kedua anaknya dengan tenang tanpa bayangan dari mantan suaminya yang tidak punya hati itu.
Kanaya mencari pekerjaan apapun yang sekiranya bisa memberikannya uang. Tidak peduli jika harus jadi pelayan atau pembantu, yang penting uang itu halal.
Namun, mencari pekerjaan di kota besar seperti itu tidaklah mudah. Hampir seharian Kanaya memasukkan formulir lamaran ke perusahaan atau kantor kecil yang mungkin membutuhkan pegawai. Tapi tidak satupun dari mereka yang membuahkan hasil. Sebagai pelayanpun harus menunggu panggilan.
"Ya Tuhan, sebenarnya apa yang telah kamu rencanakan untukku? Apa belum cukup cobaan yang kamu berikan ini?" Kanaya berubah dengan nada yang sangat lelah.
Kanaya lalu mendudukkan dirinya disalah satu kursi taman yang kosong. Akan tetapi sebelum ia duduk seorang pria yang entah datang darimana sudah lebih dulu duduk disana. Kanaya mendesis kesal, ia langsung berjalan mendekat lalu menarik baju pria itu.
"Aku yang sudah lebih dulu melihat kursi ini. Menyingkirlah," kata Kanaya menunjuk pria itu dengan dagunya.
Dewa, pria yang dimaksud oleh Kanaya itu mengangkat alisnya. Ia memiringkan kepalanya, mengingat wanita ini yang ia temui beberapa waktu lalu.
"Bertemu lagi, Nona galak," ucap Dewa mengulas senyum tipisnya sehingga kedua lesung pipinya terlihat.
"Apa kamu bilang? Galak? Cih, apa kamu pikir aku kita sedekat itu sehingga kamu bisa menilai karakterku?" Lagi-lagi tanggapan Kanaya langsung marah.
Dewa mengangkat alisnya, ia lalu menggeser tubuhnya. "Aku tidak tahu apa masalahmu sebenarnya. Tapi lebih baik kamu duduk, kenapa kamu selalu marah kepada semua laki-laki, apa itu tidak aneh?" ujar Dewa.
"Kalau kamu memang laki-laki, maka bersikaplah sebagai laki-laki. Bukan jadi seorang pengecut!" bentak Kanaya, masih belum bisa tenang. "Sekarang kamu harus minta maaf," ujar Kanaya.
"Minta maaf untuk?" Dewa mengangkat alisnya tidak mengerti.
"Ya karena kamu salah. Kamu telah mengambil duduk di kursi yang aku lihat terlebih dulu. Dan kamu juga harus minta maaf karena beberapa hari yang lalu kamu memarahiku," kata Kanaya melotot kesal.
Dewa menghela napas panjang, ia tidak mengerti kenapa ada wanita yang semacam ini. Tapi ia tidak mau memperpanjang masalah, ia mengangguk seraya mengatupkan kedua tangannya.
"Maafkan aku, Nona," ucap Dewa.
Kanaya mendengus pelan, ia langsung duduk begitu saja setelah mendengar permintaan maaf Dewa. Entahlah, ia ingin sekali marah sekarang ini. Entah marah kepada siapa, sebenarnya ia sendiri tidak tahu.
"So, apa masalahmu, Nona?" tanya Dewa.
"Memangnya apa yang ingin kamu ketahui? Anak ingsuan sepertimu tidak akan paham masalah orang dewasa. Lebih baik kamu diam," tukas Kanaya, menganggap Dewa seperti anaknya Kala meksipun pria itu sudah dewasa dan sangat tampan tentunya.
"Bukankah ucapanmu terlalu mengejek, Nona. Aku bahkan sudah bisa membuatmu hamil," celetuk Dewa yang merasa harga dirinya terusik dianggap anak kecil oleh Kanaya.
"Hanya membuat wanita hamil itu mudah. Lalu setelah itu? Kamu akan bosan dan membuangnya seperti sampah. Ya! Laki-laki memang sama saja, dia hanya tahu bagaimana hasilnya tanpa mau tahu prosesnya! Semua laki-laki brengsekkkkkk!" Kanaya justru semakin marah dan memukuli Dewa.
Bersambung.