Tanda Tanya?

791 Kata
Jika sebagian orang kalangan tertentu sibuk memperdebatkan bagaimana bisa lolos keluarga Yunglow, sang pewaris yang menjadi pusat perhatian itu justru terbaring dalam kesunyian kamar, ruang paling eksklusif di rumah sakit. Sudah dua minggu sejak operasi terakhir. Tubuhnya stabil, detak jantungnya normal... namun kesadarannya masih tertutup. Beep... beep... beep... Suara mesin monitor jantung tiba-tiba berubah ritme. Perawat yang berjaga di depan ruangan memeriksa cepat lalu menekan tombol darurat. "Dokter Qin! Tuan Muda menunjukkan respons!" serunya panik. Dokter Qin langsung memeriksa Dominick dengan wajah tegang, antara haru dan syukur. Kelopak mata Dominick bergetar. Sekali. Dua kali. Cahaya menusuk pupil matanya, membuat napasnya tertahan sejenak. Perlahan, kelopak mata itu terbuka sepenuhnya. Tatapan kosong menatap langit-langit putih yang terlalu terang. Napas tersengal terdengar di ruangan itu—antara hidup dan mati, sadar dan tidak. Tangan Dominick bergerak sedikit, menepis udara kosong di depan wajahnya. "Tuan Muda...." Panggil dokter Qin perlahan. Dominick menggeliat pelan, napasnya memburu, kelopak matanya bergerak cepat di bawah garis infus yang masih menempel di tangannya. "Tuan Muda... bisa kau dengar saya?" tanya Dokter Qin sambil memeriksa tekanan darahnya. Tak ada jawaban, hanya suara napas berat — hingga perlahan, matanya kembali terbuka. Cahaya putih lampu menyilaukan pandangannya. Wajah itu kosong. Pupil matanya mencari-cari sesuatu... atau seseorang... tapi tak mengenali apa pun di sekitarnya. "Di mana aku...?" bisiknya serak, pelan sekali. Dokter Qin tersenyum lega. "Anda di rumah sakit, Tuan Muda. Anda sudah melewati masa kritis." Namun kegembiraannya tak berlangsung lama. Saat mencoba memperkenalkan diri, Dominick hanya menatapnya datar, penuh kebingungan. "Siapa... kau?" suaranya kaku, dingin, dan bingung sekaligus. Dokter Qin membeku. Dia segera menatap monitor, lalu menatap Dominick lagi, memastikan pasiennya sadar penuh. "Tuan Muda Dominick... anda tidak mengenali saya?" Pria itu mengerutkan alis, memegang kepala yang terasa berat. "Siapa aku? Siapa Dominick?" Tatapnya dengan mata kosong. Seolah nama itu asing di telinganya "Ya. Anda adalah Dominick Yunglow. Pewaris keluarga besar Yunglow." Tak lama kemudian, Nyonya Yunglow datang dengan langkah terburu. Dua pengawal membuka pintu lebar-lebar, dan begitu melihat cucunya sudah sadar, wajah tuanya seolah meleleh antara lega dan cemas. "Dom... cucuku," katanya lirih sambil menggenggam tangan Dominick. Namun sang cucu hanya menatapnya dengan bingung. "Maaf... apakah kita... saling kenal?" tanyanya ragu. Pertanyaan itu seperti pisau yang menancap di d**a sang nenek. Sekilas, terlihat getar di matanya — namun dia segera menegakkan tubuh, menelan keterkejutannya dengan wajah dingin khas Yunglow. "Ya, tentu saja kita saling mengenal, Sayang. jawabnya tegas. "Aku nenekmu. Dan kau... penerus dari keluarga Yunglow— cucu kebanggaanku." Dominick masih menatapnya tanpa ekspresi, seperti anak kecil yang baru belajar membaca dunia. Nyonya Yunglow menatap ke arah dokter Qin dengan tatapan penuh intimidasi, dokter Qin menggeleng. "Aku tidak mengenal kalian. Aku tidak tahu siapa aku..." ucapnya lirih membuat Nyonya Yunglow tidak bisa menahan air matanya. "Tidak masalah, Dom. Kamu karena terlalu lelah, makanya kamu lupa diri kamu. Kamu istirahat dulu saja..." ucap Nyonya Yunglow dengan nada putus asa. "Dokter Qin, kita bicara sebentar." Tatapan itu menatap tegas, kalimat itu adalah perintah membuat dokter Qin mengangguk patuh. "Baik, Nyonya." Lalu dokter Qin memerintahkan kepada petugas medis lainnya untuk melanjutkan pemeriksaan dan mereka membawa Dominick ke ruang pemeriksaan. Di luar kamar, wajah lembut itu berubah menjadi topeng besi. Tatapan Nyonya Yunglow kini dingin dan menusuk. "Dokter Qin," suaranya tegas. "Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk penelitianmu selama ini. Yunglow selalu menjadi pelindung kariermu. Maka tidak ada alasan kau tidak menyelesaikan permasalahan cucuku. Aku ingin jawaban. Cepat." "Baik, Nyonya," jawab dokter Qin menunduk. Namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang menggeliat—ketakutan dan rasa bersalah yang menyesakkan. Beberapa jam kemudian, dia duduk sendirian di laboratorium bawah tanah rumah sakit, menatap layar hasil scan otak Dominick. Hasilnya jelas, amnesia pasca trauma berat. Sebagian besar ingatan jangka panjang rusak, dan ada pola aneh pada jaringan otaknya — seperti ada sesuatu yang disengaja diubah. Dokter Qin menatap hasil itu lama, lalu menulis catatan di berkas pribadinya: "Pasien menunjukkan kehilangan total memori jangka panjang. Namun refleks dan fungsi kognitif dasar tetap aktif. Perubahan jaringan otak mengindikasikan adanya bahan kimia sintetis—kemungkinan buatan manusia." Tangannya berhenti menulis. Dia menatap foto hasil scan sekali lagi. Ada sesuatu yang tak seharusnya ada — sebuah tanda samar seperti jejak luka mikro di bagian saraf pusat. Dia tahu arti itu. Ini bukan kecelakaan. Ini sabotase. Seseorang, entah siapa, telah berusaha menghapus Dominick — bukan membunuh tubuhnya, tapi memusnahkan ingatannya. Dan kini, pewaris keluarga Yunglow hidup kembali... tanpa mengenal siapa musuh atau keluarganya sendiri. Dokter Qin menatap layar redup itu, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Jika ingatannya hilang... maka seluruh rahasia keluarga ini ikut terkubur bersamanya. Tapi untuk berapa lama? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya pada Tuan Muda? Padaku?" Bisiknya ragu. Ketakutan semakin terlihat jelas di wajahnya, tentang ketidak pastian. Ada sebuah ambisi. Dia harus mengembalikan ingatan Dominick jika ingin selamat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN