Pemilihan Selir

881 Kata
BRAAAK!! PRANG!! Suara pecahan gelas kristal itu memantul ke seluruh dinding kamar yang luas dan mewah. Bau alkohol bercampur dengan aroma obat masih menyelimuti udara. Dominick, pria berambut plontos dengan tatapan kosong namun penuh amarah, berdiri terhuyung-huyung sambil menggenggam sisa botol di tangannya. Wajahnya sesekali tertawa sesekali meringis merasakan ngilu pada luka jahitan bekas operasi di bahu kanan dan perutnya. "Keluar dari sini! Keluar kaliaaan!! Shittt!" Geramnya mencengkeram botol alkohol di tangannya berusaha mengayunkan botol itu nyaris mengenai wanita itu yang menatapnya dengan ketakutan. Melihat ekspresi wanita itu Dominick tertawa mengejek. "Lepaskan pakaiannya dan seret dari kamar ini! Aku tidak sudi melihat wanita yang berani memasuki kamar ini!" teriaknya, suaranya dingin namun menusuk telinga. Wanita muda itu, tampak tubuhnya gemetar. Dia hanya berdiri di ambang pintu, menunduk, dengan gaun putih tipis yang seolah tidak mampu menutupi rasa malunya. Bibirnya gemetar, tapi ada keberanian yang dia paksakan keluar. "Tuan... aku bisa memberimu anak," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Dominick mendengkus kasar. Matanya menyipit, seakan terbakar oleh sesuatu yang tak bisa dia pahami. Refleks, tangannya melemparkan gelas sisa minuman keras tepat ke arah wanita itu. BRUK!! "Akhh!" Rintihnya sambil meringis. Pecahan kaca mengenai pelipisnya, meninggalkan garis darah tipis yang mengalir ke pipinya. "Singkirkan dari mataku!!" Teriak Dominick tak terkendali. "Jangan sampai aku melihat ada wanita lagi masuk ke kamar ini, atau aku membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Geramnya dengan tatapan membunuh. Dengan langkah gontai, dua bodyguard segera menyeret gadis muda itu keluar, membiarkan gadis itu berjalan tertatih menuruni tangga megah dengan wajah tertunduk malu. Ada rasa kecewa di wajah cantik itu karena tidak berhasil meluluhkan pria yang memang menjadi salah satu pewaris terkaya di Indonesia. Di lantai bawah, seorang wanita paruh baya—Nyonya Yunglow—menghela napas panjang. Guratan usia tampak jelas di wajahnya, tapi sorot matanya tetap tajam dan berwibawa. Dia menatap pemandangan itu dengan kecewa yang begitu dalam. "Astagaaa... Tuhan..." gumamnya lirih, tangannya mengusap d**a. "Sekretaris Lin, ini sudah wanita ke berapa yang kita bawa sejak sebulan ini?" Sekretaris Lin, wanita paruh baya dengan wajah pucat penuh tekanan, menunduk dalam-dalam. "Ini sudah yang ke sembilan puluh sembilan, Nyonya." Jawabnya menunduk lesu. "Masih adakah kandidat lain?" Tanya nyonya Yunglow seperti tengah putus asa. "Kita ada peserta tambahan, Nyonya. Dan ini adalah kandidat tersisa yang sudah lolos seleksi." Tegas sekretaris Lin lagi. Sorot mata Nyonya Yunglow beralih pada gadis muda belia yang duduk dengan tubuh bergetar dan wajahnya tampak memucat setelah melihat wanita yang turun dengan darah mengalir di pelipis matanya. Dia duduk dengan lemas di ruang tunggu antara keraguan dan keyakinan tentang melanjutkan mengikuti sayembara ini. Tapi, sejenak dia teringat akan ancaman sang ayah. "Hmm..." Nyonya Yunglow menghela napas berat, "wanita sekecil itu melayani Dominick? Berapa umurnya?" "Delapan belas tahun, Nyonya," jawab sekretaris Lin hati-hati. Mata Nyonya Yunglow sontak melebar, penuh amarah. "Kau! Beraninya membawa gadis belia ke cucuku?! Bisa apa dia?! Kau pikir cucuku seekor binatang yang bisa diberi mangsa sembarangan?!" Suaranya meninggi, membuat seluruh ruangan menegang. Sekretaris Lin membungkuk, keringat dingin bercucuran. "M-maafkan saya, Nyonya. Sampai saat ini, baru itu kandidat yang tersedia sesuai dengan kriteria kita." Nyonya Yunglow mengibaskan tangannya, tetapi matanya masih menusuk tajam. "Apa motifnya mengikuti challenge ini?" Sekretaris Lin buru-buru menyodorkan berkas. "Ibunya dirawat di rumah sakit, Nyonya. Nona Sherina Smith... anak sulung keluarga Smith yang tidak pernah tampil selama ini." "Anak... haram?" wajah Nyonya Yunglow mengeras, suara seraknya bergetar penuh amarah. "Berani-beraninya kau menyerahkan cucuku pada anak haram keluarga Smith?! Lin! Kau bosan hidup, hah?!" Sekretaris Lin berlutut. "T-tidak, Nyonya..." "Apa motovasinya ingin masuk ke keluarga Yunglow?" Pertanyaan nyonya Yunglow seperti sedang mencari jawaban. "Dia terpaksa masuk challenge ini demi biaya pengobatan ibunya yang mengidap virus langka, Nyonya." Tatapan Nyonya Yunglow begitu dingin hingga membuat Sekretaris Lin gemetar. Tetapi pada akhirnya dia hanya mendesah pasrah, seolah tenaga dan usianya tak lagi bisa menopang semua beban. "Sudahlah... aku tidak ingin mendengar alasan. Sekali lagi kau ulangi kebodohan seperti ini, jangan harap aku ampuni." Sekretaris Lin mengangguk cepat, wajahnya pucat pasi. Nyonya Yunglow berbalik menatap ke arah pintu kamar Dominick yang tertutup rapat. Suaranya lirih, namun penuh beban. "Dia... bahkan tidak tahu siapa dirinya. Dokter melarangnya pulang. Ingatannya masih kabur. Tapi aku... aku tidak bisa menunggu lebih lama. Jika dia tidak memilih satu di antara mereka, maka akan semakin sulit harapan untuknya memiliki keturunan. Dan aku tidak akan membiarkan cucu pilihanku dipermalukan." Keluhnya menahan kekesalan. Sedangkan sekretaris Lin masih belum berani berkomentar. Tatapannya menusuk penuh kebencian. "Tapi aku bersumpah, aku tidak akan merelakan anak bau kencur ini jadi cucu menantuku. Suruh dia naik. Biar dia tahu bagaimana rasanya menghadapi Dom. Aku yakin dia tidak berbeda jauh dari gadis lain yang akan di tolak Dom." Senyumnya sinis penuh harapan. "Lagian ini masih baru setelah kepulangan Dom dari rumah sakit. Kita akan mengadakan seleksi berikutnya...." "Baik, Nyonya." Sekretaris Lin keluar ruangan dan menemui Sherina yang duduk dengan tubuh bergetar. "Nona, silahkan naik..." perintahnya membuat Sherina menelan ludahnya menatap ke arah sekretaris Lin sambil mengangguk dan berdiri. Bahkan dia nyaris terjatuh ketika mencoba berdiri, ada gundah di lubuk hatinya. Langkah kaki jenjang Sherin menaiki tangga demi tangga beralaskakn karpet permadani yang empuk dan mewah, jantungnya semakin berdegub kencang. Mungkinkah dia mampu menahlukan pria itu, sedangkan banyak wanita cantik dan berkelas sudah di tolak mentah-mentah. Dia tiba-tiba tersenyum pesimis helaan nafasnya terdengar berat. Tapi, sekelebat bayangan ibunya membuatnya mengepalkan kedua tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN