Siapa Kamu?

653 Kata
“Aku harus bisa. Menahlukan pria itu seperti apapun rupanya dan berapapun usianya. Aku harus mendapatkan uang itu” tegasnya sembari mengepalkan tangan. Langkah kaki Sherina terasa begitu berat, seolah setiap helaan napasnya menambah beban di d**a. Pintu kamar yang besar dengan ukiran emas itu kini ada di depan matanya. Dua bodyguard berdiri di samping pintu seperti patung hidup, wajah tanpa ekspresi, seolah menandakan bahwa tak ada jalan kembali bagi siapapun yang masuk. Tangannya gemetar ketika hendak mengetuk, tapi sebelum sempat, salah satu bodyguard sudah mendorong daun pintu itu perlahan. Aroma alkohol bercampur obat langsung menyergap inderanya, menusuk sampai ke tenggorokan. Di dalam kamar, Dominick duduk di ujung ranjang dengan tubuh setengah telanjang, hanya ditemani celana tidur hitam. Kepalanya tertunduk, satu tangannya menekan bahu yang masih diperban, sementara tangan lain menggenggam botol kosong yang hampir remuk karena terlalu erat digenggam. Napasnya berat, sesekali terdengar seperti geraman binatang terluka. Ketika mendengar suara pintu terbuka, kepalanya terangkat. Tatapannya merah, sayatan amarah bercampur kebingungan. Sejenak, matanya menyipit, berusaha mengenali wajah di hadapannya. "Siapa lagi ini?" suaranya parau, namun dingin. Tapi, anehnya tidak se garang tadi ketika dengan wanita-wanita sebelumnya yang langsung terpancing amarah. Sherina menelan ludahnya, menunduk sopan sambil meremas jemari. "Nama sa-saya... Sherina, Tuan." Dominick bangkit, langkahnya gontai tapi penuh wibawa mengancam. Dia mendekat, setiap gerakannya bagaikan pisau yang siap menghunus. "Sherina?" gumamnya, seolah nama itu asing sekaligus mengganggu ingatannya. "Siapa yang mengizinkanmu masuk?!" "A-aku... aku datang untuk menemani anda, Tuan," suara Sherina lirih, nyaris tak terdengar. Seketika, tawa dingin pecah dari bibir Dominick. Tawanya bukan bahagia, melainkan getir bercampur keputusasaan. "Menemaniku? Hah! Perempuan-perempuan itu semua bilang begitu. Menemaniku, melayaniku, bahkan... memberiku anak." Tatapannya menusuk, lalu dia meraih dagu Sherina dengan kasar, memaksanya mendongak. "Tapi aku tak butuh mereka. Aku tak membutuhkan wanita, karena bahkan tak tahu... siapa aku sebenarnya." Senyum sinis terulas dari wajah putus asanya. Mata Sherina melebar, menahan sakit di dagunya, namun yang lebih menyiksa adalah tatapan kosong penuh luka di balik mata pria itu. Dia bukan hanya marah—dia hancur membuat Sherina menatap lekat ke arahnya. "Aku ini siapa, hah?!" teriak Dominick, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Setiap kali aku tidur, bayangan asing muncul. Suara-suara orang memanggilku dengan nama yang tak aku kenal. Mereka bilang aku cucu pewaris keluarga Yunglow, tapi kenapa aku merasa... seperti boneka sialan yang hanya dipaksa hidup?!" Dia terkekeh tapi anehnya Dom tidak sekasar sebelumnya. Sherina tercekat. Air matanya hampir jatuh, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena rasa iba yang tiba-tiba merayap di hatinya. Namun dia cepat-cepat menahan diri. "Aku tidak boleh lemah... demi Ibu... demi biaya pengobatannya... aku harus bertahan dan meluluhkan pria ini. Akulah pemenangnya. Sherin kamu harus bisa!" Bisiknya dalam ahti sambil mengepalkan kedua tangannya, memberikan afirmasi positif pada dirinya. Dominick mendorongnya hingga hampir kehilangan keseimbangan. "Pergi! Sebelum aku benar-benar menghancurkanmu!" suaranya parau, nyaris pecah. Tapi di balik ancaman itu, ada sedikit getar tak berdaya. Sherina, dengan tubuh gemetar, memberanikan diri berkata, "Aku... aku tidak akan pergi, Tuan. Sekalipun Tuan menolak, sekalipun Tuan marah... aku akan tetap di sini. Karena... aku tidak punya pilihan lain." Tegasnya dengan memejamkan kedua netranya seolah dia tidak siap untuk melihat ekspresi lawan. Dominick menatapnya tajam, lalu mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Nafasnya berat, aroma alkohol begitu menusuk. "Kau pikir... kau berbeda dari yang lain?" bisiknya penuh ancaman tapi dia tidak benar-benar melakukan serangan fisik untuk menyakiti. Belum. Sherina menutup mata sejenak, lalu membukanya dengan sorot tekad yang jarang keluar dari gadis seusianya. "Ya. Karena aku tidak datang untuk memuaskanmu. Aku datang untuk bertahan hidup. Aku ingin merawatmu dengan tulus..." bisiknya nyaris tak terdengar. Hening sejenak. Dominick terpaku. Bibirnya bergetar, seolah meski kalimat itu nyaris tak terdengar tapi terasa menusuk sesuatu yang selama ini dia kubur dalam-dalam. Untuk pertama kalinya malam itu, tatapannya bukan hanya amarah—tapi juga keraguan. Di balik pintu, tanpa mereka sadari, Nyonya Yunglow berdiri mendengarkan. Sorot matanya tajam, namun ada secercah kegelisahan. Apakah gadis itu... akan mampu menaklukkan Dom?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN