Pagi di Dubai angin berhembus dengan lembut, membawa aroma gurun yang bercampur dengan kopi hitam. Cahaya matahari menembus tirai kamar, menimpa wajah Sherina yang masih terlelap di pelukan sang suami. Dominick membuka matanya lebih dulu. Untuk beberapa detik, dia hanya memandangi wajah itu, tenang, polos, dan damai. Tidak ada sisa ketakutan, tidak ada bayangan luka masa lalu yang dulu sering menghantui mereka berdua. “Terimakasih sudah hadir dalam kehidupanku, Sherina. Dan terimakasih sudah bersedia bertahan sebagai istriku di tengah perlakuan kasarku. Kau adalah wanita yang tulus yang pernah aku temui. Wajahmu ini mengingatkan ku pada gadis kecil itu dulu. Gadis kecil yang selalu meminta permen dengan gagah berani, bayangkan seorang mafia yang saat itu sedang mendidih-mendidihnya darahk

