"Ayo pulang." Jenggala mengulurkan tangannya di sambut Jelita dengan senang hati.
Di waktu bersamaan Jenggala merapihkan rambut Jelita dan Jelita membenarkan kancing Jenggala yang terbuka. Keduanya terdiam, pipi Jelita memerah dan Jenggala memalingkan wajahnya. Keduanya pun sama-sama berdehem dan salah tingkah.
"A-ayo." Jelita mengangguk lalu melangkah lebih dulu di susul Jenggala.
Dasar mereka ini, hanya tidak sengaja melakukan kontak yang sama mereka salah tingkah. Jika di pikirkan lagi, bukankah mereka sudah melakukan hal yang lebih? Kenapa masih malu-malu seperti ini. Jenggala menatap punggung Jelita, dia terkekeh lalu melangkah untuk mensejajarkan langkahnya. Tangan Jenggala meraih tangan Jelita menautkan tangan mereka. Jelita menunduk menatap tangannya, dengan perasaan berdebar dia pun membalas genggaman itu.
Tidak ada obrolan di sepanjang jalan. Mereka menikmati angin malam yang berhembus. Lapangan yang di pakai main basket oleh mereka itu lapangan komplek jadi tidak terlalu jauh jika pulang ke rumah. Satu persatu bintang mulai bermunculan. Jelita menghentikan langkah, tentu langkah Jenggala pun terhenti.
"Kenapa Je?"
"Kok gua takut pulang yah."
"Takut kenapa?"
"Gua takut Mama marah." Jelita baru ingat jika tadi siang dia sempat menelepon ibunya. Dan reaksi ibunya di luar perkiraannya.
"Gua kan udah bilang nggak usah takut."
"Gimana nggak takut, gua baru kali ini bolos."
"Suruh siapa bolos?" Pertanyaan itu membuat Jelita menghembuskan nafasnya.
"Gua seharusnya nggak bolos terus ngajak Lo."
"Udah Je nyokap Lo nggak akan marah, percaya deh sama gua."
"Kalau Mama marah Lo harus tanggung jawab."
"Kenapa jadi gua yang tanggung jawab?"
"Gua takut." Cicit Jelita sangat pelan.
"Gini aja, kalau emang Lo nanti pulang di marahin sama Nyokap Lo, gua yang bakal maju buat ngebela Lo, oke." Jelita melepaskan tautan tangan mereka lalu mengacungkan jari kelingkingnya.
"Janji yah?"
"Kaya anak kecil banget sih harus pake janji segala."
"Ih nggak mau tau, cepetan janji dulu."
"Iya, iya, iya, nih udah kan." Jenggala menuruti keinginan Jelita. Gadis itu tersenyum lalu melepaskan tautan kelingking mereka dan kembali menggenggam tangan Jenggala.
Langkah mereka berlanjut. Jelita bergumam pelan menyanyikan sebuah lagu yang Jenggala tidak mengerti artinya. Suara Jelita memang enak di dengar bahkan Jenggala sering streaming di channel YouTubenya. Jelita itu multitalenta sebenarnya hanya saja karena tidak di asah jadi dia tidak tahu apa saja yang bisa di lakukan olehnya.
"Tunggu." Jelita menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" Jelita menoleh dengan senyum terbit di bibirnya.
"Kita main suit."
"Buat apa?"
"Siapa yang jalan lebih dulu sampe di ujung, dia harus traktir makan malam, gimana?"
"Cuman makan malam aja harus repot gini." Jelita melotot.
"Ah ... oke, oke, oke." Jenggala dengan cepat menyetujuinya.
Tautan tangan mereka terlepas, mereka sekarang saling berhadapan. "Nanti kalau Lo menang, Lo lompat yah."
"Hmm."
"Gunting ... Batu ... Kertas." Jelita mengeluarkan batu dan Jenggala mengeluarkan kertas.
Jelita cemberut saat Jenggala sudah memimpin jalannya permainan.
"Gunting ... Batu ... Kertas." Jelita gunting dan Jenggala batu, kembali Jenggala memimpin.
"Ih ... Gunting ... Batu ... Kertas." Jelita kertas Jenggala gunting. Kembali Jenggala maju selangkah meninggalkan Jelita yang sudah menghentakkan kakinya kesal.
Jenggala tertawa melihat wajah cemberut Jelita. Hanya dengan permainan sederhana seperti ini Jenggala bisa melihat semua ekspresi Jelita. Bibirnya bersungut-sungut tidak terima, terkadang pipinya di kembung kan atau kakinya di hentakan.
"Gunting ... Batu ... Kertas." Jelita mengeluarkan Batu dan Jenggala gunting.
"Yeyyyyyy." Jelita berteriak lalu melangkah.
"Hei kok dua langkah."
Jelita nyengir, "Kaki Lo sama gua kan beda."
"Beda apanya?"
"Kaki gua pendek Jenggala, mana bisa ngejar kaki Lo yang panjang." Jenggala terbahak, dasar Jelita.
"Oke, oke, mulai lagi."
"Gunting ... Batu ... Kertas."
"Yeyy gua menang lagi."
Semua butuh waktu, bukan?
Dulu gua sempat pernah terluka bukan berarti gua takut kembali jatuh cinta. Karena semenjak Lo hadir cinta gua malah lebih besar dari sebelumnya.
???
"Makasih buat hari ini." Jenggala mengacak rambut Jelita.
"Sama-sama."
"Maaf juga kalau hari ini Lo harus ngikuti semua kemauan gua."
"Apaan sih, bukan apa-apa itu. Gua malah terima kasih karena Lo udah ngasih waktu buat gua." Jelita mengigit bibirnya.
Dia merasa bersalah karena sering menolak Jenggala untuk pergi keluar rumah. Seharusnya Jelita bersyukur karena setiap waktu libur laki-laki itu slalu menyempatkan diri mengajaknya keluar. Sayang sekali Jelita slalu memberikan banyak alasan. Tapi sekarang sepertinya Jelita akan berubah pikiran, pergi bersama Jenggala sepertinya tidak ada salahnya.
"Itu ...."
"SAYA BILANG KELUAR KAMU?!" Teriakan itu sontak membuat Jenggala dan Jelita menoleh kaget.
"Dengerin saya dulu Om."
"Kamu pikir dengan kamu memamerkan harta bisa merubah keputusan saya? Saya tetap menolak lamaran kamu dan jauhi Putri saya." Jelita melihat Jenita yang keluar dari dalam rumah sembari bercucuran air mata.
"Pa ...."
"Diem Jenita!" Jelita menatap Jenggala yang juga menatapnya.
"Harusnya Om bersyukur karena Jenita saya kencani. Siapa sih yang mau berkencan dengan wanita semacam dia selain saya? Wanita seperti Jenita banyak dan saya bisa dapatin dua kali lipat dari dia." Mata Jelita melotot.
Apa maksud pria itu? Januar yang mendengar itu mengepalkan tangannya. Ingin sekali dia memukul wajah sombong pria di depannya tetapi dia tahu tidak sepantasnya untuk bermain tangan.
"Silakan kamu pergi dari rumah saya." Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Januar.
"Tanpa Anda perintah pun saya akan pergi." Pria itu pergi masuk ke dalam mobil dengan bantingan pintu mobilnya.
Jelita menatap mobil merah itu yang keluar dari garasi rumahnya. Dengan langkah pelan dia masuk ke dalam di ikuti Jenggala di belakangnya. Papanya terlihat begitu marah, apa Jelita pulang telat akan mendapat masalah juga?
"Sudah berapa kali Papa bilang Jenita, Papa nggak suka sama pria itu."
"T-tapi aku cinta sama dia, Pa."
"Apa pria kasar seperti itu yang kamu pilih?"
"Dia cuman kesel karena Nita nggak jawab teleponnya."
"Kaka ini sebenarnya bodo apa t***l sih? Udah jelas-jelas dia berani mau nampar Kaka di hadapan Papa. Selama ini Papa aja nggak pernah nampar kita anak-anaknya sedangkan dia yang cuman pacar Kakak udah berani main tangan kaya gitu." Jemita angkat bicara. Dia tidak mau Jenita mendapatkan pria semacam itu. Sudah berkali-kali Papa nya mengatakan untuk memutuskan hubungan tapi Jenita tidak pernah mendengar. Padahal Mamanya sudah mewanti-wanti Jenita untuk bertemu dengan pria yang akan di jodohkan dengannya. Mamanya melakukan itu karena memang untuk menjauhkan Jenita dari pria itu.
"Kamu tahu apa sih tentang masalah aku, Mit?"
"Aku emang nggak tahu apa-apa tentang Kakak tapi seenggaknya Kakak harus sadar pria itu nggak seperti yang Kaka kira."
"Kalau begitu, kenapa nggak kamu aja yang di jodohin? Kenapa harus aku?"
"Karena itu demi kebaikan Kakak."
"Demi kebaikan aku? Dimana letak kebaikannya? Kamu pikir nerima orang yang nggak kita kenal itu mudah? Mama sama Papa juga, kenapa sih nggak pernah setuju sama pria yang mau lamar Jenita? Dan kenapa Papa gitu aja buat jodohin aku?" Jenita menatap Papanya dengan pandangan kecewa.
Jenita benar-benar tidak percaya, pria yang dia sukai malah mendapatkan penolakan seperti ini oleh keluarganya. Entah kenapa Papanya yang slalu Wellcome pada siapapun bisa lepas kendali seperti ini. Selama ini Jenita memang tidak pernah memperkenalkan kekasihnya, dia hanya menunggu waktu dan sekarang tiba waktunya malah berakhir seperti ini.
Juwita keluar dari dalam rumah, menatap Jenita dengan dingin. "Papa dan Mama lakuin ini punya alasan Jenita."
"Yah kalau gitu kasih tahu alasannya sama Jenita, Ma?" Ucap Jenita dengan air mata bercucuran.
Jelita ingin masuk tapi dia merasa ini bukan saatnya. Dan Jelita takut sekali jika saat dia ikut bergabung orang tuanya malah ikut memarahinya.
"Jenggala."
"Ya?"
"Ayo pulang."
"Lah, ini kan udah di rumah Lo."
"Pulang ke rumah Lo."
"Heh?" Jenggala menatap Jelita, terlihat jelas dari tatapan itu ada rasa takut di rasakan nya.
"T-tapi ...."
"Gua nggak mau masuk di waktu kaya gini, Jenggala. Gua takut Mama sama Papa ikutan marah, gua mau diem aja dulu di rumah elo." Jenggala tidak akan bisa menolak permintaan Jelita, dia menganggukkan kepala.
"Ya udah ayo." Jelita mengikuti langkah Jenggala.
Jelita mungkin hanya tidak akan peduli pada urusan orang lain itu juga berlaku untuk keluarganya. Melihat orang tua dan Kakaknya yang sedang berdebat dia tidak ingin mendengar apapun. Dia takut apa yang di dengarnya itu hal-hal yang tidak di inginkan nya. Jelita tidak pernah mendapat bentakan, tidak pernah di marahin, tidak pernah di perlakukan tidak baik oleh orang tua dan kedua kakaknya, melihat perdebatan itu tentu membuatnya kurang nyaman. Apapun yang mereka bahas, Jelita tidak peduli.