Rahasia Jenggala 13

1767 Kata
"Jenggala?" "Hmm." "Boleh nanya?" Jenggala menaiki salah satu alisnya. "Nanya apa?" Jelita mengigit bibir bawahnya, dia menatap es krim yang ada di tangannya. Apa dia tanyakan saja pada Jenggala? Tapi ... itu kan privasi Jenggala. Dan lagi, Jenggala pun sudah mengakui jika dia anak yatim piatu. Memang apa lagi yang Jelita akan tanyakan? "Mau nanya apa Je?" "Ah ... itu ...." Jelita menggelengkan kepalanya. "Nggak kok hehe." "Kalau emang ada yang mau di tanya, tanya aja kali, gua juga nggak bakal apa-apa." "Bukan hal penting kok." Jenggala hanya bisa menganggukkan kepala, walaupun dia penasaran dengan pertanyaan Jelita. Jelita menatap ke arah depan, dimana banyak anak-anak yang baru pulang sekolah. Mereka terlihat bahagia bersama dengan teman-temannya. Berkumpul untuk bergosip hal-hal yang anak muda lakukan. Jelita tersenyum, dia tidak bisa melakukan hal yang sama seperti mereka. Pulang sekolah nongkrong, ngemall atau jalan-jalan ke tempat lainnya. Bukan karena orang tuanya melarang tetapi kegiatan hidupnya apa lagi selain menghuni kamarnya bersama sang idola. Tapi Jelita menikmati setiap langkahnya, tidak pernah peduli akan komentar orang lain. Jelita juga bukan gadis yang introvert, dia berteman dengan semua orang namun tidak terlalu membuka diri. Sekarang Jelita baru merasakan bagaimana rasanya membolos sekolah. Tidak terlalu buruk. Usapan di kepalanya membuat Jelita mendongak, "Kenapa?" "Mau pulang?" Jelita termenung sebentar lalu menggeleng. Jenggala menghela nafas, "Ini udah jam 3 sore, Je." "Terus kenapa?" "Lo nggak pernah pulang telat." "Yah terus kenapa?" "Gua takut orang tua Lo marah." "Mama nggak akan marah, jadi tenang aja." "Kalau gitu hubungi Nyokap Lo sekarang." Jelita menghela nafas, dia merogok saku roknya, mengeluarkan ponselnya. Jelita mengubungi nomor ibunya, "Hallo?" "Iya, Lit, kenapa?" "Aku pulang telat yah, Ma." "Loh, tumben banget. Ada kelas tambahan kah?" Jelita meringis, boro-boro kelas tambahan, dia malah membolos. "Nggak kok Ma." "Terus ke— sebentar ada tamu." Jelita mengangguk tanpa sadar. Jenggala tersenyum, terkadang dia merasa iri melihat orang-orang berinteraksi dengan keluarganya. Ada rasa sesak di rasakan olehnya tapi Jenggala bisa apa. Ayah yang menjadi sosok pelindungnya sudah pergi. Ibunya? Jenggala tersenyum miris. Jangan pernah berharap pada wanita siluman itu. Semenjak peristiwa itu, Jenggala memutuskan jika dia yatim piatu. "BAGUS, SNOWY JELITA. DIMANA KAMU SEKARANG?" Jelita yang mendengar teriakan Ibunya sontak menjauhkan ponselnya dari telinga. Jelita mengusap telinganya, teriakan sang Ibu memang tidak pernah main-main. "Mama teh kenapa harus teriak sih? Kuping Lita sakit ih." "Jawab Mama sekarang Jelita, kamu dimana?" "Aku kan udah bilang pulang telat Ma." "Kamu minta izin pulang telat padahal kamu bolos." Wajah Jelita memucat. Dia mengigit kukunya gelisah. Mana yang tadi dengan PD sang Ibu tidak akan marah? Jenggala memperhatikan Jelita yang terlihat gelisah, keningnya mengerut. Apa Ibunya Jelita memarahinya? Jenggala mencolek bahu Jelita dan gadis itu mendongak. "Biar gua ngomong sama Ibu Lo." Jelita dengan tangan bergetar memberikan ponselnya. Dia benar-benar takut jika Ibunya marah. Ibunya kan tidak pernah mendapat telepon dari sekolahnya. Mendengar Jelita bolos pasti Ibunya marah besar. "Selamat siang Tante." Jelita menatap Jenggala dengan mata yang terlihat khawatir. "...." "Iya, Tante. Jelita lagi sama saya, saya ajak pulang dianya nggak mau." "...." "Eh?" Jenggala menatap Jelita dengan senyum geli terbit di bibirnya. "...." "Iya, iya, iya, boleh Tante." "...." "Hehe doain aja Tante." "...." "Iya Tante, selamat siang." Panggilan terputus. "Mama bilang apa?" Jelita memegang lengan Jenggala. Jenggala menggeleng, "Nggak bilang apa-apa." "Mama pasti marah?" Jenggala mengusap kepala Jelita. "Nggak, Mama Lo malah ngasih izin mau pulang jam berapa pun." "Hah?" Jelita di buat menganga tidak percaya mendengar ucapan Jenggala. Jelita tidak tahu benar atau bohong yang Jenggala katakan. Siapa tahu Jenggala hanya ingin menghiburnya. Jenggala terkekeh melihat wajah Jelita yang menggemaskan. Dia mencubit pipi itu lalu mengusapnya. "Mama Lo ngasih izin, jadi nggak perlu khawatir asal pulangnya nggak kemaleman." "Eh? Seriusan?" "Iya. Mama Lo juga sampe terharu dengernya." "Terharu kenapa?" "Selama ini, Lo, Kak Mita, Kak Nita nggak pernah mengecewakan beliau. Kalian terlalu baik jadi anak, padahal Nyokap sama bokap Lo membebaskan kalian buat memilih tapi masih di jalan aman." Jelita mengusap wajahnya tidak mengerti. Ini ... apa dia percaya dengan ucapan Jenggala? Masa iya Mamanya bilang seperti itu. Dimana-mana orang tua jika mendengar anaknya membolos pasti mengomel tapi kenapa Ibunya terlihat biasa saja? Lalu tadi kenapa Ibunya berteriak? Jelita yakin ibunya marah. "T-terus tadi Mama teriak?" "Mungkin kaget karena Lo untuk pertama kalinya bolos." Jelita masih terlalu terkejut. Apa dia pulang saja untuk memastikan? Tapi ... Jelita masih ingin pergi jalan-jalan. Baru kali ini loh Jelita pergi jalan-jalan memakai seragam sekolah. Biasanya dia akan pulang lalu berganti baju dan berpamitan pada ibunya. "Nggak perlu khawatir, semuanya baik-baik aja. Ayo, mau jalan kemana lagi?" Jenggala merangkul pundak Jelita, menarik gadis itu untuk kembali berjalan. "Ayo main basket." "Ada syaratnya." "Apa?" "Yang kalah harus turuti semua kemauan yang menang, gimana?" Jelita berdecak, "Minta yang sewajarnya yah?" "Nggak masalah." Jenggala menatap Jelita yang ada dalam rangkulannya. Alasan kenapa gua mencintai Lo, karena Lo terlalu sederhana buat gua Jelita. ??? "Kita mulai yah?" Jelita menganggukkan kepalanya, wajahnya di buat seserius mungkin untuk merebut bola yang akan di lempar Jenggala. Plis! Jelita tahu kemungkinan untuk menang itu tidak mungkin. Tubuh tinggi Jenggala dan Jelita itu sangat jauh. Tinggi Jenggala 185 sedangkan dia hanya 155. Coba kalian bayangkan setinggi apa Jenggala? Jelita saja jika sedang berbincang dengan laki-laki itu merasa lehernya akan patah karena terlalu mendongak. "1, ... 3." Jelita kelabakan saat Jenggala melempar bola basketnya ke udara. "Apaan curang Lo." Jelita memukul punggung Jenggala saat bola basket sudah berada di tangan laki-laki itu. "Curang dimana?" "Ngitungnya kok gitu langsung ke tiga?" "Yang penting gua ngitung sampe 3." "Nggak mau." Jelita mencoba merebut bola itu dari tangan Jenggala. Namun Jenggala merentangkan tangannya. Jelita melotot, bagaimana bisa dia merebut bola yang ada di tangan laki-laki itu? Jelita saja merasa susah untuk bergerak. Jelita menghentakkan kakinya sebal, dia mencoba berpikir. Tiba-tiba tersenyum lebar, saat Jenggala akan melemparkan bola basket masuk ke dalam Ring dengan cepat kepalanya menunduk melewati tangan panjang itu. Jelita merebut bola basketnya dengan melompat dan sekarang bola itu ada di tangannya. Tawa menggema di lapangan basket itu. Jenggala di buat tercengang namun ikut tertawa saat melihat Jelita berusaha melemparkan bola basketnya. Jenggala berlari meraih tubuh Jelita untuk memasukan bola ke dalam Ring dan gadis itu berteriak kesenangan saat tubuhnya melayang dan memasukan bolanya ke dalam tanpa hambatan. "Yeyyy 1:0." Jelita merentangkan tangannya dengan tawa keluar dari bibirnya. "Itu baru permulaan yah." "Oke." Kembali permainan itu di mulai. Jelita yang berusaha merebut bola dengan semampunya dan Jenggala yang mengalah demi kemenangan gadis itu. Tawa Jelita menggema di sore hari. Keringat sudah membahasi wajahnya. Masih berusaha untuk menang dari Jenggala yang sudah memimpin skor. Hanya dengan bermain bola basket saja semua orang sudah tahu jika keduanya terlihat begitu bahagia. Orang-orang yang melewati jalan lapangan itu terkadang menoleh dua kali saat kedua tawa itu bersatu. Mereka berpikir jika keduanya adalah sepasang kekasih. Dimana setiap orang melihat Jenggala yang memeluk tubuh mungil itu dan si mungil berteriak tidak terima. Atau Jelita yang naik ke atas punggung Jenggala dan Jenggala memutar tubuhnya. Karena terlalu asik dengan dunia mereka tanpa mereka sadari ada satu orang yang sedang memperhatikan mereka. "Papa ih di tungguin malah berhenti." Yang di panggil Papa menoleh. "Liat deh Ma itu siapa?" Wanita yang di panggil Mama menoleh saat tangan sang suami menujuk ke sebuah lapangan. "Loh itu Jelita sama Jenggala kan?" "Hmm." "Ya ampun kenapa mereka gemoy sekali." "Mama mau ngapain?" "Mau foto dong, ini tuh langkah Pa. Jelita itu kan anaknya thusunder." Januar yang mendengar kata-kata sang istri menggeleng. Semenjak bergaul dengan Jelita kata-kata, gemoy, gelay, dan yang lainnya sering di katakan. Terkadang Januar sering malu sendiri jika sang Istri sudah bertekad untuk mengikuti putri bungsunya pergi ke konser. Januar menatap ke arah depan. Yeah, Januar dan Sang Istri berencana membeli makanan di luar tapi pemandangan di depan membuat keduanya mengurungkan niat. Jelita itu anak yang terlalu tidak peduli pada keadaan sekitar. Tidak terlalu memperhatikan. Di saat Januar melihat banyak anak jaman sekarang berkeliaran bersama teman-temannya ke mall habis pulang sekolah, Jelita pulang lalu mengurung diri di kamar. Ada rasa khawatir jika Jelita mengalami tekanan dari sekitarnya namun saat di telusuri anak bungsunya itu memang lebih senang menghabiskan waktu bersama dengan pria-pria koreanya. Sebenarnya bukan Jelita saja, kedua putrinya, Jenita dan Jemita pun memiliki sifat yang sama. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah di banding jalan-jalan seperti anak-anak pada umumnya. Januar bisa apa selain mendukung anak-anaknya. Mendengar perkataan Istrinya yang mengatakan Jelita bolos saja sudah membuat keningnya mengerut dalam. Ada rasa tidak percaya namun pengakuan dari Gita-sahabat jelita- membuatnya percaya. "Ya ampun mereka gemes banget. Papa setuju kan kalau Jelita sama Jenggala nikah muda." Juwita berseru, melihat Jelita dan Jenggala yang tertawa dengan tangan bertautan. Pertanyaan itu membuat Januar menatap sang Istri, "Mereka masih terlalu muda, Ma." "Yeah tahu Pa tapi Mama gemes deh kalau nanti kita punya cucu bakal mirip siapa." "Ya Allah Ma." Januar tidak tahu harus mengatakan apa lagi, istrinya ini unik sekali. "Udah ayo pulang." Januar menarik tangan istrinya. "Tapi Pa ...." "Nggak usah kepo sama percintaan anak remaja." Juwita mencibir, punya suami tidak asik sekali. Dengan berat hati Juwita mengikuti langkah kaki suaminya. Kepalanya menoleh lalu tersenyum. Jelita merebahkan tubuhnya di tanah, nafasnya tersengal, keringat bercucuran memenuhi wajahnya. Jenggala tertawa, menyimpan bola di samping dan ikut merebahkan diri di samping Jelita. Keduanya menatap langit yang sudah mulai berubah warna. Sang bulan siap menggantikan matahari. "Gua menang." Ucap Jelita. "Lo curang, Je." "Curang darimana?" "Setiap mau masukin bola gua angkat Lo." "Itu kan bukan kemauan gua wlek." Jelita menjulurkan lidahnya. "Nggak ada ah tanding ulang." "Nggak mau ih, kalau kalah yah kalah aja." Jenggala terkekeh lalu mengusap kepala Jelita. Jantung Jelita berdekup kencang saat usapan itu kembali hadir. Entah kenapa setiap Jenggala mengusap kepalanya ada rasa nyaman di rasakan olehnya. Jelita memiringkan kepalanya lalu menatap Jenggala yang juga memiringkan kepalanya. "Kenapa Je?" Jelita menggelengkan kepala. "Mau minum?" Kepalanya menggeleng. "Terus kenapa?" "Kenapa yah?" "Kenapa apanya?" "Gua ngerasa ada yang beda." Kening Jenggala mengerut. "Beda gimana?" "Setiap Lo ngusap kepala gua, jantung gua berdetak dua kali dari biasanya." Jenggala tertegun mendengar ungkapan Jelita. Tidak lama Jenggala tersenyum, dia meraih tangan Jelita meletakan telapak tangan gadis itu di dadanya. Suasana begitu hening, hanya suara jangkrik yang mulai terdengar. "Lo bisa rasain detak jantung gua, bukan?" Kepala Jelita mengangguk pelan. "Setiap gua liat senyum Lo, jantung gua pun berdetak dua kali lipat." Jelita bingung, apa maksud Jenggala. "Detak kan ini menandakan kalau gua mencintai Lo." Jelita tertegun. "C-cinta?" "Yah." "T-tapi gua ...." "Untuk sekarang nikmati rasa itu dan Lo bakal tahu jawaban apa yang Lo rasain ini." Jelita mengigit daging dalam mulutnya. Terima kasih Jelita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN