17. Menutup Diri

2602 Kata
"Loh? Bapak kenapa ke sini?" Sebenarnya reaksi penuh keterkejutan semacam ini seharusnya mulai Raline kurangi. Seharusnya ia tidak terlalu kaget lagi kala melihat Noe muncul di depan pintu unitnya. Entah untuk alasan apa, entah karena keperluan apa, nyatanya satu bulan terakhir ini Noe  memang jadi sering muncul tiba-tiba di hadapannya. Raline harus mulai menganggapnya hal biasa.  Bukan berarti ia bersedia menjalin kedekatan lebih dengan Noe, hanya membiasakan diri saja dengan kehadiran pria itu. Lagi pula, Noe juga tidak pernah membahas hal-hal yang berkaitan dengan malam penuh kesalahan itu. Pria itu hanya sering berada di dekat Raline, menunjukkan perhatian layaknya seorang kakak dan atasan yang baik. Hanya itu, karena sepertinya Noe juga tahu kalau Raline ingin melupakan kesalahan yang pernah terjadi di antara mereka.  "Kamu sedang apa, Ral?” Noe yang tadinya ingin menyapa ceria, mendadak bertanya serius karena melihat mata Raline yang memerah. “ Kenapa seperti habis menangis?" "Nangis?” Refleks Raline memeriksa pipinya, lalu menggeleng bingung. “Enggak kok, Pak.” “Mata kamu memerah dan ada sisa air mata,” ujar Noe yang tanpa sadar mengangkat tangan ingin menyeka wajah Raline, tetapi gerakannya mendadak terhenti. Untunglah kesadarannya kembali sebelum Noe membuat situasi di antara mereka jadi canggung. “Oh, ini …. Ng …, ini ….” Raline bergumam salah tingkah.  “Kenapa?” tanya Noe curiga. “Saya habis dari kamar mandi, Pak.” “Kamu muntah lagi?” tebak Noe. Mendengar tebakan Noe yang tepat sasaran, Raline jadi semakin salah tingkah.  “Benar?” desak Noe. “Iya, Pak.” Raline akhirnya mengangguk pasrah. “Kamu sakit?” Sejujurnya Noe ingin mengajukan pertanyaan yang lain, tetapi ia takut Raline akan langsung menghindar. Malah mungkin wanita ini akan kembali menghindarinya habis-habisan seperti di awal-awal setelah kejadian itu. “Saya gapapa, Pak.” “Ral, akhir-akhir ini kamu terlihat tidak sehat,” ujar Noe khawatir. Raline menggeleng cepat. “Saya baik-baik aja, Pak.” “Tapi yang saya lihat tidak begitu, Ral. Akhir-akhir ini kamu sering terlihat lesu, kamu tidak selera makan, beberapa kali nyaris pingsan, dan sejak minggu lalu kamu sering mual dan muntah-muntah.”  Sejak melalui malam bersama Raline, Noe selalu merasa bersalah pada wanita itu. Terutama karena reaksi Raline saat pagi harinya terbangun. Andai Raline tidak bereaksi demikian dan mereka sempat membicarakan semuanya secara terbuka, mungkin Noe tidak ada akan dirundung rasa bersalah seperti ini. Belum lagi ketika memikirkan kemungkinan kalau wanita itu bisa saja hamil setelah melalui malam bersamanya. Oleh karena itu, diam-diam Noe selalu memperhatikan Raline sejak kejadian itu. Ketika mendapati Raline sering terlihat lesu dan kehilangan nafsu makan, Noe mulai menyimpan kecurigaan dan ia semakin intens memperhatikan wanita itu. Apalagi beberapa waktu terakhir saat Raline beberapa kali nyaris pingsan, lalu mulai mual dan muntah, kecurigaan Noe semakin bertambah. Ia takut kalau apa yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Bukan berarti Noe tidak menginginkan kehadiran seorang bayi, hanya saja ia memikirkan posisi Raline. Pasti berat untuk wanita itu di usianya yang masih sangat muda dan baru saja mulai merintis karier. Bagi Noe sendiri, sejujurnya selama ini soal berumah tangga tidak pernah jadi prioritasnya. Bukan tidak ingin, hanya belum waktunya saja. Soal hubungan percintaan pun sama. Noe tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang harus dikejar. Ada hal lain yang masih jadi prioritasnya saat ini sebelum ia siap menjalin hubungan serius dengan wanita. Namun, jika keadaan memang mengharuskannya untuk bertanggung jawab atas Raline, ia siap. Bahkan sejak malam itu, Noe sudah merasa bertanggung jawab atas Raline karena ia telah mengambil sesuatu yang berharga dari seorang gadis baik-baik. Jika ditanya soal perasaannya pada Raline, Noe sendiri tidak paham. Satu yang pasti, ia peduli pada wanita itu, dan sebagai pria yang dibesarkan dalam keluarga baik-baik, Noe merasa sangat bertanggung jawab atas Raline. “Mungkin masuk angin, Pak,” jawab Raline sekenanya. “Masuk angin?” Noe mengernyit bingung. “Apa itu?” Raline yang tadinya sedang salah tingkah mendadak ingin tertawa melihat wajah bingung Noe. Raline baru ingat kalau Noe belum banyak tahu istilah-istilah aneh di Indonesia. “Itu istilah orang Indonesia buat menggambarkan kondisi enggak enak badan, Pak. Jadi ya gitu, yang dirasa seperti kelelahan, kembung, mual, muntah.” “Jadi kamu masuk angin?” “Sepertinya begitu.”  “Jadi obatnya apa?” tanya Noe masih bingung. “Enggak ada, Pak. Nanti juga sembuh sendiri.” “Ral, tapi gejala-gejala yang kamu alami juga terlihat mirip seperti perempuan yang sedang ha-” “Astaga! Pak bentar! Saya lupa matiin catokan!” Raline tahu apa yang akan Noe ucapkan dan ia langsung menghentikannya dengan pura-pura hasru melakukan sesuatu. Ia segera berlari ke kamarnya dan meninggalkan Noe termangu di depan pintu. “Sepertinya dia menghindari topik ini …,” gumam Noe sedih. Sebenarnya reaksi Raline sudah Noe perkirakan, tetapi ketika itu benar terjadi nyatanya ada kecewa juga yang ia rasa. Beberapa saat kemudian Raline kembali dengan wajah tanpa dosa. “Maaf tadi ditinggal dulu ke kamar, Pak. Jadi Bapak ke sini kenapa ya?” “Saya mau ajak kamu ke Center Tower sama-sama.” “Memangnya ada apa ya, Pak?” “Sebentar lagi tugas kamu berjaga, kan?” “Iya, Pak.” “Kebetulan saya juga mau memeriksa ke sana. Jadi sekalian saja saya mampir ke sini.” “Oh, gitu ….” “Tadi kamu sudah sempat istirahat?” “Udah, Pak.” “Kalau makan pasti belum, kan?” “Rencananya saya mau setelah selesai jaga, Pak.” “Kalau begitu nanti kita makan sama-sama saja,” usul Noe. Raline segera menjawab dengan wajah menyesal. “Saya udah janjian mau makan bareng Diana, Pak.” Noe tidak kecewa. Yang terpenting baginya Raline mau makan. “Ya sudah kalau begitu. Pastikan saja kamu makan dengan benar, Ral.” “Iya, Pak.” Raline mengangguk patuh sambil bergumam sendiri dalam hati. Heran, ada ya orang yang segini ribetnya ngurusin makan orang lain. *** Raline langsung mencari Diana usai tugas jaganya berakhir dan ia menemukan gadis itu di dekat tangga. “Na, udah selesai?” “Udah, dong!” sahut Diana super ceria. “Pergi sekarang?” ajak Raline. Alih-alih langsung mengiakan, Diana malah bertanya bingung. “Ke mana?”  Raline juga jadi ikut bingung. “Kan mau makan bareng.” “Astaga!” desis Diana sambil menepuk keningnya. “Gue lupa!” “Lupa apa?” tanya Raline waspada. Diana meringis dan terlihat merasa bersalah. “Gue lupa kalo udah janji mau makan malem bareng lo.” “Terus? Lo bikin janji lain?” tebak Raline curiga. “Iya ….” Diana mengangguk takut-takut. “Lo mau ngapain?” tanya Raline datar. Diana tersenyum salah tingkah, kemudian berbisik, “Tadi Iskan tiba-tiba ngajak gue makan bareng.” Raline memicingkan matanya. “Terus lo iyain?” “Iya.” “Parah lo, Na!” desis Raline tidak percaya. “Tega banget.” “Ya gimana dong, Ral?” sahut Diana pasrah. “Namanya juga diajak makan sama gebetan. Kan gue langsung speechless. Enggak pake mikir lagi langsung gue iyain. Masih bagus gue enggak kejang-kejang di tempat saking grogi.” “Parahlah, Na …,” keluh Raline sambil menggeleng lesu. “Maaf ya, Ral Sayang.” Diana langsung menggaet lengan Raline, kemudian membujuknya dengan suara teramat manis. “Besok deh kita makan bareng.” “Ya udah. Have fun deh!” sahut Raline pasrah. “Jangan marah ….” Diana menggoyangkan tangan Raline yang masih digelayutinya. “Enggaklah.” Seketika Raline tersenyum manis. “Masa gue marah gara-gara itu. Gue ikut seneng kok kalo hubungan lo sama dia ada kemajuan.” Diana langsung menghambur memeluk Raline erat-erat. “Manisnya temen gue ini ….” “Udah, ah!” Raline mendorong tubuh Diana yang melekat erat padanya. “Gue balik dulu. Capek nih.” “Oke, deh! Jangan lupa makan ya, Ral!” pesan Diana ceria.  Raline bergidik ngeri. “Mulai ketularan Pak Noe dia.” Diana menyeringai jail. “Mas Noe selalu care banget sama urusan makan lo ya.” “Hm. Ajaib ….” “Lo sih susah makan. Coba rakus kayak Josh, enggak bakal dipusingin sama Mas Noe.” “Tau, ah!” Raline mengedik sebal, kemudian segera berlalu meninggalkan Diana. Ia terpaksa kembali ke unitnya dengan sedikit kecewa karena tidak jadi keluar makan bersama Diana. Namun, Raline tidak sempat berlama-lama kecewa. Baru saja ia tiba dan belum lagi berganti pakaian, Raline kembali kedatangan tamu. “Bapak kenapa ke sini lagi?” Kali ini Raline bertanya tidak dengan nada terkejut, hanya sedikit heran saja. “Kamu tidak jadi makan bersama Diana?” tanya Noe dengan senyum terkulum. “Kok Bapak tau?” Kalau ini Raline baru kaget. Bagaimana Noe bisa tahu? “Tadi kami berpapasan,” ujar Noe. Ia tersenyum samar mengingat kejadian di depan lobi Center Tower tadi. . “Sudah selesai?” Noe bertanya pada Diana dan Iskan yang tengah jalan berdua. “Sudah, Mas.” Iskan mengangguk sopan. “Mau kembali ke unit kalian?”  Diana langsung menggeleng. Wajahnya jelas sekali menunjukkan kalau gadis itu tengah berbahagia. “Mau makan dulu, Mas.” “Ramai-ramai dengan yang lain?” “Enggak, Mas. Hanya kami berdua,” jawab Diana tersipu malu. Noe langsung teringat jawaban Raline tadi. Apakah wanita itu berbohong untuk menghindarinya? Namun, Noe tidak ingin mencari tahu lebih lanjut dari Diana. Noe tersenyum hangat. “Selamat makan kalau begitu.” . “Hm …, itu ….” Raline mendadak salah tingkah. Ia khawatir Noe salah paham dan menganggapnya berbohong untuk menolak ajakan makan pria itu. “Tadinya beneran mau pergi makan sama saya, Pak.” “Tapi Diana jadinya pergi makan dengan Iskan ya.” Raline mengembuskan napas sebal. “Diana lupa udah janji mau makan sama saya, pas diajak Mas Iskan langsung mau.” Mendengar penjelasan Raline, Noe jadi lega. Ternyata wanita ini tidak menghindarinya. “Kasihan kamu,” ujar Noe iba sekaligus senang karena artinya mereka bisa bersama lagi. “Sepertinya kamu lagi-lagi memang harus makan dengan saya, Ral.” “Saya makan sendiri juga gapapa kok, Pak,” tolak Raline cepat. “Saya juga sering makan sendiri dan rasanya tidak menyenangkan, Ral. Kalau ada teman rasanya jauh lebih baik,” sahut Noe sungguh-sungguh. “Nah, jadi mau makan apa kita malam ini?” “Bingung, Pak.” Raline yang terbiasa melakukan segala sesuatunya dengan terencana, begitu terjadi perubahan maka akan kebingungan. Meski hanya urusan sepele seperti saat ini. “Mau makan di sini atau kita pergi ke luar saja?” “Tadinya pengin makan di luar, Pak. Bosan juga di sini terus. Makanya janjian sama Diana. Tapi anaknya malah lupa.” Tanpa sadar Raline malah bercerita pada Noe. Noe tersenyum hangat menanggapi keluhan Raline, kemudian berbicara dengan nada membujuk. “Kalau begitu pakai jaket kamu, Ral. Kita pergi.” “Eh?” Sontak Raline terkejut. “Saya temani kamu makan di luar.” “Bapak serius?” Raline yang biasanya akan segan diajak makan bersama Noe, tiba-tiba saja merasa senang. Mungkin karena ia sudah sangat berharap akan makan di luar malam ini. “Serius.” Noe mengangguk mantap. “Ayo!” Setengah berlari Raline menuju kamarnya, mengambil jaket dan ponsel, kemudian kembali pada Noe.  “Kamu mau apa?” tanya Noe saat mobil mulai meninggalkan area parkir. “Masih belum tau. Bapak mau apa?” “Kamu ingin makan di restoran atau di pinggir jalan?” “Memangnya Bapak bisa makan di pinggir jalan?” tanya Raline terkejut. “Bisa-bisa saja, Ral. Tidak ada masalah. Kalau kamu bagaimana?” “Saya juga enggak ada masalah sih, Pak.” Noe mengangguk senang. “Kamu mau makan bubur, Ral?” “Bubur?” Wajah Raline langsung berubah aneh. “Kalau sedang kurang sehat, makan bubur cukup membantu.” Noe masih ingat dengan jelas kalau tadi Raline bilang dirinya sedang masuk angin. Raline menggeleng kecil. “Daripada bubur saya lebih suka nasi, Pak.” “Kamu kurang suka bubur?” tanya Noe heran. “Hm.” Raline mengangguk sambil mengernyit. “Kalau enggak terpaksa, saya enggak akan makan bubur.” “Nasi ya …,” gumam Noe sambil mengamati jalan sekitar. “Saya tidak banyak tahu makanan di sekitar sini.” “Sama, Pak.” “Oh, saya ingat!” ujar Noe tiba-tiba. “Josh pernah bilang ada nasi goreng yang enak tidak jauh dari IDEA. Kamu tahu?” “Enggak, Pak.” Raline menggeleng penuh sesal.  “Coba saya tanya Josh dulu,” putus Noe cepat. Ia segera mendial nomor Josh dan bertanya pada pemuda itu. Usai panggilan berakhir, Noe tersenyum puas. “Ternyata benar tidak jauh dari sini. Kita coba itu saja ya?” “Boleh, Pak.” Raline langsung mengangguk setuju. Daripada dirinya dicekoki bubur, masih mending diberi nasi goreng. Berhubung tempat yang dituju memang tidak jauh, sekitar sepuluh menit saja mereka sudah tiba. Keduanya turun bersamaan, melihat-lihat menu, kemudian memesan makanan.  Di sela-sela obrolan santai mereka sambil menunggu pesanan datang, tiba-tiba saja Raline merasakan mual yang kembali menyerangnya. Sontak ia menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan. “Kamu kenapa?” tanya Noe yang langsung waspada. Raline hanya menggeleng pelan sambil tetap menutupi mulut dan hidungnya. “Kamu mual lagi?” tebak Noe cepat. “Sedikit,” aku Raline.  “Apa karena angin di sini kencang?” “Kayaknya enggak, Pak.” “Apa karena aroma di sini?” “Kayaknya iya, Pak.” Aroma aneka bumbu yang berpadu dengan berbagai bau lain di sekitar sini sepertinya membuat Raline mabuk. Jawaban Raline langsung membuat pikiran Noe kembali tertuju pada kecurigaannya yang sudah semakin mengakar. Dari informasi yang dibacanya, wanita hamil cenderung sensitif terhadap berbagai macam bau-bauan. Namun, ia tidak berani mengatakannya pada Raline saat ini. “Kamu mau tunggu di mobil saja?” usul Noe. “Makannya gimana?” “Kita bisa makan di mobil saja, atau dibawa pulang juga boleh supaya kamu lebih nyaman.” “Dibawa pulang aja deh, Pak,” ujar Raline lemas. Sudah tidak ada seleranya lagi untuk makan saat ini. Yang Raline inginkan sekarang hanya berbaring di tempat tidurnya yang nyaman. Noe segera membantu Raline berdiri dan membimbing wanita itu ke mobil, sementara ia kembali turun untuk menunggu pesanan mereka. Begitu kembali ke mobil, Noe mendapati wajah Raline yang berubah pucat. Hatinya sungguh tidak tega melihat Raline seperti ini. “Kamu pusing, Ral?” tanya Noe sambil mulai menjalankan mobilnya. Raline mengangguk lemah. “Saya buka kacanya supaya kamu bisa menghirup udara segar ya.” “Makasih, Pak.” Sepanjang perjalanan, Noe terus bergumul dengan pikirannya sendiri. Namun, semakin dipikirkan rasanya ia semakin tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Noe memutuskan harus mengajak Raline bicara serius.  “Ral, sejujurnya saya tidak yakin kalau kamu sakit karena kelelahan,” ujar Noe hati-hati. “Maksud Bapak?” tanya Raline lirih. “Saya rasa ada sesuatu yang lain.” Dari nada bicaranya yang sangat serius dan wajahnya yang tegang, Raline sudah bisa memperkirakan apa yang ingin Noe bahas. Namun, ia jelas tidak siap. Bahkan rasanya sampai kapan pun ia tidak ingin membahas hal ini. Sejujurnya, Raline juga mulai curiga dengan dirinya sendiri. Sepertinya ada sesuatu yang janggal sedang terjadi padanya. Namun, ia tidak ingin mengakuinya. Ia tidak berani menerima kenyataan. Ia belum siap. Raline masih berharap kalau ketakutannya ternyata salah. Oleh karena itu, ia memilih menghindar lagi. “Pak, boleh saya tidur sebentar?” Respon Raline yang jelas menunjukkan bahwa wanita itu menutup diri, membuat Noe hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak tega memaksa jika Raline memang tidak ingin membahasnya. Pun ketika mereka tiba di IDEA dan Noe mengantar wanita itu ke unitnya, Raline kembali menunjukkan sikap menutup diri serta menghindar. “Pak, boleh tolong tinggalkan saya? Saya ingin sendirian saja malam ini,” pinta Raline penuh harap. Lagi-lagi Noe mengangguk pasrah. Namun, sebelum benar-benar pergi, Noe menyentuh sekilas sisi kepala Raline dan mengusapnya lembut. “Selamat malam, Ral.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN