16. Seolah Istimewa

1822 Kata
Setelah satu minggu penuh bekerja keras menyiapkan set untuk event akhir tahun, akhirnya tim desain bisa menyelesaikan pekerjaan mereka dengan hasil memuaskan. "Akhirnya tiba juga di hari ini! Terima kasih untuk kerja keras kalian semua! Kalian hebat dan saya bangga punya tim seperti kalian!" ujar Noe bangga. Pagi ini Noe sengaja mengumpulkan anak-anak tim desain untuk mengucapkan terima kasih dan memberi motivasi lebih menjelang masa-masa berat yang akan mereka lalui bersama sepanjang bulan terakhir di tahun ini. "Sekarang, waktunya kita bekerja sama membuat acara ini sukses! Saya harap kalian semua akan bekerja sebaik-baiknya sesuai tugas masing-masing. Jangan lupa tetap perhatikan kesehatan kalian. Saya tidak mau ada yang sakit karena kelelahan." Setelah memberikan sedikit pengarahan lagi, Noe membubarkan semua. "Atasan dari divisi lain kayak Mas Noe enggak sih?" Raline bertanya penasaran pada Diana dan Putri saat ketiganya tengah berjalan menuju Center Tower untuk memulai tugas pertama mereka hari itu. Diana mengernyit kurang paham. "Kayak Mas Noe gimana maksudnya?" "Ya gitu.” Raline melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang sedang memperhatikan mereka, lalu berbisik perlahan. “Baik. Perhatian banget." "Yang gue tau, rata-rata sih pimpinan divisi di sini baik-baik cuma yang pedulinya maksimal kayak Mas Noe belum ada tandingannya." Diana mengernyitkan kening sambil coba mengingat-ingat. "Mbak Kartika pimpinan CS baik, perhatian, tapi suka sensi mendadak. Biasalah cewek. Moody." Kalau tentang Kartika dari tim customer service, Raline sudah tahu. Kejudesannya yang suka kumat mendadak sudah terkenal. Namun, kalau sisi baiknya sedang mengambil alih, Kartika bisa jadi sangat manis dan super perhatian. "Mas Danu dari tim promosi juga super perhatian, tapi katanya rada player, suka modus," ujar Putri Diana. "Idih!" Refleks Raline bergidik ngeri. Ia paling takut dengan lelaki yang doyan modus. Diana terkekeh melihat reaksi Raline yang pada dasarnya memang polos, kemudian melanjutkan dengan informasi lainnya. "Mbak Nida kata anak-anak visual komunikasi sih baik, tapi lebih ke cuek gitu. Apa aja boleh, semua boleh. Enggak terlalu peduli anak-anak mau ngapain juga.” Raline manggut-manggut perlahan. "Mungkin sibuk ngurusin keluarganya kali, kan punya anak dua, masih pada kecil-kecil." Diana ikut mengangguk. "Bisa jadi." "Pokoknya sejauh ini Mas Noe terbaiklah. Enggak ada lawannya," puji Putri yang sudah hampir tiga tahun menjadi anak buah Noe. "Mas Noe itu enggak pernah pacaran?" Entah mengapa tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Raline. Putri langsung menggeleng perlahan. "Selama hampir tiga tahun aku di sini sih belum pernah denger Mas Noe punya pacar." "Nikah?" tanya Raline lagi. "Pacaran aja enggak apalagi nikah? Suka aneh anak ini!" omel Diana. "Ya kali aja gitu pernah nikah terus cerai." Raline mengerucutkan bibirnya dengan wajah malu. Sadar kalau pertanyaannya memang kurang masuk akal. Putri tersenyum geli mendengar jawaban Raline. "Setahu aku sih Mas Noe masih single." "Keluarganya di mana sih?" tanya Raline penasaran. "Orang tuanya maksud kamu?" Putri balas bertanya. "Hm." Raline mengangguk cepat. Entah mengapa rasa penasarannya tentang Noe sedang menjadi hari ini. "Enggak ada yang tau.” Putri menggeleng kecil. “Mas Noe itu baik, tapi tertutup banget sama urusan pribadinya. Kita enggak ada yang tau Mas Noe itu asalnya dari negara mana, dulu kuliah di mana." “Di data karyawan enggak ada?” Diana yang selama ini tidak pernah terlalu usil, tiba-tiba jadi ingin tahu juga. “Ada kali ya, tapi kan enggak pernah sampai ke kita,” jawab Putri. "Tapi bukannya Mas Noe suka ngobrol-ngobrol ya?" tanya Raline bingung. Putri langsung mengangguk mengiakan. "Mas Noe emang suka ngobrol tapi tentang hal-hal umum. Kalau pun ada yang curhat, Mas Noe pasti dengerin malah suka kasih saran, tapi Mas Noe sendiri enggak pernah gantian curhat." "Misterius …," gumam Raline tanpa sadar. "Tapi di situ poin lebihnya," ujar Putri geli. "Maksudnya?" tanya Diana tidak mengerti. "Mas Noe itu jadi makin naik nilai jualnya di mata cewek-cewek karena misterius," tutur Putri. Raline manggut-manggut paham, kemudian memberikan pertanyaan lainnya. "Anak-anak di sini enggak pernah ada yang coba deketin Mas Noe?" "Jelas ada, tapi yang pasti bukan dari tim kita,” ujar Putri. “Tim kita sih waras semua otaknya, enggak pernah ada yang kecentilan." Diana mengangguk setuju. "Biasanya yang ganjen tuh anak CS sama promosi." "Ada yang berhasil?" tanya Raline. "Ya jelas enggak!” desis Diana gemas karena kepolosan Raline hari ini. “Buktinya enggak pernah pacaran." Putri juga ikut terkekeh senang. "Jangankan berhasil. Mendekati sukses aja enggak. Enggak pernah ditanggapi sama Mas Noe." "Aneh," gumam Raline semakin bingung. "Terus mereka yang pada gagal itu dengan kurang ajarnya pada bikin gosip dong," ujar Putri dengan nada tidak suka. "Gosip apa?" tanya Raline bingung. Putri sontak berhenti melangkah, kemudian menarik keduanya merapat. "Jangan bilang-bilang lagi ke orang lain ya." "Iyalah, emang mau ngomong sama siapa lagi," sahut Diana cepat. Putri melemparkan pandang pada Raline dan Diana secara bergantian, kemudian berbisik serius. "Jadi mereka pada bilang kalau Mas Noe kayaknya enggak doyan perempuan. Doyannya sama sesama." "Ih, enggak mungkin banget!" seru Diana mendadak keki. Jelas-jelas ia tahu Noe normal dari cerita Raline. "Wah, parah banget itu mulutnya!" "Tapi kita juga enggak ada yang tau kebenarannya, kan,” ucap Putri sedikit sedih. Meski tidak ingin percaya gosip itu, tak ayal kadang Putri cemas juga. Jangan-jangan memang benar adanya. “Secara Mas Noe emang belum pernah terlibat kisah asmara sama cewek selama di sini." "Tapi Mas Noe normal kok," ujar Raline dengan nada sangat yakin. Melihat jawaban dan sikap Raline ketika mengatakannya, Putri jadi keheranan. "Kamu tau dari mana?" "Eh?" Sontak Raline gelagapan. Namun, ia cepat-cepat berkelit. "Ya, kelihatan aja gitu." Tidak mungkin bukan ia mengatakan pada Putri bahwa Noe normal karena mereka pernah tidur bersama. Beruntung Putri tidak bertanya lagi karena satu per satu pengunjung mulai datang dan mereka harus bertugas. "Girls, aku ke sana dulu ya! Udah ada calon pembeli yang butuh bantuan konsultasi kayaknya." Begitu Putri pergi, Diana langsung berbisik gemas. "Ampir aja keceplosan lo!" "Hm?" "Kalo si Putri penasaran dan nanya terus, lo mau jawab apa coba? Masa lo mau bilang 'gue yakin karena gue udah pernah ngerasain gimana jantannya Mas Noe di ranjang'," sindir Diana. "Diana!" desis Raline kaget. Tiba-tiba saja Diana tersenyum jahat. "Tapi bagus juga loh!" "Bagus apanya?" tanya Raline curiga. "Lo bisa membersihkan nama Mas Noe dan memperbaiki reputasinya. Apalagi kalo malam panas kalian menghasilkan buah cinta, langsung bisa lo tunjukin sama mereka kalo Mas Noe itu lelaki tulen." "Mulut lo parah banget, Na!" Raline melotot tidak percaya. "Udah, ah! Gue mau ke sana aja. Bisa gila deket-deket lo terus." Diana tertawa senang karena lagi-lagi berhasil menggoda Raline. “Mending deket-deket Mas Noe yang jantan ya? Tenang, gue paham kok.” Raline menggeleng tidak percaya, lalu langsung melesat meninggalkan Diana sebelum gadis itu menggodanya lebih parah lagi. Ia berjalan menuju set area kamar tidur, tempat dirinya akan bertugas memberikan konsultasi gratis bagi para pengunjung yang hendak membeli keperluan kamar tidur. Hari pertama event akhir tahun dimulai, animo pengunjung langsung terasa. Sejak pagi area IDEA selalu ramai mulai dari lantai 1 hingga lantai 5. Tidak terkecuali dengan area yang Raline jaga. Meski terus bekerja melayani pengunjung, Raline sama sekali tidak merasa kelelahan apalagi kesal. Bahkan hingga jamnya bertugas sudah lewat, wanita itu masih tetap di sana tanpa terlihat akan mengeluh. "Kamu masih di sini?" tegur Noe ketika berkeliling memeriksa keadaan lantai demi lantai. "Iya, Pak.” Noe melihat catatan di ponselnya, kemudian mencocokkan dengan waktu saat ini. "Bukannya jam kamu sudah selesai?" Raline mengangguk dan menjelaskan cepat sebelum dirinya dikatakan keras kepala lagi. "Mas Dani mendadak sakit perut, jadi saya gantikan dulu." Noe mengernyit tidak suka sambil mengamati wajah Raline. "Kamu kelihatan sudah sangat lelah, Ral. Kamu kembali saja ke West Tower, biar saya yang berjaga di sini." "Enggak usah, Pak,” tolak Raline cepat. “Mas Dani enggak akan lama katanya." "Sudah tinggal saja,” paksa Noe. Kemudian, pria itu menunjuk sekeliling ruangan. “Lagi pula sekarang sedang jam sepi." Raline ikut mengamati sekeliling dan mendapati perkataan Noe memang benar. Pengunjung tidak sepadat pagi tadi, mungkin karena saat ini sedang jam makan siang. "Bener gapapa saya tinggal, Pak?" "Benar, Ral." Noe mengangguk meyakinkan. "Kalau begitu saya permisi, Pak." Raline mengangguk sopan, kemudian bangkit dari tempatnya berjaga. "Ral …," panggil Noe saat wanita itu baru saja melangkah menjauh. Langkah Raline langsung terhenti dan ia kembali menoleh ke belakang. "Ya, Pak?" Noe mengambil sesuatu dari dalam laci, kemudian menunjukkannya. "Tidak habis?" "Eh, ini?" Cepat-cepat Raline mengambil kotak makan yang lupa ia buang. "Tidak sempat?" tebak Noe. "Bukan, Pak." "Lalu kenapa?" tanya Noe dengan tatapan minta penjelasan. Raline melirik konsumsi untuk para petugas yang berjaga hari ini. "Ikannya agak terlalu amis aromanya, Pak." Noe mengernyit heran. "Saya kira kamu tidak masalah dengan ikan." "Biasanya iya, Pak. Tapi mungkin yang ini agak terlalu kuat baunya, jadi saya …." "Mual?" tebak Noe curiga. Dalam kepalanya tercatat sudah beberapa kali wanita ini mengalami mual. "Sedikit, Pak.” Raline meringis serba salah. “Tapi nanti saya habiskan." "Kalau memang mual jangan dipaksakan. Makan yang lain saja." Noe mengambil kembali kotak yang tadi sudah berpindah ke tangan Raline. "Kamu mau apa?" "Nanti saya pesan sendiri aja, Pak," tolak Raline segan. "Sekalian saja. Saya juga belum sempat makan siang hari ini," ujar Noe santai sambil mulai membuka aplikasi layanan pesan antar makanan di ponselnya. "Loh? Kenapa, Pak?" tanya Raline heran. Padahal yang ia tahu, Noe adalah orang paling disiplin di tim mereka yang hampir tidak pernah melewatkan waktu makan. "Tadi cukup hectic di lantai 2. Selain itu, makanan bagian saya sudah saya berikan untuk orang lain." "Bukannya semua sudah dapat bagian, Pak?" Noe mengangguk membenarkan. "Tadi Pak Gino sekalian membawa anaknya ke sini. Anaknya sudah libur dan ingin melihat-lihat juga. Kalau bagian Pak Gino harus dibagi dua dengan anaknya mereka pasti tidak kenyang." "Baik banget ….” Tanpa sadar Raline berbisik kagum. "Hm?" Noe bergumam dengan tatapan bertanya. Cepat-cepat Raline menggeleng. Malu sendiri dengan dirinya yang bisa keceplosan di depan pria ini. "Enggak, Pak. Bukan apa-apa." "Jadi kita pesan sama-sama ya?" ajak Noe. Raline mengangguk setuju. "Boleh, Pak." Pikir Raline, kalau dirinya sudah naik ke lantai 5 West Tower, pasti akan malas harus turun lagi mengambil pesanan makanan. "Itu Dani," ujar Noe di tengah obrolan santai keduanya sambil menunggu pesanan makanan mereka datang. "Mas di sini juga?" sapa Dani dengan wajah malu. "Hm." Noe mengangguk kecil. "Ral, makasih ya udah gantiin aku,” ujar Dani penuh terima kasih sekaligus tidak enak hati. “Sekarang lo bisa balik." "Oke, Mas." Cepat-cepat Raline menoleh ke arah Noe. "Pak saya kembali ke kantor dulu. Nanti kalau makanannya datang, tolong kasih tahu saya ya. Nanti saya ke sini lagi." Raline yang tadinya malas bolak-balik, jadi terpaksa harus mondar-mandir lebih parah karena ia tidak menduga Dani selesai secepat ini. "Ayo, sama-sama saja! Kita bisa tunggu di bawah sebelum naik ke West Tower." "Bapak bukannya masih mau berkeliling di sini?" tanya Raline heran. "Saya sudah selesai dan mau kembali ke kantor saat mampir ke sini. Tadi hanya menemani kamu menunggu sampai Dani datang saja." Jawaban Noe sungguh membuat Raline terkejut. Jadi pria itu khusus menungguinya. Mengapa rasanya pria itu seolah memperlakukannya berbeda dari yang lain? Ataukah Noe memang seperti ini pada semua anak buahnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN