15. Atas Terbaik

2230 Kata
"Lo ngapain ke sini?" Diana bertanya galak sambil menghadang langkah Raline. "Mau kerjalah," sahut Raline santai. Diana langsung mendelik galak mendengar jawaban cuek Raline. "Kan tadi Mas Noe bilang lo enggak boleh ikutan dulu." Gara-gara kejadian semalam, sore tadi Noe memberi ultimatum pada Raline untuk tidak ikut bekerja menyiapkan set malam ini. Namun, selain gila kerja, memang pada dasarnya Raline juga keras kepala. Hingga, di sinilah ia berada saat ini. “Pak Noe ada?” tanya Raline sambil matanya awas menatap ke sekeliling. “Lagi pergi dulu bentar, sekalian beli makan katanya.” “Nah, bagus!” desis Raline senang. “Bagus, bagus!” omel Diana. “Nanti juga orangnya balik lagi kali.” Raline tersenyum manis sambil berkedip nakal. “Nanti pas dia balik, gue bisa kasih alasan. Gue udah kerja dan baik-baik aja. Beres, kan?” Nyatanya, bukan hanya Diana yang heran melihat kehadiran Raline di set, Josh juga langsung berkomentar. "Eh, anak ini!” seru Josh sambil menepuk pelan bahu Raline. “Ngapain nongol di sini?" "Mau ikutan kerja, Mas," jawab Raline sangat yakin. "Aih, aih!” Josh berdecak heran. “Emang bener kata lo Na, ini anak gila kerja. Udah dikasih titah buat istirahat, bukannya dimanfaatkan dengan baik, eh malah ngotot mau kerja. Kalo gue dapet kesempatan kayak lo sih pasti dengan sangat bahagia dan senang hati lagi santai-santai di kamar gue.” Diana langsung mendengkus sebal. “Sayangnya Raline bukan lo, Josh!” Josh terkekeh pelan. “Bener juga.” “Lo mau ngerjain apa di sini?” tanya Diana ketus. “Apa aja,” jawab Raline cepat. “Cari kerjaan yang ringan-ringan aja,” usul Josh. “Kalo nanti pingsan lagi, repot urusannya.” “Tumben otak lo waras Josh,” gumam Diana kaget. Josh langsung memasang wajah sok serius. “Kadang kalo di deket cewek cantik, otak gue berfungsi normal kok.” Diana menggeleng geli. “Andai lo normal terus, mungkin banyak yang mau jadi cewek lo.” “Termasuk lo ya, Na?” goda Josh. “Bangke lo!” Refleks tangan Diana melayang menghajar lengan Josh.  “Kalo gitu lo bantuin ngecat aja mau enggak?” tanya Josh sambil meringis akibat pukulan Diana barusan. “Gampang tuh, sambil duduk juga bisa. Properti yang dicat juga ukurannya kecil-kecil, jadi lo enggak kerepotan.” Raline langsung mengangguk setuju. “Boleh, Mas. Sini saya kerjain.” “Awas ya, Ral! Sampe Mas Noe marah, gue enggak ikutan loh,” pesan Diana sebelum kembali pada pekerjaannya dan meninggalkan Raline sendiri. “Tenang aja,” sahut Raline yakin. Ia langsung berjalan mengikuti Josh menuju tempat properti yang perlu dicat. “Nih, pake dulu maskernya biar enggak mabok bau cat!” Josh menyerahkan selembar masker baru untuk Raline kenakan. “Thank you ….” Raline tidak membuang-buang waktu lagi. Begitu dibiarkan sendiri, ia langsung tenggelam dalam pekerjaannya. Raline begitu menikmati setiap waktu yang ia habiskan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia desain. Mulai dari merancang, membuat denah, membangun bentuk tiga dimensi, memilah bahan, bahkan sampai pada tahap pengerjaan lapangan seperti sekarang. Semua ini adalah perwujudan mimpinya sejak masa remaja.  Raline yang terlalu tenggelam dalam keseriusannya sampai tidak menyadari ada sosok yang menghampiri. “Raline …, sedang apa kamu di sini?” “Eh, Bapak!” Raline terperanjat saat melihat Noe yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya. “Apa yang kamu lakukan di sini, Ral?” Noe mengulangi pertanyaannya dengan nada gusar. “Kamu tidak ingat kalau saya sudah bilang hari ini kamu tidak boleh ikut bekerja?” Tanpa sadar Raline meringis akibat melihat wajah kaku Noe. “Tapi saya udah merasa sehat, Pak.” Noe menggeleng tidak habis pikir, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. “Kamu benar-benar keras kepala dan sulit diberitahu, Ral.” “....” Wanita itu kembali meringis dengan wajah tanpa dosa. Perlahan Noe mengembuskan napas lelah. Ia sadar percuma melarang wanita keras kepala ini. “Kalau kamu mau tetap kerja malam ini, setidaknya kamu harus makan dulu.” “Oke.” Raline langsung mengangguk patuh. Untuk beberapa saat Noe terpana. Tidak disangkanya Raline akan menurut secepat ini. “Kenapa, Pak?” tanya Raline bingung melihat Noe termangu. Noe menggeleng heran. “Tumben sekali kamu langsung mengiakan ajakan saya.” Ucapan Noe membuat Raline tersenyum malu. Seketika Noe mengangguk paham. Ia bisa mengerti alasan Raline mendadak langsung patuh. “Sedemikian inginnya kamu bisa ada di sini, Ral.” Ketika Raline tidak membantah tebakannya, diam-diam Noe tersenyum samar. Dalam hati sesungguhnya Noe mengagumi tekad keras Raline yang tidak dimiliki oleh semua orang. "Kalau begitu kita makan sama-sama dengan yang lain," ajak Noe dengan suara yang sudah kembali normal. Tidak lagi terdengar gusar atau galak. “Guys! Ayo, makan dulu!" panggil Noe pada anak-anak yang lain. "Nanti kita lanjutkan lagi setelah makan.” “Siap, Mas!” Seruan kompak langsung terdengar dari beberapa sudut dan satu per satu mereka berlarian menghampiri Noe. “Makan apa nih?” tanya Josh sambil coba membaui kantung besar di tangan Noe. “Asik! Nasi bistik, dong!" seru Sonya saat mengintip ke dalam kantung yang Noe serahkan. "Udah lama gue pengin ini.” “Waduh!" gumam Rian senewen. "Ini kan yang porsinya jumbo itu!” “Kalo enggak habis, gue selalu siap menampung," celetuk Josh sambil cengar-cengir. “Josh, bantuin gue!” pinta Putri cepat sebelum keduluan yang lain. “Siap, Puput Sayang!” balas Josh ceria. “Bantuin gue juga dong, Josh!” pinta Diana juga. “Cari tong sampah lain, Na. Udah banyak ini!” tolak Josh karena tahu porsi makan Putri sedikit. “Ah, payah lo!” seru Diana sebal. Josh mendelik sebal, lalu langsung bertanya pada Iskan. “Is, mau enggak terima operan dari Diana?” “Boleh aja,” sahut Iskan tenang. Diana yang tadinya mau menjewer Josh jadi batal melihat reaksi Iskan. Perlahan ia bertanya malu-malu pada sang pujaan hati. “Beneran gapapa?” “Hm.” Iskan mengangguk diiringi senyum samar. Senyum yang jarang terlihat di wajahnya karena Iskan ini kakunya melebihi cor-coran semen. Dani menyikut Raline yang terdiam dengan muka kebingungan. “Kenapa muka lo kayak gitu, Ral?”  “Aku harus oper ke siapa dong?” tanya Raline ngeri. Kalau Diana yang makannya banyak saja sampai harus cari bantuan, berarti porsi makanannya benar-benar luar biasa besar. Dani langsung menggeleng begitu Raline menatap ke arahnya. “Jangan gue, Ral! Gue enggak sanggup.”  Rian juga langsung ikut menggeleng. “Gue lagi diet, Ral. Sorry. Ngabisin porsi gue sendiri aja bakal bikin diet gue berantakan, apalagi ditambah bantuin punya lo.” “Gaya lo pake diet-diet,” ejek Dani. “Biar enggak buncit. Takut enggak laku gue,” sahut Rian santai. “Mbak Sonya tuh!” usul Josh tiba-tiba. “Heh!” Balasan galak Sonya langsung terdengar. “Badan gue emang gendut, Josh! Tapi gini gini gue masih cewek! Lambung gue belum segede paus!” Josh langsung tertunduk geli. “Maaf sih, Mbak.” Tanpa diduga, suara Noe yang tenang menyelesaikan semua masalah. “Makan sebisa kamu, Na. Kalau tidak habis nanti saya bantu.” “Pisahin dulu aja gimana, Pak?” usul Raline tidak enak. “Kenapa harus begitu?” balas Noe heran. “Masa baru dikasih setelah saya acak-acak, kan enggak sopan, Pak. Jorok juga.” “Tidak masalah, Na.” Noe menjawab santai. “Sini, makan dekat saya. Biar saya bisa bantu kamu.” Untuk pertama kalinya Raline merasa sangat bahagia makan berdekatan dengan Noe karena ia serasa mendapatkan dewa penolong. Makan malam mereka berlangsung begitu hangat dan penuh gurauan. Ada saja yang dibahas dan dijadikan bahan ejekan. Selalu seperti itu saat mereka menghabiskan waktu bersama. Benar-benar sebuah tim yang solid dan membuat iri banyak orang. “Kalau kalian nanti lapar lagi, saya sudah pesan martabak juga,” ujar Noe ketika melihat satu per satu anak buahnya mulai selesai makan. “Sepertinya sebentar lagi akan diantar.” “Pesen berapa loyang, Mas?” tanya Sonya si penggila martabak keju. “Hanya tiga. Cukup atau tidak?” ujar Noe. “Cukuplah, Mas!” seru Dani kaget. “Malah kebanyakan kayaknya.” Noe tersenyum hangat. “Tidak apa kebanyakan, yang penting tidak kurang.” “Mas Noe terbaik!” seru Josh bahagia, lalu melanjutkan dengan ucapan ngawurnya. “Betah gue seumur hidup kerja di sini juga selama atasan Mas Noe.” “Kalo Mas Noe di sini terus. Kalo Mas Noe balik ke negaranya?” tanya Sonya. “Gue mau ngikut aja,” sahut Josh tanpa ragu. Sonya tertawa jahat. “Emang Mas Noe mau bawa lo?” “Mas Noe mau bawa Josh, kan?” tanya pemuda itu sambil menatap Noe penuh harap. Ditanya demikian, Noe hanya menanggapinya dengan senyum tenang. “Putri juga mau daftar dong, Mas,” celetuk Putri malu-malu. Noe menggeleng geli. “Kalian ada-ada saja. Memangnya saya mau ke mana?” “Kali aja Mas Noe ada niat pulang kampung,” ujar Josh polos. “Eh, salah! Pulang negara maksudnya.” “Tapi, negara Mas Noe emang di mana?” tanya Rian bingung. “Eh? Di mana ya?” sahut Josh kebingungan. “Di mana sih, Mas?” Noe kembali tersenyum geli. “Saya tidak ada rencana ke mana-mana. Saya akan terus di Indonesia.” “Tuh, aman berarti!” Josh berseru senang. “Siapa tau nanti Mas Noe bosen di IDEA terus pengin pindah kerja,” celetuk Sonya menakuti. “Ya gue juga tinggal ngikut aja,” balas Josh tidak habis akal. “Udah kayak benalu aja lo, Josh!” omel Sonya galak. “Biarin.” Josh mengangkat bahunya tidak peduli, lalu tanpa malu-malu mengungkapkan apa yang dirasakannya. “Udah nyaman sama atasan kayak Mas Noe. Cinta mati gue. Idola gue sejak masuk sini.” “Memangnya kalian tidak berniat memiliki usaha sendiri nantinya?” tanya Noe tiba-tiba. “Pengin sih, asal ada Mas Noe.” Lagi-lagi Josh memberikan jawaban seenaknya. “Ujung-ujungnya tetep …,” sindir Putri heran. “Udah, ah!” Josh mengakhiri sesi perdebatan yang dimulainya sendiri. “Gue balik kerja dulu!”  “Pak, saya juga sudah selesai. Saya kerja lagi ya,” ujar Raline mengikuti anak-anak lain yang satu per satu mulai kembali bekerja. “Tunggu sebentar, Ral,” tahan Noe. “Hm?” “Tunggu saya. Sedikit lagi saya selesai. Nanti kita sama-sama.” Raline tidak bisa membantah ucapan Noe dan menunggu dengan pasrah sampai pria itu menyelesaikan makannya. “Ayo! Kamu mau mengerjakan apa?” tanya Noe saat mereka berdua berjalan kembali menuju area set. “Saya mau lanjut mengecat aja, Pak.” Raline menunjuk tempat kerjanya yang tadi. Noe mengangguk dan mengiringi langkah Raline menuju tempat mengecat. “Oke. Kalau begitu saya tinggal ya,” ujar Noe saat Raline sudah berada di tempatnya semula, lalu berpesan serius sebelum berlalu. “Pastikan kamu mengerjakan ini saja. Jangan ke mana-mana lagi.” “Iya, Pak.” Setelah Noe meninggalkannya sendiri, Raline kembali larut dalam pekerjaannya. Ia tidak mempedulikan hal lain sampai kira-kira satu jam berikutnya terjadi sesuatu yang salah padanya. Raline segera berlari menuju kamar mandi karena gangguan yang tiba-tiba dirasakannya.  Begitu keluar dari kamar mandi, seseorang menghalangi jalannya. “Kamu kenapa?” tanya Noe khawatir. “Eh?!” sontak Raline terperanjat karena Noe menungguinya di depan kamar mandi. Pikirnya tidak ada yang melihat ia berlari ke kamar mandi tadi. “Kamu habis muntah?” tebak Noe. Saat Raline berlari ke kamar mandi, Noe melihatnya. Tanpa mengatakan apa-apa pada yang lain, Noe menyusul wanita itu. Dari luar kamar mandi perempuan, Noe bisa mendengar suara-suara yang mencurigakan. “Ng …, iya ….” Raline mengangguk kikuk. Noe mengamati wajah Raline dengan cemas. “Badan kamu tidak enak lagi?”  “Bukan, Pak. Kayaknya saya terlalu lama mengecat. Bau catnya buat saya jadi pusing. Lama-lama jadi mual.” Raline memang tidak merasakan apa-apa ketika makan tadi. Perutnya bisa menerima dengan baik. Namun, ketika kembali bekerja, entah mengapa aroma cat di sekitarnya tiba-tiba terasa begitu menyengat dan membuatnya pusing. Awalnya Raline masih coba mengabaikan, tetapi semakin lama aroma itu semakin mengganggu. Bahkan akhirnya ia merasakan desakan dari dalam perut yang naik hingga ke tenggorokan. “Kenapa kamu tidak bilang dan malah terus mengerjakan itu dari tadi?” tanya Noe gusar. “Saya cuma enggak mau dibilang manja.” “Kamu ada-ada saja.” Noe menggeleng tidak percaya. “Sekarang ikut saya.” Perlahan ia meraih pergelangan tangan Raline dan membawanya berjalan bersama menuju pintu keluar di sisi timur. Ia membuka pintu yang menuju teras dan membawa Raline keluar. “Mau apa, Pak?” tanya Raline bingung. “Diam di sini sampai kamu merasa lebih baik. Udara segar baik untuk mengatasi rasa pusing setelah menghirup aroma cat terlalu lama.” “Pak, maaf ya …,” ujar Raline penuh rasa bersalah. Lagi-lagi ia membuat masalah. Lagi-lagi ada saja yang terjadi padanya.  Noe mengernyit bingung. “Maaf untuk apa?”  “Saya selalu merepotkan akhir-akhir ini.” Raline mulai merasa resah sendiri dengan kesehatannya yang akhir-akhir ini menurun. Padahal dulu ia tidak begini. Tubuhnya sangat sehat, bugar, dan jarang sakit karena ia sangat rajin berolahraga dan menjaga pola makan dengan baik. Noe tersenyum menenangkan. “Tidak masalah, Ral.” “Apa ini tidak akan mempengaruhi penilaian kinerja saya, Pak?” tanya Raline takut. Apakah artinya setelah masa satu tahun ini berakhir, ia tidak bisa lagi melanjutkan kontrak kerja di IDEA? Noe menggeleng perlahan, kemudian meremas lembut bahu Raline. “Jangan khawatirkan itu, Ral. Saya tahu bagaimana kerasnya kamu bekerja. Saya setahu serajin apa kamu, dan sejujurnya saya senang memiliki kamu di tim saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN