“Heh! Ngaku lo! Ngapain berduaan sama Mas Noe di sini?” Diana langsung menodong Raline dengan pertanyaan begitu Noe pergi meninggalkan unit wanita itu.
“Gue enggak ngapa-ngapain, Diana!” balas Raline dongkol. Sudah habis malu ia dibuatnya gara-gara ucapan Diana tadi.
Diana memicingkan mata, menatap penuh curiga dengan gaya menyebalkan. “Terus kenapa Mas Noe bisa ada di sini?”
“Dia tadi tau-tau dateng, katanya mau periksa kaki gue," sahut Raline sebal.
“Terus?” desak Diana penasaran.
“Ya dia buka perban, periksa kondisi kaki gue, terus kompres pakai air hangat, habis itu pasangin perban lagi.”
“Gila! Perhatian banget sih!” desis Diana heboh.
Raline menggeleng pasrah. “Enggak ngerti gue juga.”
“Terus ngapain lagi?" Diana memicingkan mata sambil mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Tak lupa hidungnya mengendus-endus tajam. Jiwa detektif sengklek Diana sedang kumat. "Enggak mungkin cuma ngurusin kaki lo doang karena di sini ada aroma-aroma bekas makanan enak.”
“Hidung lo hebat banget, Na.” Raline menggeleng tidak percaya.
“Tapi bener, kan?” desak gadis itu.
“Iya. Tadi sekalian makan.”
“Makan bareng?” Kembali wajah menyebalkan Diana terlihat.
“Hm.” Raline mengangguk malas.
“Cie …, kemajuan!” ejek Diana heboh.
“Gue terpaksa kali, Na." Raline memutar bola matanya dengan sebal. Sudah bisa diduga kalau Diana akan berekasi seperti itu. "Masa gue usir, kan enggak enak. Udah susah-susah bawain makanan, terus gue enggak selera. Akhirnya dia pesenin makanan lain. Masa pas udah dateng gue usir?”
Diana menggeleng tidak percaya. “Serius ya, Mas Noe sumpah perhatian banget sama lo.”
“Kata Mas Noe dia begitu sama semua kok. Kita semua dianggap keluarga sama dia, kayak adik-adik buat dia.”
“Halah!" Diana mencibir geli. "Kita sih dianggap adik, tapi lo?”
“Tau, ah!”
“Tapi suka, kan?” goda Diana terus.
“Suka apa?”
“Diperhatiin sama Mas Noe.”
“Biasa aja." Raline tidak berbohong.
Alih-alih merasa senang dengan perhatian Noe, ia malah cenderung merasa canggung. Mungkin kalau tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, Raline akan senang dengan perhatian yang diterimanya. Namun, kenyataan yang pernah terjadi membuatnya jadi tidak nyaman. Dalam benak Raline juga selalu muncul pikiran kalau Noe baik padanya hanya karena merasa bersalah atas yang terjadi malam itu, tidak lebih.
“Sekarang aja gini, lama-lama juga nyandu lo!”
Raline mengedik tidak peduli, lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu “Na, tadi Kamal video call gue dong!”
Ekspresi wajah Diana yang sejak tadi terlihat jail, seketika berubah kaku. “Pas ada Mas Noe?”
“Hm.”
“Terus lo angkat?”
“Tadinya enggak, tapi dia suruh gue angkat.”
“Terus ngomong apa dia?” Tanpa sadar suara Diana berubah sinis.
“Dia nanya soal gue libur apa enggak.”
“Mau ngapain?”
“Dia mau ajak gue lihat-lihat museum di sana. Katanya dia punya tiket gitu.”
“Terus lo mau?” Diana mendelik galak. Sampai Raline mengiakan, tangannya siap menjewer telinga wanita itu.
“Ya enggaklah!” desis Raline keki.
“Bagus!” Diana mengangguk puas. “Tapi Mas Noe denger obrolan lo sama Kamal?”
“Hm.”
“Dia komen apa?”
Perlahan Raline mengembuskan napas. “Dia cuma bilang kayaknya bukan cuma gue yang masih memendam rasa, Kamal juga.”
“Ck! Dasar cowok enggak jelas!” desis Diana jengkel.
“Emosi banget, Na," ujar Raline heran.
“Emosilah!” seru Diana dengan nada meninggi. Sedetik kemudian matanya menatap curiga. “Eh, omong-omong perasaan lo gimana?”
“Soal apa?” balas Raline tidak mengerti.
“Ya mantan lo itu. Pas dia kontak lo, lo gimana?”
“Jawaban jujur apa jawaban gengsi?”
“Gengsi dulu.”
“Ya gue sih biasa aja.”
“Jawaban jujur?” tanya Diana curiga.
Seketika Raline tersipu. “Gue deg-degan. Seneng.”
“Pasti jadi berharap?” tebak Diana jengkel.
“Hm." Raline mengakuinya dengan jujur. Percuma saja membohongi Diana, gadis itu terlalu jeli. "Berharap ini pertanda dia menyesal dan mau ajak gue balikan lagi.”
“Dasar b**o!” omel Diana keki.
“Hm?” Raline menatap tidak mengerti pada Diana yang terlihat kesal setengah mati.
“Ngapain lagi mesti balik sama cowok enggak punya pendirian kayak gitu?" tanya Diana tidak habis pikir. "Udah jelas ada yang lebih matang, lebih dewasa, lebih perhatian di depan mata. Malah masih berharap sama yang enggak jelas.”
***
“Guys! Sebelumnya saya mau minta maaf sama kalian." Noe sengaja mengumpulkan anak-anak tim desain sore itu di ruangannya. "Sepanjang minggu ini sepertinya kita akan terpaksa lembur setiap malam untuk mempersiapkan event akhir tahun yang akan dimulai pekan depan. Saya sebenarnya paling tidak suka mengambil waktu kalian lebih dari jam kerja yang seharusnya, tapi kali ini terpaksa harus dilakukan, karena kalian tahu sendiri kita baru bisa memasang set setelah tidak ada pengunjung. Tapi kalau memang kalian tidak bisa, jangan segan beritahu saya. Saya pasti memaklumi.”
Memasuki bulan Desember, pekerjaan di IDEA memang meningkat drastis, karena musim liburan selalu jadi waktu terbaik untuk melakukan promosi besar-besaran. Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan event yang akan dimulai pekan depan, terhitung hari ini ada yang tidak biasa dengan jam kerja tim desain. Sepanjang minggu ini mereka akan lembur setiap hari untuk mempersiapkan display terbaru yang akan diluncurkan pekan mendatang.
Setelah memberi pengarahan beberapa waktu lagi, Noe mempersilakan anak-anak tim desain untuk meninggalkan ruangannya.
“Kayaknya pada enggak masalah ya disuruh lembur?” bisik Raline pada Diana saat mereka berjalan keluar dari ruangan Noe.
“Hm?”
Raline kembali berbisik sambil melirik pada yang lain. “Muka-mukanya pada biasa aja.”
Diana ikut melihat pada yang lain dan mengangguk kecil. “Emang pada enggak keberatan sih kalo Mas Noe minta lembur, soalnya jarang banget. Dan asal lo tau, sekali Mas Noe minta kita lembur, udah pasti kesejahteraan perut kita semua bakal terjamin.”
Diana yang satu angkatan lebih tua dibanding Raline dalam masa kerja di IDEA jelas sudah lebih banyak pengalaman dibanding wanita itu. Jadi para pekerja di IDEA itu terbagi dalam angkatan per tahun. Raline angkatan kesebelas. Diana dan Rian angkatan kesepuluh. Putri dan Josh angkatan kesembilan. Dani angkatan kedelapan. Iskan angkatan ketujuh.
Sistem penerimaan pegawai di IDEA memang tergolong unik. IDEA hanya membuka penerimaan pegawai setiap satu tahun sekali dan selalu di waktu yang sama. Karyawan yang diterima pun harus melalui proses seleksi terlebih dahulu, kemudian menjalani pelatihan sebelum akhirnya bisa bergabung. Cukup sulit memang untuk bisa bergabung dengan IDEA, tetapi jika diterima artinya orang tersebut memang berkualitas. Kemudian, karyawan yang bekerja di IDEA harus menandatangani kontrak setiap tahun dan tidak boleh berhenti tiba-tiba di luar waktu yang ditentukan.
“Sejahtera?” Ralien mengernyit. “Dikasih makan maksudnya?”
“Bukan dikasih, tapi dilimpahi," koreksi Diana. "Sampe kekenyangan malah.”
“Royal banget ya,” gumam Raline takjub.
“Begitulah.”
“Gajinya gede banget kali ya,” celetuk Raline asal.
Namun, Diana ternyata menanggapinya dengan serius. “Pastilah. Lulusan luar. Produk asli impor. Pasti dihargain mahal di sini.”
Raline manggut-manggut perlahan. “Pantes pakai duit enggak pusing.”
“Iyalah. Enggak ada tanggungan juga, buat apa pusing sama duit?”
“Enggak ada tanggungan maksudnya?”
“Kan Mas Noe single. Keluarga entah di mana. Jadi gaji yang didapat ya buat dia sendiri kali.”
Semakin banyak mendengar informasi baru tentang Noe, Raline semakin penasaran. Rasanya ingin mengorek lebih banyak lagi, tetapi seketika Raline sadar sepertinya tidak pantas. Cepat-cepat ia menghentikan hal ini sebelum dirinya jadi semakin penasaran. “Udah ah gosip mulu! Mending cepet kerja.”
“Enggak sabar banget,” ejek Dianan geli. “Udah ngebet curi momen bareng Mas Noe ya? Hari ini belum berduaan ya?”
Raline mendelik galak. “Jangan sembarangan, Na!”
Berpisah dari Diana, Raline segera menyibukkan diri dengan mengerjakan berbagai hal agar pikirannya tidak melantur ke mana-mana. Segala hal Raline kerjakan seolah dirinya tidak kenal lelah. Beginilah sosoknya, sejak masih kecil bibit workaholic sudah terlihat jelas dalam dirinya, mirip dengan Jett sementara dengan Seraphine berkebalikan.
Seperti saat ini, di saat semua orang sudah bergantian beristirahat, Raline masih tetap bekerja dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Sampai akhirnya, Noe tidak bisa menahan diri lagi. Didekatinya Raline, lalu menegurnya pelan.
“Ral, berhenti dulu!” ujar Noe sambil menahan tangan Raline yang tengah memasang sekrup di dinding untung menggantung rak.
Gerakan Raline terpaksa berhenti, lalu wanita itu menoleh ke samping. “Kenapa, Pak?”
“Istirahat dulu. Jangan terlalu capek.”
Raline menggeleng cepat. “Saya belum capek, Pak.”
“Makan dulu bisa kan, Ral?” tanya Noe sedikit gemas.
“Hm?”
“Saya tahu kamu belum makan sementara rekan-rekan kamu yang lain sudah bergantian makan sejak tadi,” ujar Noe dengan nada membujuk. “Ayo!”
“Boleh sebentar lagi, Pak?” pinta Raline sambil meringis. “Tanggung ini sedikit lagi. Kalau ditinggal sekarang takut lupa titik bantunya, nanti malah susah lagi carinya.”
Noe mengamati pekerjaan Raline, kemudian mengangguk perlahan. “Oke. Setelah ini kamu harus langsung makan.”
Namun, tidak sampai sepuluh menit setelah Noe tinggalkan, tiba-tiba saja Raline merasakan tubuhnya gemetar. Tangannya yang tengah digunakan untuk memegang ambalan terasa bergetar dan pandangannya mengabur. Cepat-cepat ia berjongkok dan meletakkan ambalan itu di lantai. Raline takut jika ia tetap berdiri, dirinya dan benda itu akan jatuh bersama-sama. Untung saja ia tidak sedang memegang mesin bor saat ini, jika tidak pastinya sangat berbahaya.
“RAL!” Rian yang tengah mengerjakan set di sebelah Raline segera melihat wanita itu yang tiba-tiba berjongkok lemas. Ia segera berlari menghampiri. “Lo kenapa?”
Teriakan Rian membuat anak-anak yang lain langsung melihat juga. Bergegas mereka meninggalkan pekerjaan masing-masing untuk memeriksa keadaan Raline.
“Ral, lo kenapa?!” tanya Diana panik sambil memeluk tubuh temannya.
“Ral, apa yang kamu rasain?” tanya Putri tidak kalah khawatirnya.
“Lo baik-baik aja, Ral?” Josh bertanya sambil memegang kening wanita itu.
Namun, tidak satu pertanyaan pun yang mampu Raline jawab. Kepalanya mendadak jadi sangat pening dan suara-suaranya di sekitarnya terdengar seperti gaung tidak jelas.
“Kalian kembali bekerja saja, biar saya yang urus.” Noe menerobos kerumunan dan membubarkan yang lain. Ia segera berlutut dan mengambil tubuh Raline dari pelukan Diana. Noe mengangkat tubuh Raline dan membawanya ke ruang istirahat yang berada tidak jauh dari tempat mereka saat ini. Hati-hati Noe membaringkan tubuh Raline di atas sofa. “Raline, kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan?”
Setelah beberapa waktu, akhirnya Raline bisa menjawab. “Cuma agak pusing aja.”
“Sudah saya bilang jangan terlalu lelah. Kamu ini keras kepala sekali, Ral,” ujar Noe gusar.
“Maaf.”
“Sekarang kamu harus istirahat. Makan dulu. Biar pekerjaan kamu saya yang selesaikan.”
“Tapi-”
“Tidak ada bantahan lagi, Ral.” Noe berjalan ke arah tumpukan kotak makanan dan mengambilkan bagian Raline. Ia kembali menghampiri Raline dan membantu wanita itu duduk. “Makan dan habiskan. Diam di sini dan jangan ke mana-mana.”
Sesudahnya, Noe meninggalkan Raline tanpa berbicara apa-apa lagi. Raline jadi merasa bersalah karena sudah menyusahkan Noe lagi dan lagi.
Di tengah kesendiriannya, Raline memaksakan diri untuk makan meski rasanya sulit. Ia tidak ingin Noe kembali dan mendapati makanannya belum tersentuh. Pria itu bisa marah sepertinya kalau sampai demikian.
Sekitar 15 menit setelah Noe pergi, Diana masuk ke ruangan istirahat. Gadis itu langsung mengomeli Raline habis-habisan. “Kan, tumbang juga lo akhirnya! Susah sih dibilangin!”
“Apa deh?” sahut Raline lemas.
“Makanya udah dibilang juga apa! Makan, makan, makan! Enggak mau nurut sih. Malah kerja aja terus. Udah begini aja baru nurut,” omel Diana galak.
“Udah deh, Na. Enggak usah ikut marah-marah juga,” bisik Raline lirih.
“Emang siapa yang marahin lo sebelum gue?” Diana mengempaskan tubuh di sebelah Raline, lalu menatap penuh selidik. Tiba-tiba saja ia berseru. “Oh! Mas Noe ya?”
“Sst!” tegur Raline panik. Khawatir suara Diana terdengar keluar.
“Dimarahin gimana lo?”
“Gitu aja.”
“Ngoceh panjang lebar kayak gue barusan?”
“Enggak. Mas Noe ngomongnya singkat aja, tapi nadanya serem.”
“Maksud lo galak?”
“Hm.”
Diana bersiul kaget. “Gue baru tau Mas Noe bisa galak juga. Selama ini gue belum pernah lihat Mas Noe marah.”
“Gue juga jadi takut lihatnya, Na.”
“Makanya lo jangan aneh-aneh lagi,” ujar Diana galak. “Abisin deh tuh makanan!”
“Iya.”
Diana masih menemani Raline beberapa saat lagi, sampai ia mendengar suara langkah mendekat dan melihat sosok tinggi berjalan ke arah mereka.
“Mas Noe balik ke sini. Gue tinggal dulu deh.” Cepat-cepat Diana bangkit dari sofa.
“Yah, Na ….” Raline menyambar tangan Diana, berharap dapat menahannya lebih lama. “Temenin dong!”
“Emoh!” tolak Diana kejam. “Daripada lihatin kalian mesra-mesraan, mending gue nempel-nempel sama Iskan.”
“Dasar centil!” desis Raline geli.
“Sudah habis?” tanya Noe begitu kembali ke dalam ruang istirahat.
“Sedikit lagi, Pak.”
Noe berjalan ke arah tumpukan penyimpanan air mineral, kemudian mengambil satu botol dari dalam sana.
“Cepat habiskan, Ral! Setelah itu saya antar kembali ke unit kamu.”
“Tapi kerjaannya masih banyak, Pak.”
Noe yang tadinya berdiri memunggungi Raline, langsung berbalik cepat dan menatap tajam. “Kamu masih mau bekerja setelah hampir pingsan?”
Ditatap seperti itu, nyali Raline langsung ciut. Ia tidak berani menjawab pertanyaan Noe.
“Saya jelas tidak akan mengizinkan, Ral,” larang Noe tegas. “Malam ini cukup sampai di sini.”
“Kalau besok?” tanya Raline ragu-ragu.
“Kita lihat dulu keadaan kamu besok. Kalau memungkinkan kamu boleh ikut bekerja, kalau tidak kamu diam saja di unit kamu.”
“Nanti yang lain apa enggak pada iri, Pak?” tanya Raline dengan perasaan tidak enak. Ia takut jika sampai muncul anggapan kalau dirinya anak emas.
“Yang lain pasti mengerti.”
Kalau sudah begini, Raline tidak berani membantah lagi. Wajah Noe yang biasanya tenang dan sabar, saat ini terlihat gusar juga galak. Apalagi ketika pria itu duduk di sebelahnya, Raline semakin tidak berani berkutik. Ia hanya fokus menghabiskan isi kotak makannya saja.
“Sudah selesai?” tanya Noe saat melihat Raline menutup kotak makanannya.
“Udah, Pak.”
“Ayo, saya antar!” Noe langsung berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Raline.
“Saya sendiri aja, Pak,” tolak Raline canggung.
“Saya antar,” putus Noe tegas.
Dan lagi-lagi Raline tidak mampu membantah. Pada akhirnya, ia hanya bisa menerima ketika Noe mengantarnya kembali ke East Center, naik sampai ke unitnya, bahkan mengantar sampai tepat di depan pintu.
Keduanya berhenti di depan pintu dan berdiri berhadapan. Noe menatap dalam mata Raline, seolah banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi akhirnya pria itu hanya tersenyum singkat.
“Sekarang kamu masuk, mandi, lalu langsung tidur. Jangan mengerjakan apa-apa lagi.” Sebelum berlalu, tangan Noe terangkat ke arah kepala Raline dan menepuknya sekilas. “Selamat tidur, Raline.”