“Loh, Bapak?” Mata Raline sontak melebar begitu melihat sosok Noe berdiri di depan pintu unitnya. Kalau ia berpikir bisa menghindar dari Noe sore tadi dan jadi lega, Raline salah besar karena nyatanya pria itu malah datang langsung ke unitnya malam ini.
Noe tersenyum samar. “Boleh saya masuk?”
“Mau apa, Pak?” Sontak Raline jadi waswas.
“Saya tadi janji mau periksa kaki kamu," sahut Noe geli karena reaksi Raline yang terlihat panik. "Maaf baru bisa datang jam segini, tadi saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan dulu."
"Pak, kaki saya udah baik-baik aja."
"Biar saya pastikan." Noe meletakkan tangannya di bahu Raline, memutar tubuh wanita itu, lalu mendorongnya lembut ke arah sofa. "Coba kamu duduk dulu, biar saya bisa lihat."
Diperlakukan demikian, Raline hanya bisa bungkam dan menurut saja.
Noe berjongkok tanpa canggung di dekat sofa, menaikkan kaki Raline ke atas lutut, kemudian membuka perban di kaki wanita itu. Disentuhnya perlahan sambil membantu menggerakkan pergelangan kaki Raline. Setelahnya, Noe mengangguk lega. "Sudah jauh lebih baik, tapi sebaiknya perban ini tetap dipakai sampai dua atau tiga hari lagi."
"Iya, Pak."
"Saya bisa minta air hangat?" tanya Noe sambil bergerak bangkit.
"Buat apa, Pak?" tanya Raline heran.
"Sebelum saya pasang lagi perbannya, saya mau kompres kaki kamu dengan air hangat dulu selama beberapa menit."
Raline perlahan beringsut bangun, tetapi gerakannya langsung ditahan oleh Noe.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau ambil air hangat."
"Di kamar mandi?"
"Iya."
"Biar sama saya. Kamu tunggu di sini saja. Ada wadah dan kain kecil?" tanya Noe sebelum menuju kamar mandi.
"Hm …." Raline coba mengingat-ingat tempat ia menyimpan benda-benda yang Noe tanyakan.
Noe tersenyum samar melihat Raline kebingungan. "Boleh saya cari sendiri di pantry kamu?"
"Silakan, Pak." Raline mengangguk malu. Jelas ketahuan kalau Raline jarang menyentuh dapurnya sendiri sampai tempat-tempat penyimpanan saja ia tidak ingat.
Tidak berapa lama Noe kembali dengan wadah berisi air hangat dan kain kecil di tangan. Ia mengompres kaki Raline dengan sangat telaten. Ketika sudah selesai, Noe berbicara pelan. "Maaf saya lupa memberitahu kamu untuk rajin mengompresnya agar lebih cepat sembuh."
"Enggak apa-apa, Pak. Saya malah yang jadi enggak enak udah ngerepotin. Padahal Bapak enggak perlu urusin saya kayak gini."
"Saya suka melakukannya." Noe menjawab santai. "Nah, sudah selesai! Apa kamu merasa lebih baik?"
Raline coba menggerakkan kakinya dan memang kini terasa jauh lebih baik. Ia mengangguk perlahan sambil tanpa sadar tersenyum.
"Sekarang makan ya?" Noe berjalan mengambil paper bag yang tadi ia bawa, tetapi diletakkan begitu saja di dekat pintu masuk.
"Hm?" Raline menatap bingung.
"Selain mau memeriksa kaki kamu, sekalian saya bawa makan malam untuk kamu. Kamu belum makan, kan?"
"Iya."
"Saya perhatikan akhir-akhir ini selera makan kamu sedikit buruk. Ada apa, Ral?" tanya Noe khawatir.
"Enggak ada apa-apa, Pak."
"Kamu tidak bisa begini, Ral. Saya selalu ingatkan kalau makan itu penting."
"Iya, Pak. Saya selalu makan, kok."
Noe menaikkan kedua alisnya sambil menggeleng kecil. "Saya perhatikan tadi siang kamu tidak makan."
"Saya pesan garang asam, Pak.”
Kini Noe tersenyum sedih. "Kamu pesan tapi hanya mencicip satu sendok. Setelah itu kamu oper pada Josh."
Raline mengerjap kaget mendengar ucapan Noe.
"Jangan kaget, Ral. Saya terbiasa memperhatikan kalian semua. Bagi saya, kalian seperti keluarga yang harus dijaga, adik-adik yang harus diperhatikan dan dilindungi." Noe duduk di sebelah Raline, kemudian mengeluarkan satu per satu kotak makanan yang ia bawa. "Sekarang makan ya. Saya bawakan beberapa macam makanan, entah mana yang bisa masuk ke perut kamu saat sedang tidak berselera seperti sekarang."
"Makasih ya, Pak," ujar Raline terharu sekaligus canggung.
"Coba dilihat." Noe mengedik ke arah makanan yang dibawanya.
Raline beringsut maju agar lebih dekat ke meja. "Bapak udah makan?"
"Belum. Begitu urusan saya selesai, saya langsung ke sini, takut terlalu malam dan kamu sudah tidur."
"Mau makan sama-sama, Pak?" Entah bagaimana kata-kata tawaran itu meluncur spontan dari mulutnya.
"Kamu tidak masalah kalau saya makan di sini bersama kamu?" Noe bertanya dengan sorot senang yang tidak bisa disembunyikannya.
"Enggak, Pak."
"Biar saya bantu buka. Kamu mau yang mana?"
Ketika semua makanan itu terbuka, Raline kembali mengerjap heran. "Kenapa semua kayak makanan buat orang sakit, Pak?"
Di depannya tersaji seporsi nasi tim, bubur, dan bihun kuah. Ketiganya tidak ada yang membangkitkan selera sama sekali, malah kebalikannya.
"Bukannya kamu sedang tidak enak badan?" tanya Noe bingung.
"Iya sih ….” Raline mengangguk lesu. “Tapi lihat makanan begini …."
"Tidak menggugah selera kamu?" tebak Noe geli.
Cepat-cepat Raline menggeleng. "Bukan gitu, Pak."
"Kamu mau apa?" tanya Noe sabar sambil membenahi kembali makanan yang ia bawa.
"Kenapa ditutup, Pak?"
"Kita pesan yang lain saja, yang kamu mau," putus Noe.
"Terus ini gimana?" Raline menatap penuh rasa bersalah pada makanan yang terpaksa dieliminasi.
"Kita kasih untuk Pak Gino saja. Masih bersih dan belum tersentuh."
"Tapi saya juga bingung mau makan apa," gumam Raline dilema.
"Kamu sedang ingin makan yang seperti apa?"
"Enggak tau, Pak." Kalau ditanya soal makanan, Raline paling pusing. Jangankan sekarang saat selera makannya jadi buruk, sejak dulu pun sudah begitu. Ia paling sulit memutuskan makanan yang ingin dimakan. Raline lebih senang dipilihkan saja dan tinggal menikmati.
"Masakan Indonesia? Western? Japanese? Korean? Mandarin? Thailand? Atau apa?" ujar Noe memberikan pilihan seluas-luasnya.
Ditanya begitu, Raline tambah pasrah.
Noe tidak bisa menahan senyum melihat wajah Raline yang kebingungan. “Tambah pusing ya?”
Namun, seketika terjadi sesuatu di luar kebiasaan. "Tiba-tiba saya terbayang wonton soup, Pak."
"Wonton soup?" Noe mengulangi pilihan Raline, kemudian langsung mengeluarkan ponselnya dari saku. "Oke, kita cari!"
Untuk beberapa waktu keduanya duduk diam menatap layar ponsel Noe, melihat-lihat menu yang tersedia di aplikasi. Raline tidak sadar kalau saat ini duduknya sangat dekat dengan Noe dan mereka berdua terlihat cukup akrab.
"Yang ini mau?" Noe menunjuk salah satu menu yang terlihat menarik.
"Boleh, Pak." Raline langsung mengangguk. Tampilan foto di layar begitu menggugah seleranya.
"Yang pedas atau original?"
"Original aja."
"Mau sekalian pakai mi?" tanya Noe ketika melihat item lain.
"Enggak, Pak. Tapi kayaknya mau ini." Raline menunjuk satu foto menu yang lain.
Kening Noe mengernyit dalam. "Locupan?"
"Hm."
"Apa ini?” gumam pria itu bingung. “Saya baru pernah dengar."
"Apa ya …, susah jelasinnya, Pak,” jawab Raline bingung juga. “Dibilang mi bukan, kwetiau juga bukan. Tapi ini enak."
“Apa ini masakan Indonesia?” tanya Noe penasaran.
“Saya juga enggak tau pasti sih, Pak. Cuma kalau enggak salah ini dari Bangka, identik sama orang keturunan Tionghoa gitu katanya sih.”
"Oke, kita pesan.” Noe segera menyelesaikan pemesanan, kemudian melanjutkan obrolan sambil menunggu makanan mereka datang. "Ral, sudah berapa lama kamu tinggal di Indonesia?"
"Sejak saya lahir, Pak."
"Pantas …." Noe manggut-manggut perlahan.
"Kenapa, Pak?" tanya Raline heran.
"Tidak heran kamu banyak tahu kuliner Indonesia. Selain itu bahasa Indonesia kamu juga sangat fasih dan cara berbicaranya nyaris menyamai penduduk lokal," puji Noe kagum.
"Bahasa Indonesia Bapak juga bagus. Bapak udah lama di sini?" Meski aksen asing Noe masih kentara, tetapi pengucapannya jelas dan mudah dimengerti. Kosakata yang dikuasai pun sangat memadai.
"Sudah beberapa tahun, tapi belum bisa dibilang lama." balas Noe tanpa menyebut pastinya.
"Tapi kok lancar banget, Pak?"
"Belajar bahasanya sudah jauh lebih lama," jawab Noe singkat, lalu langsung mengajukan pertanyaan lain. "Kalau orang tua kamu ada yang berdarah Indonesia?"
"Enggak ada, Pak."
"Tapi lucu melihat kamu sangat lancar berbahasa Indonesia."
"Kan dari lahir dikenalin bahasa Indonesia, Pak. Sekolah juga di sekolah Indonesia." Ungkapan semacam ini sudah sering Raline dengar. Memang banyak yang terheran-heran melihat bule tulen ini lancar berbahasa Indonesia, bahkan bersikap layaknya warga negara asli. Sejak dulu Raline tidak pernah menyombongkan darahnya yang berbeda. Fisiknya boleh asing, tetapi hatinya lokal. "Kalo Bapak, ada keturunan Indonesia?"
Noe terlihat berpikir sesaat sebelum menjawab, seolah tengah mencari jawaban yang tepat.
"Sebentar, ya." Tiba-tiba saja ponsel Noe berdering dan ia langsung menjawab panggilan yang masuk. "Ya?
"..."
"Baik, saya turun sekarang." Cepat-cepat Noe berdiri. "Ral, saya ke bawah dulu, mau ambil makanan."
Sekitar sepuluh menit kemudian Noe kembali membawa makanan pesanan mereka. Keduanya berpindah ke meja makan agar lebih leluasa menyantap makanan mereka.
“Bapak kenapa enggak makan? Enggak suka?” tanya Raline di sela-sela makan.
Noe menggeleng, kemudian tersenyum samar. “Saya senang melihat kamu mau makan.”
“Kalau Bapak suka enggak makanannya?”
“Saya baru pernah coba, tapi cukup enak," jawab Noe jujur. Ia kembali memperhatikan Raline yang malam ini makan dengan lahap. “Ral, usahakan untuk selalu makan dengan teratur setiap hari ya.”
“Iya, Pak.” Dering ponselnya seketika mengganggu konsentrasi Raline. Apalagi ketika ia mengintip layarnya. Panggilan video call dari sosok tidak terduga.
“Kenapa tidak dijawab?” tegur Noe saat menyadari Raline yang terlihat gelisah.
Raline mengangguk canggung. “Sebentar ya, Pak.”
“Silakan.” Noe mengangguk tenang.
Raline langsung menggeser layar ponsel dan sebentuk wajah yang pernah merajai hatinya muncul menyapa. “Hai, Ral!”
“Ka, ada apa?” Raline baru menyadari ada rindu yang masih terasa menggigit hatinya saat berhadapan dengan Kamal. Padahal akhir-akhir ini ia sudah jarang memikirkan Kamal, tidak ada waktu tepatnya karena otak Raline penuh dengan usaha menghindari Noe. Namun, saat bertatapan seperti ini, nyatanya rindu itu masih ada.
“Kamu apa kabar?” sapa Kamal hangat.
“Aku baik," jawab Raline kaku.
“Kamu kapan libur?”
“Kenapa tanya soal itu?” sahut Raline bingung.
“Barangkali kamu ada rencana mau mengunjungi aku.”
“Aku enggak ada libur panjang, Ka. Aku kan kerja, bukan kuliah.”
“Ah, benar juga! Sayang banget," desah Kamal kecewa.
“Kenapa?” tanya Raline tidak mengerti.
“Aku ada tiket tour ke museum-museum bagus di sini. Aku pikir kamu pasti suka. Banyak museum yang dulu kamu mau kunjungi termasuk dalam daftar ini.”
Seketika hati Raline terasa perih. Teringat kembali mimpi mereka dulu. Berkeliling Eropa bersama, mengunjungi museum-museum hebat, membahasnya semalaman tanpa bosan. Nyatanya, itu semua hanya mimpi. Kamal jauh di sana, menggapai semua yang mungkin menjadi mimpi besarnya, sementara Raline tertinggal di sini. Tertinggal bersama sejuta kenangan yang pernah mereka cipta bersama.
“Aku enggak bisa ke sana, Ka. Kamu pergi sendiri aja," ucap Raline sendu. Meski telah berusaha, Raline tidak mampu menutupi kekecewaan dalam suaranya.
“Tiketnya untuk dua orang, Ral,” balas Kamal dengan suara yang terdengar sendu juga. Sepertinya pemuda itu kecewa karena Raline tidak menyambut antusias ajakannya.
“Kalau gitu ajak orang lain aja, Ka. Aku enggak bisa ke sana.” Ada nyeri di sudut hati Raline ketika mengatakannya. Membayangkan Kamal akan mewujudkan mimpi mereka bersama orang lain membuat Raline sedih.
“Baiklah kalau gitu." Kamal mengangguk menyerah. "Semoga nanti kita ada kesempatan buat pergi bersama ya.”
Raline hanya menanggapinya dengan senyum getir, lalu langsung mengakhiri panggilan. Ia tidak ingin berharap banyak. Tidak ingin merangkai mimpi tinggi lagi dengan sosok yang sudah pernah memilih meninggalkannya dengan keputusan sepihak. Raline tidak ingin kecewa lagi dan membuatnya terpuruk lebih dalam.
Setelah panggilan berakhir, Raline terus terdiam. Suasana hatinya yang sudah berubah mendung, tidak bisa kembali baik lagi dalam sekejap.
“Mantan kamu?” tebak Noe hati-hati. Hanya dari cara Raline bersikap juga nada bicara wanita itu, Noe bisa menebak hubungan di antara keduanya.
“Hm.” Raline mengangguk pelan tanpa berani menatap Noe. Ia tidak ingin pria itu membaca lebih jauh suasana hatinya.
“Sepertinya kalian masih berhubungan baik.”
Raline mengembuskan napas perlahan. “Sebenarnya saya sama dia udah hampir enggak pernah kontak, Pak. Ini tiba-tiba aja dia menghubungi.”
Entah mengapa juga ia merasa perlu menjelaskan. Mungkin hanya takut dianggap bodoh karena masih berhubungan baik dengan mantan.
“Sepertinya bukan hanya kamu yang masih menyimpan rasa untuk dia, dia juga begitu pada kamu," ujar Noe menyimpulkan.
Raline hanya terdiam mendengar perkataan Noe. Benarkah dugaan Noe kalau Kamal masih memiliki harap yang sama dengannya? Kalau begitu, bolehkah ia berharap masih ada kesempatan untuk mereka bersama lagi?
Noe bergerak perlahan untuk membereskan bekas makan mereka dalam diam, memberi kesempatan pada Raline untuk memiliki waktunya sendiri. Setelah meja makan kembali rapi, Noe menyentuh bahu Raline sekilas. “Sekarang sudah malam, saya kembali ke unit saya dulu. Kamu istirahat ya.”
“Iya, Pak.” Raline mengangguk kaget. Ia terlalu jauh tenggelam dalam lamunan sampai tidak menyadari apa yang Noe lakukan tadi.
“Kamu butuh sesuatu sebelum saya tinggal?” tanya Noe sambil berjalan menuju pintu.
“Enggak, Pak. Terima kasih.” Raline berdiri dan berjalan mengikuti Noe.
“Kalau begitu saya permisi,” ujar Noe tepat di depan pintu sebelum mereka berpisah.
Namun, saat itu juga tubuh Raline seketika limbung. Lantai yang dipijaknya seolah bergoyang dan Raline kehilangan orientasi.
“Raline! Kamu kenapa?” Noe dengan sigap langsung menangkap tubuh wanita itu sebelum jatuh ke lantai. Digendongnya Raline menuju sofa, kemudian mendudukkannya dengan hati-hati. “Ral, kamu baik-baik saja?”
“Saya gapapa, Pak,” jawab Raline lirih. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak menunjukkan apa yang saat ini dirasa.
“Apa yang kamu rasakan?” Tangan Noe terangkat memeriksa kening Raline.
“Tadi waktu bangun cuma agak pusing dan tiba-tiba gelap aja. Sekarang udah normal lagi, Pak," jawab Raline dengan nada santai agar Noe tidak khawatir lagi.
“Ral, saya jadi khawatir meninggalkan kamu sendiri di sini," desah Noe bingung. Ia tahu kalau Raline berbohong. Bisa dilihat dari wajahnya yang pucat saat ini. Jelas Raline tidak sedang baik-baik saja.
“Saya gapapa, Pak.” Raline menggeleng cepat sambil berusaha menunjukkan senyumnya. “Bapak balik aja.”
“Ral, apa kamu tidak mau memeriksakan diri ke dokter?” tanya Noe khawatir.
“Buat apa, Pak?”
“Pastikan saja kesehatan kamu.”
“Rasanya enggak perlu, Pak," tolak Raline yakin. "Paling cuma kecapekan aja.”
Noe mengangguk meski ia masih tidak yakin. “Istirahat ya, Ral. Kalau butuh sesuatu, jangan segan hubungi saya. Saya pasti akan langsung turun ke sini.”
“Ral! Lo kenapa enggak kunci pintu?!” Tepat sebelum Noe pergi, Diana menerobos masuk ke unit Raline, dan seketika gadis itu melongo. “Eh? Loh? Astaga!”
“Diana, kebetulan sekali kamu di sini," sambut Noe lega.
“Eh, iya …, ada apa, Mas?” tanya Diana kikuk. Pikirnya ia sudah merusak momen kemesraan di antara keduanya.
“Bisa kamu tolong temani Raline malam ini?” pinta Noe.
Kening Diana langsung berkerut. “Emangnya Raline kenapa, Mas?”
“Raline sedang kurang sehat. Tadi tiba-tiba Raline hampir pingsan.”
“Wah, bahaya!” desis Diana kaget.
“Kamu bisa temani Raline?”
“Saya sih bisa-bisa aja, Mas. Tapi Ralinenya mau enggak ditemenin sama saya?” sindir Diana jail.
Noe menoleh sekilas ke arah Raline, lalu kembali menatap Diana dan bertanya dengan nada heran. “Memangnya Raline tidak mau?”
Diana tersenyum penuh arti. “Kali aja Raline maunya ditemenin sama Mas Noe."
Ucapan Diana membuat Noe tersenyum kecil. “Saya tidak keberatan menemani Raline di sini. Saya hanya khawatir kalau penghuni lain akan menggunjingkan Raline. Jadi tolong kamu saja yang temani ya, Na.”