12. Sebuah Dusta Kecil

2562 Kata
“Siap-siap, yuk!” Diana mencolek bahu Raline untuk menarik perhatian wanita itu. Raline segera melepas earphone dan menoleh pada temannya. Dilihatnya rekan-rekan yang lain mulai sibuk merapikan meja dan mengambil tas masing-masing.  “Udah pada mau berangkat ya?” “Iyalah, udah mau jam makan siang ini!” sahut Diana tidak sabar. “Kenapa sih harus meeting di luar?” gerutu Raline pelan. “Kan biar ganti suasana tau! Jadi enggak bosan. Ide mengalir lancar.” “Tau lo!” Rian yang kebetulan melintas dan mendengar percakapan keduanya langsung ikut nimbrung. “Emang lo mau meeting di sini mulu?” “Ya bukan gitu sih. Cuma kaki aku lagi gini. Mau nyetir susah," ujar Raline serba salah. “Halah! Ternyata itu masalahnya!” seru Diana gemas. “Santai aja kali, tinggal nebeng sama yang lain apa susahnya?” “Iya, Ral. Ikut kita aja,” dukung Rian setuju. “Emang kalian naik apa?” tanya Raline cepat. Josh yang juga ikut berhenti di dekat meja Raline langsung ikut menjawab. “Gue sih pake motor, tapi sorry nih gue enggak bisa angkut lo. Si Putri udah booking duluan dari pagi.” “Mas Rian gimana?” tanya Raline pada Rian. “Gue juga pake motor, Ral. Terus si Dani nebeng. Motornya lagi opname dari kemarin.” “Yah …,” desah Raline mulai lemas. “Kalau Mas Iskan?” “Mas Iskan bawa motor juga dan gue bakal nebeng,” jawab Diana posesif. “Tinggal Mbak Sonya dong …,” gumam Raline pelan. “Nah, coba tuh tanya Mbak Sonya!” Josh mengangguk setuju. “Mbak Sonya kan biasanya pake mobil.” “Kenapa sebut-sebut nama gue?” tanya Sonya dari tempat duduknya. “Mbak Sonya nanti berangkat pake mobil?” balas Josh. “Ke The Root?” sahut Sonya. Josh mengangguk cepat. “Yoi!” “Enggak. Gue pake ojol.” “Lah? Kenapa, Mbak?” tanya Rian heran. “Mobil gue lagi dipinjem sama adek gue. Tadi juga ke sini gue dianter sama adek gue,” tutur Sonya. “Emang kenapa?” “Si Ral lagi nyari tumpangan, Mbak,” ujar Diana. Sonya langsung mengernyit bingung. “Mobilnya ke mana?” Semua orang di tim desain tahu kalau Raline berasal dari keluarga berada dan sejak awal bergabung di IDEA wanita itu selalu menggunakan mobil untuk bepergian. Bahkan tidak jarak Raline ditumpangi oleh yang lain. Berbeda dengan anak-anak lain yang kebanyakan berasal dari keluarga biasa saja. Rata-rata mereka hanya memiliki motor sebagai kendaraan pribadi. Untuk urusan sewa unit di East Tower pun, saat yang lain hanya mampu menyewa tipe studio, Raline sanggup mengambil tipe one bedroom. “Mobilnya ada dan baik-baik aja. Kakinya Ral aja yang pengkor, Mbak,” jawab Diana. “Jahat, ih!” protes Raline. Diana terkekeh santai. “Kenyataan, kan?” “Lo coba aja tanya sama Mas Noe, bisa nebeng apa enggak,” usul Sonya tenang. “Harusnya sih bisa ya karena Mas Noe selalu pake mobil setau gue.” Cepat-cepat Raline menggeleng. “Aku naik ojol aja deh, Mbak.” “Lah, kenapa?” celetuk Josh heran. “Mbak Sonya kenapa enggak nebeng Mas Noe aja?” tanya Diana penasaran. “Gue ada urusan dulu, ke The Root rada telat.” “Yah ….” Wajah Raline langsung mendung seketika. Andai harus ikut dengan Noe, tetapi ada Sonya bersamanya, pasti Raline akan merasa lebih baik. Dan sebelum masalah Raline terpecahkan, tiba-tiba saja Noe muncul menghampiri kerumunan mereka. “Kalian sudah mau berangkat?” Rian yang langsung menjawab. “Udah, Mas.” “Nah, kebetulan nih!” seru Josh bersemangat. “Ada apa?” tanya Noe bingung. “Mas Josh!” Raline menggeleng kencang, memberi kode agar Josh tutup mulut. Namun sayang, Noe yang terlanjur curiga kembali bertanya. “Ada apa, Josh?” Josh langsung meringis. Ia lebih takut pada tatapan tenang Noe ketimbang sorot galak milik Raline. “Ral lagi nyari tumpangan, Mas.” “Hm?” Refleks Noe menoleh ke arah Raline yang masih duduk, lalu kembali menatap Josh.  “Saya bonceng Putri, Iskan sama Diana, Rian bawa Dani, Mbak Sonya pake ojol karena mau ada urusan dulu, tinggal Ral yang enggak ada pasangannya,” tutur Josh lengkap. “Saya bawa mobil sendiri aja,” ujar Raline cepat. “Jangan Ral.” Noe langsung menggeleng tidak setuju. “Kaki kamu pasti masih sakit. Ikut saya saja.” “Tuh, Ral! Beres kan masalah!” seru Josh tanpa dosa. “Kalau begitu kita berangkat sekarang?” tanya Noe. “Siap, Mas!” sahut mereka kompak kecuali Raline. “Ral, kamu bisa jalan ke bawah?” tanya Noe saat memperhatikan gerakan Raline yang terlihat masih kaku. “Bisa, bisa, Mas!” cepat-cepat Raline menjawab panik dan melesat meninggalkan Noe sebelum pria itu membantunya berjalan, entah dengan menggendong seperti kemarin-kemarin atau menuntunnya. Keduanya tidak ada yang baik bagi Raline. “Hati-hati, Ral!” tegur Noe saat melihat langkah Raline yang terburu. Namun, wanita itu seolah tidak peduli. Noe hanya bisa menggeleng pelan dan berusaha mengejar langkahnya. Raline semakin gelisah melihat anak-anak lain sudah jauh di depan dan ia tertinggal berdua dengan Noe saja. Segera ia berusaha mengejar mereka.  “Awas!” Noe menangkap tubuh Raline yang hampir terjatuh. “Kenapa terburu-buru begitu? Pelan-pelan saja, Ral.” Raline malu setengah mati. Sudah berusaha keras menghindar dari Noe, sekarang ia malah jatuh ke pelukan pria itu. Benar-benar konyol. Akhirnya Raline menyerah, ia tidak berusaha mengejar yang lain lagi dan hanya berjalan normal semampu kakinya. “Kaki kamu sudah terasa lebih baik hari ini?” tanya Noe saat mereka sudah berada di dalam mobil.  “Udah, Pak.” “Masih bengkak?” “Hm …, kayaknya udah enggak, Pak.” “Perbannya belum dibuka, ya?” tanya Noe dengan nada yakin. “Iya.” Melihat senyum samar di wajah atasannya, Raline jadi malu sendiri. Sedemikian tidak bisanya ia mengurus diri sendiri. “Nanti saya periksa, ya,” ujar Noe hangat. “Enggak usah, Pak,” tolak Raline sungkan. Sejak Jumat kemarin, Raline rasanya serba salah setiap kali Noe mengurusinya. Bahkan kalau diingat-ingat, sebelum kejadian kakinya cedera pun interaksi mereka sudah terlalu intens sepekan terakhir, dan sialnya Raline selalu gagal menghindar. Ada saja hal yang membuatnya terjebak bersama Noe dan tidak bisa melarikan diri.  “Tidak boleh dibiarkan, Ral. Harus diperiksa dan dipastikan kondisinya.” Mendengar nada tegas dalam suara Noe, Raline tidak mendebatnya lagi. Sepanjang perjalanan menuju The Roof, cafe tempat mereka akan melakukan meeting, Raline lebih banyak diam dan hanya bicara jika ditanya saja. “Ehem …, yang abis berduaan lagi,” goda Diana saat Raline sudah tiba di The Roof dan sedang duduk sendirian sementara yang lain sedang sibuk berfoto-foto. Melihat kedatangan Diana, Raline diam saja. “Buset, Ral!” Diana memprotes sambil mencolek pipi wanita itu dari belakang. “Itu muka judes amat.” Namun, Raline tetap diam. Sama sekali tidak berniat menanggapi candaan temannya saat ini. Melihat Raline yang masih bungkam juga, Diana mulai dilanda kecemasan. Perlahan ia menarik kursi di sebelah Raline dan duduk hati-hati. Diguncangnya perlahan lengan Raline. “Ral, ngomong dong! Diem aja lo.” Raline hanya menatap sekilas, lalu membuang pandang ke arah lain. “Ral, lo marah sama gue?” Diana kini sudah benar-benar senewen karena sikap Raline. “Sebel, Na. Lo jahat banget.” Akhirnya Raline mau bersuara juga. “Udah tau gue enggak nyaman berduaan sama dia, lo malah gitu.” "Gitu gimana?" tanya Diana bingung. Raline mendelik kesal. "Enggak usah berlagak polos, Na." “Emang gue ngapain, Ral?” Diana semakin keheranan. "Lo kenapa enggak temenin gue naik mobilnya Pak Noe?" tanya Diana ketus. "Kan gue mau bareng sama Iskan," jawab Diana apa adanya. "Terus tadi juga pas mau turun, lo langsung kabur gitu aja. Bukannya tungguin gue dulu." "Hah?” Seketika Diana melongo. “Emang salah?" "Gue kan jalannya susah, Na,” keluh Raline jengkel. Kalau bukan karena mengejar Diana, ia pasti tidak akan nyaris jatuh dan berakhir dirangkul Noe. “Tadi pagi aja lo yang bantuin gue. Ini malah ditinggal gitu aja." "Ya maaf deh” ujar Diana tanpa benar-benar menyesal. “Kan gue kira udah ada Mas Noe." "Ya itu masalahnya!” desis Raline gemas. “Bukannya temenin gue, malah biarin gue terjebak sama dia. Jahat lo!" "Ya elah, Ral. Maaf deh," bujuk Diana geli. "Tau, ah! Sebel!" Sebenarnya Raline juga tidak terlalu menyalahkan Diana karena ia paham sekali bagaimana senangnya gadis itu bisa dekat dengan Iskan setelah sekian lama hanya jadi pemuja rahasia. Hanya saja, Raline dongkol dengan nasibnya sendiri. "Jangan marah dong!" bujuk Diana lagi. Raline melirik tajam ke arah Diana. "Ral …." Diana menggoyang-goyangkan lengan Raline agar wanita itu menjawabnya. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala Raline dan ia tersenyum senang. "Gue enggak marah asal lo duduk di sebelah gue." "Yah, gue kan pengin duduk deket Iskan,” rengek Diana. "Tuh, kan! Jahat aja terus." "Oke, oke!” Cepat-cepat Diana menuruti keinginan Raline. “Gue pindah deket lo. Tapi sebelah lo yang satu lagi kan bisa aja diisi sama dia."  “Ajak Mbak Putri duduk sini juga,” pinta Raline seenaknya. “Dasar lo!” desis Diana gemas, tetapi diturutinya juga keinginan temannya itu. "Ya udah, gue ambil tas dulu." Setelah semua menduduki tempat masing-masing dan meeting dimulai, perlahan buku menu diedarkan agar mereka bisa sambil memilih pesanan. "Mau pesen makan apa nih?" bisik Diana sambil menunjukkan buku menu pada Raline dan Putri. "Bingung. Kalian dulu aja deh," ujar Raline. Setelah menit-menit berlalu, Raline tetap belum bisa memutuskan apa yang akan dipesannya.  "Ral, lo mau apa?" bisik Diana tidak sabar karena buku menu harus diedarkan pada yang lain. "Tinggal lo yang belum nih." "Gue enggak tau." "Samain aja kayak gue mau?" usul Diana. "Lo pesen apa?" "Gue sih chicken marinara." "Pakai pasta?" "Hm." Raline langsung bergidik membayangkan gurihnya pasta. "Enggak deh, lagi enggak pengin western." "Samain kayak aku aja, mau?" Gantian Putri yang memberi usul. "Mbak Putri pesen apa?" "Sup ikan nila kemangi." "Ew ….” Raline kembali bergidik membayangkan rasa ikan di lidahnya, apalagi dalam bentuk kuah. “Enggak deh, makasih." "Terus lo mau apa dong?" desak Diana. "Gue minum aja deh," putus Raline. "Enggak bisa! Lo harus makan!” ujar Diana galak. “Belakangan ini lo susah banget makan. Jangan dibiasain." "Habisnya bingung. Gue lagi enggak selera makan apa-apa." "Aku sih kalo lagi enggak enak makan, biasanya cari yang berkuah, dimakan hangat-hangat, kalo bisa yang asam pedas gitu," saran Putri. "Kayaknya boleh juga." Raline mengangguk setuju. “Nah, coba tuh cari! Di sini ada enggak yang kayak gitu.” Diana segera membalik-balik lagi halaman buku menu. “Garang asem mau, Ral?” tawar Putri. “Enak, Mbak?” Putri langsung mengangguk. “Kalo kata aku sih enak. Seger gitu.” “Boleh deh,” putus Raline akhirnya. “Mau ayam atau sapi?” tanya Putri. “Sapi aja, Mbak.” Namun, meski sudah memutuskan menu, tidak berarti Raline benar-benar lancar memakannya. Saat piring rekan-rekannya sudah kosong setengah atau bahkan tandas, piring Raline masih terisi penuh. “Oi, itu makanan dimakan, masukin ke mulut!” Tiba-tiba saja Diana menyikut Raline. Gemas melihat wanita itu hanya memegangi sendoknya saja sejak tadi. “Bukannya dipelototin doang dari tadi.” “Iya, Ral. Kok enggak dimakan?” tegur Putri. “Enggak selera, Mbak.” “Enggak enak?” tanya Putri heran. Padahal aroma garang asem di depan Raline begitu menggoda menurut Putri. “Mungkin enak sih, cuma lidah aku aja yang hambar,” ujar Raline pasrah. “Terus ini makanan mau diapain dong?” tanya Diana gemas. “Lo mau?”  “Gila aja!” tolak Diana cepat. “Kenyang gue.” “Coba oper ke Mas Josh gitu?” usul Raline. “Kalo dia sih jelas mau. Apa aja juga diembat sama dia,” jawab Diana keki. “Ya udah tolong operin deh,” pinta Raline penuh harap. “Kamu enggak makan apa-apa dong?” tanya Putri khawatir. “Aku mau pesan jus aja, Mbak.” Putri mengamati wajah Raline yang terlihat sedikit pucat. “Kamu sakit ya?” “Enggak, Mbak. Cuma lagi males makan aja,” sahut Raline cepat. Ia tidak ingin ada yang tahu kalau saat ini badannya terasa kacau. Sejak di jalan tadi sebenarnya sudah mulai terasa. Kepalanya pening, perutnya mual, dan keringat dingin membasahi tengkuknya. Namun, ia tidak ingin menimbulkan keributan di sini. “Oh iya, Mbak! Mau tanya boleh.” “Tanya apa?” balas Putri sambil mengangguk santai. “Mbak nanti balik ke IDEA ikut Mas Josh lagi?” “Rencananya gitu.” Perlahan Raline menatap penuh harap pada Putri. “Kalau aku minta tukeran boleh enggak, Mbak?” Kening Putri langsung berkerut. “Tukeran maksudnya?” “Aku ikut Mas Josh, Mbak Putri sama Pak Noe.” Putri manggut-manggut perlahan. “Aku sih enggak masalah. Tapi emangnya kenapa?” “Aku agak mabuk tadi di mobil.” “Loh?” “Mungkin karena biasa nyetir, Mbak. Giliran duduk doang jadi penumpang, langsung mabuk darat deh.” Apa yang Raline katakan ini setengah benar, setengah dusta. Benar kalau ia merasa pusing di mobil tadi, tetapi bukan karena mabuk darat. Benar ia ingin naik motor, tetapi bukan supaya tidak mabuk, melainkan karena tidak ingin berduaan lagi dengan Noe. “Jadi kamu mau ikut naik motor?” “Kalau boleh sih.” Raline mengangguk penuh harap. “Boleh aja,” sahut Putri santai. “Tapi Mbak Putri sama Mas Josh enggak ada sesuatu, kan?” tanya Raline hati-hati. “Sesuatu gimana?” “Pendekatan gitu maksudnya.” “Ya enggaklah, Ral.” Putri langsung tersenyum geli. “Aku sama Josh cuma teman kuliah aja. Kita enggak ada niat lebih. Frekuensinya juga beda. Josh seneng perempuan yang suka dandan, aku cuek banget sama penampilan. Aku suka cowok yang serius, sementara Josh kamu tau sendiri, nyinyir banget mulutnya.” “Heh, lo sembarangan ganti tumpangan pulang, emang udah bilang ke Mas Noe?” tegur Diana yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. “Emang harus bilang?” balas Raline berlagak bodoh. “Ya bilanglah!” desis Diana galak. “Lo kan dibawa ke sini sama dia, masa pulang main kabur aja.” Jadilah ketika sore itu meeting mereka berakhir, Raline segera mendekati Josh dan berbisik penuh harap,  “Mas, saya ikut motor Mas Josh boleh?” “Bolehlah!” sahut Josh ceria. “Putri juga udah bilang kok.” “Makasih ya, Mas.” Raline tersenyum manis penuh kelegaan. Setidaknya, ia bisa menghindar dari Noe sore ini. “Nyantai. Gue sih senang-senang aja boncengin cewek cantik, mana wangi lagi,” canada Josh seenaknya. “Awas! Jangan modus!” tegur Diana yang baru menghampiri. “Modus dikit sih halal,” balas Josh cuek. “Lo udah bilang Pak Noe?” ujar Diana mengingatkan. “Belum.” Diana langsung mendelik galak. “Bilang dulu sana!” Akhirnya, dengan sangat terpaksa Raline menghampiri Noe yang baru saja menyelesaikan urusan pembayaran di kasir. “Pak, saya pulangnya ikut sama Mas Josh ya,” ujar Raline hati-hati. Noe tidak menunjukkan tanda terkejut atau tersinggung, pria itu hanya menanggapi dengan tenang. “Kalau kamu ikut dengan Josh, Putri bagaimana?” “Mbak Putri tukeran naik mobil Bapak. Boleh?” Perlahan senyum samar tampak di wajah Noe. “Kenapa kamu tidak ikut saya, Ral?” “Saya mabuk kelamaan di mobil, Pak. Kalau naik motor enggak, mungkin karena kena udara segar,” ujar Raline tanpa berani menatap mata Noe. Dalam hati wanita itu berharap dusta kecilnya tidak akan ketahuan. “Ya sudah. Kalau begitu hati-hati.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN