5. Otak Vs Hati

2018 Kata
Kisah manis di antara Raline dan Kamal terus bertahan selama lima tahun hingga keduanya sama-sama menyelesaikan kuliah, bahkan wisuda di saat bersamaan. Rasanya, sulit menemukan cerita sesempurna milik mereka yang mampu membuat orang lain iri karenanya. Namun, sebuah kesempurnaan itu memang seyogiyanya tidak nyata bagi manusia. Pada akhirnya, kisah indah itu harus kandas juga. Sore itu, setelah seharian menghabiskan waktu bersenang-senang berdua, Kamal mengantar Raline pulang. Satu minggu terakhir memang Kamal banyak menghabiskan waktu untuk menemani Raline, alasannya karena selama empat tahun terakhir mereka sibuk menyelesaikan kuliah. Kini, mereka harus memanfaatkan waktu bersantai yang tersisa sebelum memasuki dunia kerja. "Ral, ada yang mau aku omongin sama kamu," ujar Kamal saat mereka tengah duduk berdua di halaman belakang rumah Raline.  "Soal apa? Kok, muka kamu serius banget." Perasaan tidak enak segera menyerang Raline. "Aku mau lanjut studi, Ral," bisik Kamal lirih. "Wah, keren!” Sejujurnya Raline terkejut. Kamal tidak pernah membahas ini sebelumnya, karena rencana terakhir mereka adalah mengajukan lamaran kerja bersama ke IDEA. “Tapi …, enggak jadi kerja?" "Selesai S2 aku kerja." "Udah coba daftar?" "Aku udah diterima, Ral." "Wah! Selamat, Ka!" Lagi, Raline terkejut. Namun, ia berusaha terdengar biasa saja, bahkan bersemangat. Bukankah keputusan baik harus didukung? "Kapan mulai kuliah?" "Semester depan." "Kamu lanjut di mana?" "University of Birmingham." Tunggu! Kejutan ini terdengar semakin sulit diterima.  "England …?" ujar Raline seperti tercekik. "Hm." Kamal terlihat salah tingkah dan serba salah ketika mengangguk.  "Berapa lama?" Raline mulai kesulitan menyembunyikan kegundahannya. "Normalnya dua tahun. Kalau ada kendala mungkin bisa sampai tiga tahun." Sejak tadi Kamal menjawab tanpa berani menantang mata Raline. "Kapan kamu berangkat?" "Dua minggu lagi." "Secepat itu?" Kini kepala Raline mulai terasa pening. Bagaimana bisa Kamal tiba-tiba saja akan melanjutkan studi ke luar negeri tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya?  "Semua udah siap, Ral." "Jadi …, gimana dengan kita, Ka?" Raline gamang. Bagaimana dengan hubungan mereka? "Aku sendiri bingung, Ral." Kamal menggeleng putus asa. "Kenapa kamu enggak pernah bilang apa-apa sebelumnya soal ini?" Pertanyaan yang sejak tadi coba Raline tahan, akhirnya terlontar begitu saja. "Karena awalnya aku sendiri enggak yakin. Tiba-tiba ada sponsor yang kasih tawaran buat aku ambil studi lanjut, tapi persyaratannya berat. Makanya aku cuma coba apply, tapi enggak berharap banyak. Ternyata aku kepilih."  "Kapan pertama kamu dapat tawaran?" "Dua tahun lalu." Dua tahun dan Kamal tidak pernah membahasnya. "Dan kapan kamu dapat jawaban pasti?" "Delapan bulan lalu." Delapan bulan dan Kamal bungkam hingga waktu tinggal tersisa dua minggu. Salahkah jika Raline merasa kecewa? Berlebihankah jika Raline merasa diabaikan? Atau malah parahnya lagi merasa dikhianati. "Terus kenapa kamu baru bilang sekarang sama aku, Ka? Kenapa kamu enggak cerita apa-apa sama aku? Kamu bilang aku ini tempat kamu berbagi. Kenapa enggak minta pendapat aku sejak awal dan malah lebih milih simpan semua sendiri, Ka? Bahkan kamu buat keputusan sendiri tanpa mempertimbangkan aku." Raline tidak mampu menyembunyikan nada kecewa dalam suaranya. Sekuat tenaga ia tahan, tetapi gagal. "Aku takut kamu enggak dukung keinginan aku," ujar Kamal. "Aku rasa ini peluang bagus untuk aku. Kesempatan kayak gini belum tentu datang dua kali." "Kamu pikir aku bakal menghalangi kamu, gitu?" tanya Raline tidak percaya. Ke mana perginya semua rasa percaya yang selama ini mereka agung-agungkan? Kamal terdiam. Selama ini memang itu yang ia pikirkan.  Raline menggeleng sedih. "Ka, aku kecewa." "Kamu ngerasa dibohongi?" "Aku kecewa bukan karena ngerasa dibohongi, Ka. Aku kecewa karena ketidakpercayaan kamu sama aku. Itu lebih nyakitin, Ka. Sekian lama kita sama-sama, tapi kamu enggak kenal aku. Mana mungkin aku halangi mimpi kamu, Ka? Kapan aku pernah gitu?" "Sikap kamu sekarang udah nunjukin semua, Ral." Kamal yang merasa terpojok, kini mulai bersikap defensif. "Kamu pikir sikap aku sekarang ini lagi menghalangi kamu?" tanya Raline heran. Bagian mana dari perkataannya yang menyatakan ia menghalangi kepergian Kamal? "Kamu memberatkan aku." Dan kini Kamal mulai menimpakan kesalahan pada Raline. Harus Raline akui, ia memang tidak menerima kabar ini dengan sukacita. Namun, jika saja Kamal menyampaikannya jauh lebih cepat. Hingga yang terjadi, mereka mulai saling menyalahkan. "Andai kamu bilang lebih cepat, aku masih punya banyak waktu untuk mikir harus gimana. Tapi kamu bilang saat kamu akan berangkat dua minggu lagi. Aku bisa apa, Ka?" "Kalau kamu tau lebih cepat, memang kamu mau apa?" "Aku bisa apply untuk kuliah bareng kamu, Ka." Kamal tertegun. Mengapa hal itu tidak pernah terlintas dalam benaknya selama dua tahun terakhir? "Apa kemungkinan itu enggak pernah terpikir sama kamu?" tebak Raline. Raut wajah Kamal sudah menggambarkannya dengan jelas dan Raline terluka. Terluka oleh ketidakpercayaan dari orang yang sangat ia percayai. Terluka karena anggapan Kamal tentang dirinya terlalu dangkal. "Kalau begitu kamu bisa susul aku," ujar Kamal.  Raline tersenyum sumbang. "Setelah tahu pemikiran kamu tentang aku, rasanya aku enggak berminat nyusul kamu, Ka." "Jadi kamu mau kita gimana?" tanya Kamal putus asa. "End up," ujar Raline tegas. "Kamu serius?" Kamal sudah tahu kemungkinan ini akan terjadi.  Kamal tahu Raline sangat benci ditinggalkan. Raline tidak ingin menjalin hubungan jarak jauh. Itulah salah satu alasan Raline menjatuhkan pilihan pada Kamal Ekadanta, seorang pemuda asli Indonesia yang sangat kontras dengan si gadis bule. Raline sama sekali tidak memiliki darah Indonesia, tapi dia lahir dan besar di sini. Dia mencintai negeri ini seolah memang jiwanya berasal dari tanah yang dipijaknya kini. Itulah alasan Raline tidak ingin berpacaran dengan sesama pendatang seperti dirinya, karena pemuda-pemuda asing itu biasanya tidak menetap lama di Indonesia. Raline lebih memilih pemuda lokal yang tidak akan pernah pergi jauh dari tanah ini. "Itu jalan terbaik," ucap Raline tenang. "Kenapa enggak kita coba untuk jalani LDR?" Bodoh! Jelas Kamal tahu Raline tidak akan mau. Raline menggeleng tenang. "Andai kamu tanyakan ini berbulan-bulan yang lalu, Ka." "Pertimbangan aku, kamu itu pernah bilang enggak siap berhubungan jarak jauh, kamu takut ditinggal." "Kamu tahu itu dan tetap kamu lakukan. Bahkan hebatnya kamu kasih tau saat semua udah semepet ini." Raline tersenyum miris. Pemikiran Raline mungkin kekanakan dan konyol. Dulu, ia menjatuhkan pilihannya pada Kamal dengan pikiran agar tidak pernah perlu menjalani LDR jika kekasih bulenya kembali ke negara asal. Namun kini, kekasih lokalnya yang ia pikir tidak akan pernah ke mana-mana malah meninggalkannya ke luar negeri. Tapi tenang, Raline tidak akan menghalangi kepergian Kamal. Ia tidak sepicik itu. "Ral, aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Tapi aku sayang kamu, Ral. Aku enggak mau kita berakhir begini." "Kamu pikir aku mau?" "Jadi bisa kita tetap coba bersama?" "Ka, saat kita sama-sama setiap hari aja, rasa percaya itu enggak ada. Gimana saat kita berjauhan, Ka?" tanya Raline sedih. "Apalagi setelah semua ini. Gimana aku bisa percaya kamu yang jauh di sana setiap kali aku ingat waktu kita dekat aja kamu bisa menyembunyikan hal sebesar ini dari aku sekian lama." "Jadi kita benar-benar berakhir, Ral?" "Untuk saat ini ya." "Kalau gitu ada harapan untuk nanti?" "Aku enggak tahu. Kita jalani aja hidup kita masing-masing. Kalau suatu saat Tuhan pertemukan lagi dalam keadaan berbeda dan rasa ini masih sama, aku mungkin bersedia mencoba lagi." Raline mencoba berpikir bijak dan realistis. "Boleh kalau aku tetap kontak kamu?" tanya Kamal penuh harap. "Putus bukan berarti jadi musuh, Ka."  "Boleh aku tetap care sama kamu?" "Kita lihat aja apa kamu akan tetap care sama aku setelah ada di sana dengan dunia baru kamu." . "Ikut gue, yuk!" Tepukan Diana di pundak Raline menyadarkan gadis itu dari lamunan panjangnya tentang Kamal. Untuk beberapa saat, Raline kebingungan. Dirinya melamun terlalu lama hingga tidak sadar jika ruang kerja sudah sepi. "Yang lain pada ke mana?" “Udah pada balik.” “Hah?” Raline melongo. Rasanya tadi masih siang. “Udah sore ini!” ujar Diana gemas. “Ngelamun aja sih!” “Tadi lo ajak ikut ke mana?”  "Cari hiburan." "Males, ah!" tolak Raline cepat. Suasana hatinya sedang tidak dalam kondisi baik untuk bersenang-senang. Semua gara-gara hadiah ulang tahun kiriman dari Kamal. "Ayo! Muka lo suntuk banget sejak video call dari si Kamal tadi." Disebut lagi nama itu membuat Raline makin muram. "Cari hiburan di mana, sih?" "Udah ikut aja! Jangan banyak tanya!" Diana menarik tangan Raline dan memaksa gadis itu berdiri. Diana sendiri yang mematikan komputer Raline sebelum gadis itu banyak beralasan lagi. Setelahnya, Diana menyeret Raline turun.  Namun, bukannya menuju lantai satu, Diana malah membawa Raline ke lantai 4 tepatnya ke ruang rekreasi yang biasa digunakan oleh para karyawan di IDEA untuk refreshing, entah untuk sekadar main game bersama, karaoke, dance, pokoknya apa saja yang bisa membuat pikiran kembali lancar. Begitu pintu ruangan terbuka, teriakan dari dalam menyambut kedatangan Raline. "SURPRISE!" "HAPPY BIRTHDAY!" Raline melongo. Tidak mengira dirinya akan mendapat perlakuan manis seperti ini padahal bekerja di IDEA saja belum sampai enam bulan. Seperti umumnya perayaan ulang tahun yang biasa dijumpai, demikian juga yang Raline dapatkan petang ini. Ada kue ulang tahun dengan lilin dinyalakan di atasnya, rekan-rekan kerja yang bernyanyi dan memberi selamat, juga hidangan lezat tersedia.  Setelah rangkaian prosesi terlewati, kini saatnya bersenang-senang menikmati kudapan sambil berbincang, dan Raline memutuskan menyeret Diana duduk di sudut yang sedikit sepi. Ia perlu bertanya untuk mengatasi rasa penasaran yang sejak tadi melanda. "Ini tradisi juga di sini?" "Tradisi apaan?" balas Diana tidak paham. "Dirayain kalo ada yang ultah?" "Enggaklah!" Seketika Diana tergelak. "Ini idenya Mas Noe. Khusus buat lo." Raline mendelik gusar lalu mengomeli Diana. "Enggak usah sembarangan!" "Gue serius. Sebelumnya enggak pernah," usai menjawab, Diana bersiap bangkit.  "Mau ke mana?" cegah Raline cepat. Ditahannya tangan Diana agar tidak bisa pergi. “Cari makan, laper gue!” Diana memegangi perutnya. “Tapi itu ada ….” Raline melirik ke arah Noe yang berjalan mendekat ke arah mereka. “Justru karena ada beliau juga makanya gue mesti pergi.” "Temenin gue, dong!" pinta Raline memelas dan memaksa. Diana menggeleng kejam. Ia melepaskan cengkeraman tangan Raline lalu tersenyum manis. "Nanti gue balik lagi." “Na, jangan gitu, dong!” protes Raline panik karena Noe sudah semakin mendekat. “Bye!” Diana melambai tanpa perasaan. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia teringat sesuatu. Disambarnya gelas di tangan Raline. "Jangan minum!" "Kenapa, sih? Takut gue mabok lagi?" tanya Raline sebal.  "Bukan." Diana menatap Raline sok bijak. "Terus?" "Kalo lo hamil, alkohol enggak bagus buat janin." Diana mengangguk tenang lalu berjalan santai. "NA!" seru Raline tertahan. Diana menoleh sekilas kemudian mengedipkan mata dan melambai jail. "Selamat ulang tahun, Raline." Tanpa permisi, Noe sudah duduk di sebelah Raline. Tidak terlalu dekat, tapi tidak jauh juga. Jika Raline duduk di sudut kiri sofa, maka Noe di sudut kanan. Ada jeda di tengah, tapi pasti tidak akan ada yang menduduki. "Terima kasih, Pak." Raline menjawab kikuk. "Saya berdoa yang terbaik untuk kehidupan kamu,” ujar Noe tulus. Tidak banyak kata-kata, tidak panjang kalimatnya, hanya mendoakan yang terbaik, karena toh mereka memang tidak terlalu saling mengenal hingga Noe tidak tahu banyak apa yang Raline inginkan dan impikan di hari ulang tahunnya. "Terima kasih, Pak." Lagi Raline menjawab. "Saya dengar dari yang lain kalau suasana hati kamu buruk sejak menerima video call dari mantan, karena itu saya terpikir untuk sedikit menghibur kamu. Saya harap kamu suka." "Terima kasih, Pak." Entah harus terharu atau terganggu dengan perhatian Noe ini, Raline tidak bisa memutuskan. Lama keduanya duduk bersama dalam hening, hingga Noe kembali mengajak bicara. "Ral …," panggil Noe pelan sambil memandangi Raline dari samping. "Muka kamu sendu. Kamu sedih lagi?" Raline menoleh ke samping untuk menemukan mata teduh Noe yang penuh rasa ingin tahu. "Ingat mantan kamu?" tanya Noe lagi. Raline mengembuskan napas lelah dan tanpa sadar menjawab apa adanya. "Susah lupa, Pak. Maunya enggak diingat, tapi ingat sendiri." Noe mengangguk paham kemudian tersenyum kecil. "Itu wajar, Ral. Otak manusia dirancang untuk membuat perintah, tapi hati kita dirancang untuk membantahnya. Jadi semakin keras otak kamu berusaha melupakan dia, hati kamu semakin tidak bisa." Raline menyimak perkataan Noe baik-baik. Kata-kata yang terasa menenangkan, tidak menghakimi, tidak juga memihak. "Jadi yang terbaik, relakan pelan-pelan. Berdamai dengan perasaan kamu yang masih sering merindukan dia. Izinkan otak kamu sesekali mengingatnya. Maafkan hati kamu yang masih menyimpan rasa untuk dia. Perlahan, tanpa kamu sadari, semua sudah berlalu.” Ucapan Noe membuat Raline termangu, tapi setiap katanya ia resapi. Jika selama ini semua orang yang tahu masalahnya sibuk menyuruh Raline melupakan Kamal, tidak demikian dengan Noe. Baru kali ini ada orang yang mengatakan padanya jika yang ia lakukan adalah wajar. Jika mengingat dan merindu tidaklah salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN