"Ral ….” Diana mengetuk meja kerja Raline.
Raline menoleh ke meja Diana yang berada tepat di sebelahnya. “Ya?”
“Udah siap buat meeting siang ini?"
"Yang mau bahas event akhir tahun, kan?"
"Iya."
"Emang harus siap-siap?" tanya Raline bingung. Ia diberi tahu kalau meeting tim desainer di IDEA katanya selalu santai dan jauh dari kesan serius. Sama sekali tidak menegangkan dan membuat takut. Jadi Raline bingung dengan pertanyaan Diana barusan.
"Maksud gue, bahan lo udah siap apa belum?"
"Udah, kok. Kan udah harus masuk dari dua hari lalu." Bahan yang Diana tanyakan adalah kartu-kartu ide yang harus mereka isi tentang usulan acara untuk rangkaian event akhir tahun.
Kebersamaan di IDEA memang patut diacungi jempol. Urusan event tidak hanya jadi bagian tim promosi saja, melainkan semua tim. Setiap divisi yang ada di IDEA boleh menyumbangkan ide, tidak terkecuali mereka sebagai tim desainer juga diberi kesempatan ikut berpartisipasi.
"Iya gue juga tau. Tapi kan hari ini bakal ditanya-tanya. Lo siap?" Entah mengapa sejak pagi Diana merasa gelisah memikirkan meeting siang ini.
"Siap enggak siap, enggak ada pilihan, Na. Mau enggak mau ya harus siap," ujar Raline tenang.
Diana berdecak sebal kemudian menyindir Raline. "Enaknya yang otak encer."
Raline menggeleng heran. "Lo udah lebih senior di sini, Na. Harusnya gue yang ketakutan mau ikut meeting event besar buat pertama kalinya."
"Gue emang udah lebih lama di sini, tapi rancangan gue belum pernah ada yang tembus, malah dipertanyakan terus karena banyak kekurangan. Kalo lo kan detail banget, Ral." Jangan pikir Diana iri. Gadis itu juga sadar kalau setiap orang punya kelebihan masing-masing. Ada yang mampu jadi pencetus ide, ada yang hanya jadi pelaksana. Dan Diana sadar kapasitasnya kurang mumpuni untuk jadi pemberi ide. Hanya saja kalau bertemu dengan semua tim dalam acara meeting, Diana selalu gelisah.
"Udah, jangan terlalu dibawa pikiran, Na.” Raline tersenyum menenangkan. “Kita enggak akan kena pecat cuma gara-gara rancangannya enggak diterima, kan?"
"Iya, sih." Akhirnya Dian manggut-manggut sambil mensugesti dirinya sendiri agar tidak panik lagi.
"Meetingnya sekalian lunch kan ya?" ujar Raline memastikan.
"Iya."
"Kalo gitu masih ada waktu. Gue mau beresin display pantry terbaru dulu ya." Raline segera memakai kembali earphone yang tadi dilepasnya ketika Diana mengajak bicara. Wanita itu sibuk menekuni layar komputernya, menyiapkan rancangan terbaru untuk salah satu display pantry di lantai 2 IDEA. Raline sampai tidak sadar jika satu setengah jam telah berlalu dan sudah tiba waktunya untuk meeting.
Raline merasakan earphonenya dilepas paksa dan melihat Diana telah berdiri di sisinya.
"Ral, ayo!" ajak Diana tidak sabar.
"Hm?"
"Udah diminta kumpul." Diana menunjuk ke bawah, maksudnya ruang meeting kecil di lantai 4, satu lantai di bawah mereka.
“Oke.” Raline segera merapikan data di komputernya, mengambil ponsel, agenda, dan botol minum untuk dibawa ke ruang meeting.
Keduanya berjalan bersama menuju lantai empat, menuruni tangga bersama para tim desainer lainnya. Tiba di ruang meeting, baru beberapa langkah berjalan, Raline langsung menahan langkah Diana.
"Na, duduk sini aja.” Ditepuknya salah satu kursi yang berada di jajaran tengah dari sekian banyak kursi yang berderet mengelilingi meja panjang di tengah ruangan.
Diana mengernyit bingung. "Kenapa?"
"Pengin aja."
"Tumben. Biasanya paling enggak suka duduk tengah, carinya ujung terus."
"Lagi pengin aja di tengah." Tanpa menunggu lagi, Raline langsung menarik salah satu kursi lalu mendudukinya.
Tidak sampai lima menit kemudian, kursi di seberang Raline terisi oleh sosok yang sedang berusaha ia hindari terus. Persisnya, tepat di seberang Raline.
Diana segera mencondongkan tubuh ke samping lalu berbisik sepelan mungkin. "Lo janjian sama Mas Noe buat duduk di tengah?"
Raline menoleh lalu mendelik tidak percaya. Tidak tahukah temannya ini kalau Raline menghindari duduk di ujung karena biasanya Noe senang duduk di ujung. Ternyata, hari ini pria itu malah ikut-ikutan memilih duduk di tengah juga seperti dirinya.
"Yang ada gue duduk di sini biar jauh dari dia. Eh, dia malah di sini juga," bisik Raline gusar.
Usai berbisik-bisik dengan Diana, pandangan Raline beradu dengan Noe yang terlihat tidak canggung sama sekali meski mereka kini tengah berpandangan. Sementara Raline? Ia sudah berkeringat dingin dan salah tingkah.
"Selamat siang semua!” Noe menyapa ramah saat melihat semua personil tim desainer sudah berkumpul. “Sudah siap untuk pembahasan event akhir tahun?"
"Siap, Mas!"
"Siap, Pak!"
"Siap banget!"
Jawaban beragam terdengar merespon ucapan Noe. Mereka yang sudah senior rata-rata memanggil Noe dengan sebutan ‘mas’, sementara yang masih baru ada yang memanggil ‘pak’. Namun, Noe sendiri tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Hal terpenting bagi Noe adalah tanggung jawab timnya atas pekerjaan mereka.
"Semuanya santai saja. Tidak perlu tegang, tidak perlu gugup. Kita obrol-obrol biasa saja. Kalian bisa sambil makan. Makanannya akan datang sebentar lagi," ujar Noe hangat. "Saya akan mulai ya."
Noe berdiri perlahan lalu mulai membuka meeting siang itu.
"Seperti yang sudah biasa kita lakukan, setiap akhir tahun akan ada event khusus yang kita gelar di IDEA. Untuk tahun ini, sudah ditetapkan mulai dari tanggal 5 Desember hingga 7 Januari. Puncak eventnya sendiri akan jatuh di tanggal 24 hingga 31 Desember."
Tanpa Raline sadari, setiap gerak-gerik Noe tidak luput dari pandangannya. Cara pria itu bergerak juga berbicara, membuat Raline salah tingkah. Pikirannya selalu melayang ke pagi itu, saat dirinya terbangun dalam pelukan Noe dan mendengar suara lembutnya tepat di dekat telinga.
"Sebelum kita bahas mengenai event yang akan diadakan, saya mau mendata dulu siapa saja yang akan mengambil cuti di akhir tahun?" Noe berjalan ke arah kaca besar yang biasa dijadikan media untuk mencorat-coret saat meeting. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dan mendapati dua tangan terangkat ke atas. "Hanya Rian dan Sonya?"
Ketika tidak ada lagi yang mengangkat tangan, Noe menuliskan kedua nama itu dalam daftar tim yang cuti.
"Oke. Sekarang siapa yang bisa bertugas di tanggal 24, 25, 31, dan 1?" Noe memberikan pertanyaan lainnya.
"Saya bisa di 24 dan 1," ujar Iskan.
"Saya bisa semua, Mas," ujar Josh santai. Pemuda jomblo tanpa keluarga memang selalu siap sedia masuk kapan saja.
"Saya tanggal 31 sama 1, Pak," ujar Putri.
"Saya cuma bisa tanggal 1 aja," ujar Diana sambil meringis takut-takut.
Satu per satu bergilir memberikan jawaban beragam, dan dengan cepat Noe menuliskan nama-nama mereka di bawah setiap angka yang menunjukkan tanggal-tanggal krusial. Hingga semua orang sudah memberikan jawaban, Raline masih bungkam.
"Ral?" tegur Noe perlahan. Ditatapnya gadis itu sambil menanti jawab.
Diana segera menyikut Raline karena wanita itu masih diam saja. "Jawab, Ral!"
"Saya …," gumam Raline ragu.
"Bilang saja, Ral. Tidak apa," ujar Noe sabar.
"Saya sepertinya tidak bisa semua." Raline langsung menunduk salah tingkah usai menjawab. Sudah anak baru, paling muda juga, berani-beraninya di event besar pertama langsung mangkir dari tanggung jawab.
"Mau pacaran ya, Ral?" Terdengar suara menggoda entah milik siapa. Mungkin Josh, mungkin Rian, Raline tidak terlalu peduli.
"Bukan.” Cepat-cepat Raline membantah sebelum muncul kesalahpahaman. “Setiap tahun biasanya keluarga saya berkumpul di Natal dan Tahun Baru."
"Tidak masalah, Ral.” Noe tersenyum mengerti. Tanggapannya sangat santai, sama sekali tidak terlihat ingin memarahi Raline. “Itu memang hari libur. Yang bisa masuk di tanggal-tanggal itu terhitung lembur khusus."
Sedikit banyak Raline bisa bernapas lega karena ternyata Noe tidak menyudutkan atau menekannya untuk masuk. Lagi pula, Raline lebih takut ditendang dari keluarga Blanchard ketimbang diusir dari IDEA. Tradisi keluarganya untuk berkumpul di hari besar itu masih belum terpatahkan sampai hari ini, dan sejujurnya Raline menikmati itu. Berkumpul dengan dua keponakannya yang mulai remaja dan dua lagi yang masih lucu menggemaskan selalu bisa membuat suasana hati Raline jadi bahagia.
"Sekarang saya mau bahas beberapa usulan menarik yang kalian ajukan secara anonim. Jadi pilihan saya murni karena idenya memang bagus, bukan karena melihat siapa yang mengajukan ide."
Raline sampai tidak sadar kalau ternyata Noe sudah kembali duduk di seberangnya. Pria itu terlihat sibuk membuka map yang ia bawa dari ruangannya, lalu memeriksa kartu demi kartu.
"Pertama, saya tertarik dengan ide membuat arena bermain di area anak-anak. Ide siapa ini?" Noe mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dengan wajah ramah.
Perlahan Raline mengangkat tangannya. "Saya, Pak."
Noe tersenyum kemudian mengangguk. "Boleh tolong kamu jelaskan pada semua?"
"Kalau saya berpikirnya, di akhir tahun itu bertepatan dengan hari libur sekolah. Mungkin kita bisa menarik pengunjung dengan menjadikan IDEA salah satu tujuan tempat bermain anak-anak saat liburan. Sementara anak-anak dihibur di lantai 5, para orang tua bisa melihat-lihat produk kita di lantai lain. Saya pikir ini mungkin akan bisa meningkatkan jumlah pengunjung yang datang dan memperbesar peluang untuk belanja."
Noe terlihat puas dengan penjelasan Raline. Sederhana dan masuk akal menurutnya. Namun, ia harus mempertimbangkan pendapat seluruh tim. "Bagaimana menurut yang lain?"
"Oke tuh, Mas!" sambut Sonya.
"Kayaknya bisa kita jadiin."
Respon bernada setuju terdengar mendukung ide Raline.
"Oke. Nanti tolong kamu coba buat lebih detail lagi, Ral," putus Noe.
"Baik, Pak."
Noe terlihat meraih kartu lain lalu membacanya. "Selanjutnya, ide tentang pameran lukisan di area living room. Ide siapa ini?"
"Saya, Mas." Kali ini Iskan yang mengangkat tangan.
"Iskan, coba jelaskan ide kamu!" pinta Noe.
"Dengan menggelar pameran lukisan, kita bisa menjaring para penikmat lukisan untuk berkunjung ke sini. Nanti lukisan-lukisan itu akan kita display di area living room. Jadi sambil menikmati lukisan, mereka juga akan melihat display kita."
Sebelum Noe merespon, anggukan dan ucapan bernada setuju sudah memenuhi ruangan.
"Oke juga."
"Boleh tuh dicoba."
Noe kembali mengangguk puas. “Tolong dimatangkan ya, Is.”
Satu demi satu ide dibahas secara bergantian. Suasana di ruang meeting benar-benar santai. Mereka mengikuti meeting sambil mengisi perut, bertukar ide, menambahkan pendapat, dan mengobrol santai. Sementara Raline? Wanita itu tetap duduk kaku di tempatnya. Kehadiran Noe tepat di hadapannya membuat Raline terus merasa terintimdasi. Jangankan untuk mengunyah dan menelan makanan, memasukkannya ke mulut saja Raline tidak sanggup.
"Saya juga tertarik dengan ide memberikan konsultasi gratis untuk para pengunjung. Punya siapa ini?"
Raline tersentak.
"Punya lo juga, kan?" Diana berbisik di telinga Raline.
"Iya."
"Angkat tangan sana!" ujar Diana gemas.
"Saya, Pak."
"Wih, Raline lagi!"
"Anak bawang tapi jagoan ini!"
Terdengar decakan kagum dari beberapa rekan lain. Tidak ada yang bernada sinis, benar-benar kekaguman saja karena untuk ukuran anak baru, ide Raline cukup baik.
"Coba, Ral, tolong jelaskan lagi," pinta Noe sambil menatap dalam mata Raline.
Sikap Noe membuat salah tingkah Raline semakin parah, tetapi ia berusaha mengatasinya dengan baik lalu menjelaskan sesuai permintaan pria itu. "Menurut saya orang-orang yang datang ke sini tidak semuanya paham desain. Banyak yang kebingungan memilih item yang dibutuhkan apalagi untuk padu padan. Kalau ada sesi konsultasi, mungkin mereka akan tertarik karena acara belanja mereka jadi terarah dan item yang dibeli sesuai fungsi."
"Wah, bener banget! Kadang aku pas lagi ke tempat display, suka denger pengunjung mengeluh karena bingung memutuskan item yang mereka mau beli."
"Iya, sama! Gue juga suka lihat pengunjung yang kebingungan."
"Saya rasa itu ide yang sangat baik." Noe mengangguk setuju.
"Mantap banget lo, Ral. Dua ide langsung kepake, dong!" bisik Diana memuji. "Pesona lo emang enggak main-main."
"Na, itu kan anonim. Pak Noe enggak tahu itu punya siapa," ujar Raline dengan perasaan tidak enak karena ide Diana tidak ada yang mencuat.
"Emang gue bilang Mas Noe sengaja pilih yang punya lo?" balas Diana heran.
"Eh, enggak ya?" Raline mengerjap bingung.
Diana menjawil gemas pipi Raline. "Pikiran lo ke mana-mana deh!"
Meeting siang itu masih terus berlanjut hingga menjelang sore. Ketika satu demi satu tim desainer meninggalkan ruangan, suara Noe menahan Raline.
"Ral …," panggil Noe pelan.
"Iya, Pak?" Raline yang sudah berdiri, terpaksa tidak jadi melangkah.
"Good job!" puji Noe tiba-tiba.
"Terima kasih, Pak." Raline mengangguk canggung.
Noe tersenyum hangat kemudian kembali bicara. "Saya tidak sabar melihat kamu berkembang di sini. Kamu punya potensi yang sangat baik."
"Terima kasih, Pak." Kembali Raline mengangguk. Canggungnya semakin bertambah karena saat ini hanya tinggal tersisa mereka berdua. Entah ke mana Diana menghilang, meninggalkannya begitu saja bersama Noe. Sungguh tega!
"Saya tunggu rancangan detailnya. Kalau kamu menemui kesulitan, jangan ragu ajak saya berdiskusi."
"Baik, Pak."
“Raline …,” panggil Noel lagi.
“Ya?” Entah mengapa Raline jadi salah tingkah. Cara Noe mengucapkan namanya terdengar berbeda.
“Satu lagi …,” ujar Noe dengan nada menggantung. Ia terlihat cukup ragu untuk mengucapakan apa yang sedang ada dalam benaknya, tetapi juga tampak penasaran.
“Ya, Pak?” ujar Raline gelisah. Jangan bilang kalau Noe ingin menyinggung tentang hari itu lagi. Tolong jangan, karena Raline tidak ingin.
Noe mengamati wajah Raline kemudian bertanya pelan. “Kamu sakit?”
Raline mengerjap bingung. Pertanyaan Noe sungguh tidak terduga. “Tidak, Pak.”
“Kamu yakin?” tanya Noe sangsi.
“Iya. Memangnya ada apa, Pak?”
Noe mengamati wajah Raline dengan raut sedih. “Wajah kamu terlihat pucat.”
“Mungkin kurang tidur saja, Pak,” dusta Raline. Namun, tidak benar-benar dusta juga. Nyatanya Raline memang jadi sulit tidur sejak kejadian itu.
“Syukurlah kalau begitu.” Noe mengangguk lega.
“Saya sudah boleh pergi, Pak?” tanya Raline kikuk.
Noe mengedik ke arah kotak makanan di tangan Raline. “Habiskan dulu makan siang kamu di sini, baru setelah itu kamu boleh kembali bekerja.”
“Hm?” Raline terlihat kebingungan lalu menunduk menatap kotak makanan yang sejak tadi belum tersentuh sama sekali.
“Saya mau pastikan kamu makan dengan baik.”
“...” Bagaimana caranya menghabiskan ini sementara berhadapan dengan Noe saja membuat mulut Raline jadi kaku. Lalu berapa lama ia harus menghabiskan isi kotak makanannya sambil dihujani tatapan Noe?
“Jangan salah paham, Ral,” ujar Noe tenang. “Saya hanya ingin semua anggota tim selalu dalam kondisi yang baik, dimulai dari memperhatikan asupan yang masuk ke tubuh. Kalau kamu tidak makan dengan benar dan kerja terlalu berat, cepat atau lambat kamu akan sakit dan saya tidak mau itu terjadi.”