7. Tidak Bisa Menghindar

2388 Kata
"Na, mau ke ruang Pak Noe?" Raline menghadang langkah Diana ketika melihat temannya membawa setumpuk map di tangan. "Yoi." Diana mengangguk santai. Wajah Raline langsung berbinar, lalu ia segera memasang senyum manisnya. "Gue boleh minta tolong?" Melihat ekspresi Raline, kecurigaan Diana langsung muncul. "Mau minta tolongnya apa dulu?" Raline bergeser ke mejanya sendiri, mengambil dua buah map yang sudah siap sejak tadi, lalu menyerahkannya pada Diana. "Titip ini dong." "Buat?"  "Pak Noe." "Ini apaan?" Diana melirik sedikit pada map yang Raline serahkan, tetapi belum diambilnya. "Rancangan buat event akhir tahun." Alis Diana langsung terangkat penuh curiga. "Kenapa enggak kasih sendiri aja?" "Enggak kenapa-napa,” jawab Raline cepat. “Titip aja, kan sekalian lo mau ke sana." "Ogah, ah!” tolak Diana kejam. “Kasih sendiri aja sana!" "Ih, gitu amat dimintain tolong, Na," ujar Raline memelas. "Lo pasti enggak mau kasih sendiri karena masih menghindar dari Mas Noe, kan?" tebak Diana yakin. "Enggak juga," dusta Raline.  Diana langsung berdecak galak. "Enggak usah bohong, Ral! Udah kebaca kali sama gue." Menyadari siasatnya tidak berhasil pada Diana, Raline langsung lemas. Ia tertunduk gusar. "Ya abisnya gimana? Gue kan canggung berduaan doang di ruangannya." "Kan lo di ruangan Mas Noe buat urusan kerjaan, bukan yang lain-lain. Anak-anak yang lain juga biasa kali kayak gitu. Lo juga kemarin-kemarin gitu sebelum ada kejadian di antara kalian." "Ya itu masalahnya, Na.” Raline meringis senewen. “Karena ada kejadian itu gue jadi enggak nyaman berduaan sama dia." "Enggak nyamannya kenapa sih?” tanya Diana gemas. “Lo takut Mas Noe tiba-tiba mangsa lo di tempat?" "Ya, bukan!” bantah Raline kaget. “Enggak mungkin dia kayak gitu juga kali, Na." "Nah, makanya!” Diana tersenyum puas. “Emang enggak mungkin Mas Noe begitu. Dia selalu bersikap sopan kok sama semua cewek di sini." "Iya, gue juga tau." Raline mengangguk lemah.  Harus Raline akui, Noe Camaro memang sosok pria sopan yang tidak pernah menunjukkan gelagat kurang ajar pada perempuan. Kalau sesuatu yang fatal bisa terjadi di antara mereka, ada peran besar Raline di dalamnya yang membuat situasi jadi seperti itu. Raline tidak bisa menyalahkan Noe. Itu juga sebabnya ia jadi merasa canggung setiap kali berhadapan dengan Noe. Raline takut atasannya itu akan berpikiran buruk tentangnya. "Ya, udah. Kan berarti enggak ada yang perlu lo takutin," tandas Diana. "Masalahnya gue takut dia tiba-tiba menyinggung soal kejadian itu lagi, Na." "Masa iya Mas Noe bahas kayak gituan di kantor, Ral?” ujar Diana geli. “Gitu-gitu gue yakin Mas Noe profesional kok. Kecuali lo enggak kasih kesempatan buat Mas Noe bahas hal itu di luar jam kerja." Refleks Raline membuang pandang ke arah lain, tidak berani membalas tatapan Diana.  "Lo beneran enggak kasih kesempatan buat Mas Noe bahas itu?" tebak Diana curiga. Raline meringis kecil. "Dia udah coba bahas, tapi gue udahin. Gue bilang enggak ada yang perlu dibahas lagi." "Jadi udah bener-bener clear?" "Enggak tau juga sih.” Raline menggeleng lesu. “Kayaknya masih ada yang mau dia omongin, tapi gue enggak mau dengar lagi." Diana menggeleng tidak suka. "Ral …, sampai kapan lo mau menghindar terus dari Mas Noe sih?" "Enggak tau, Na." "Lo enggak bisa gini terus kali, Ral.” Sudah hampir satu bulan berlalu sejak hari itu, dan sampai sekarang Raline masih saja bersikap aneh setiap kali harus berhadapan dengan Noe. “Urusan kerjaan lo kan jadi susah kalo kayak gini terus, Ral." "Gue tau, Na.” Raline mengangguk mengakuinya. “Tapi susah." "Pokoknya gue enggak mau bantu,” ujar Diana tegas. Didorongnya map yang tadi Raline serahkan dan berpesan galak. “Urusan ini lo bawa sendiri ke ruangan Mas Noe, dan jangan coba-coba minta tolong anak lain." "Kali ini aja tolongin gue, Na. Masa enggak mau?" pinta Raline penuh harap. "Enggak mau.” Diana menggeleng tegas. Pendiriannya tidak akan goyah hanya karena wajah memelas Raline. “Kali ini berbuntut jadi kali-kali lainnya. Ogah!" "Beneran kali ini aja, Na. Ya …?" Raline masih coba membujuk Diana agar gadis itu mau menolongnya. "Enggak mau, Raline! Nanti kalo Mas Noe tanya-tanya gue mesti jawab apa? Ini kan rancangan lo. Sana tanggung jawab sendiri!" Usai berkata demikian, Diana segera memutar badannya. Lebih baik ia ambil jalan memutar daripada harus menolong Raline. Cepat-cepat Raline menyambar tangan Diana dan menahan langkah gadis itu. "Kalo gue ikut sekalian boleh?" Diana langsung mengangguk, kemudian mengangkat bahunya. "Boleh aja, tapi gue enggak mau jadi juru bicara lo. Ngomong sendiri nanti di ruangan Mas Noe." Akhirnya, Raline terpaksa mengekor di belakang Diana, mengikuti gadis itu menuju ruangan Noe. Daripada ia benar-benar harus sendirian saja berhadapan dengan Noe, masih lebih baik ada Diana. "Mas?" panggil Diana setelah mengetuk pintu. "Masuk, Diana!" panggil Noe ramah. "Permisi, Mas!” Diana melangkah santai memasuki ruangan Noe, kemudian mendekat ke meja kerja atasannya. “Saya mau menyerahkan desain kitchen display yang akan dipakai bulan depan." "Coba sini saya lihat.” Noe langsung menadahkan tangan meminta map di tangan Diana. Setelah menerimanya, Noe tersenyum kecil. “Duduk dulu, Diana." "Mas Noe memangnya lagi enggak sibuk?" tanya Diana dengan perasaan tidak enak. Meski sudah setahun lebih bekerja di sini, Diana masih sering takjub setiap kali melihat betapa cepatnya Noe merespon pekerjaan anak buahnya. Sebisa mungkin, Noe langsung memeriksa pekerjaan tim desain begitu diserahkan. Noe tersenyum sambil melihat pekerjaan Diana. "Pekerjaan pasti ada, tapi tidak apa-apa. Biar cepat selesai pekerjaan kamu. Kalau masih ada yang perlu direvisi, bisa langsung kamu kerjakan. Kalau sudah tidak ada, bisa langsung diproses." "Makasih ya, Mas Noe." "Sama-sama, Diana." Noe mengangguk kecil. Sesaat kemudian, Noe mengangkat wajahnya ketika menyadari Raline masih berdiri. "Kalau Raline ada yang ingin diserahkan juga atau hanya menemani Diana saja?" "Saya mau menyerahkan detail rancangan untuk event, Pak," jawab Raline kikuk. "Kalau begitu duduk dulu. Saya selesaikan lihat pekerjaan Diana dulu." Beberapa waktu selanjutnya, ruangan Noe begitu hening. Pria itu terlihat sibuk menekuni pekerjaan Diana dan mencoretkan sesuatu di beberapa bagian. Setelah selesai, Noe tersenyum ke arah Diana sambil menyerahkan kembali map yang sudah selesai ia lihat. "Diana, ada beberapa bagian yang masih harus diperbaiki. Sudah saya tandai, kamu tinggal lihat saja." "Siap, Mas! Makasih." "Raline, kertasnya?" Kini Noe menadahkan tangan ke arah Raline. "Eh?” gumam Raline terkejut, lalu segera tersadar. “Oh, ini …." "Mas Noe, saya balik ke meja kerja dulu ya." Noe mengangguk cepat. "Silakan, Diana." "Na …?" bisik Raline kaget. "Apa?" balas Diana berbisik juga. "Enggak tungguin gue?" tanya Raline panik. Diana segera mendekatkan mulutnya ke telinga Raline, lalu berbisik kejam. "Ngapain pake ditungguin? Kayak anak TK lagi pipis rame-rame aja lo." "Yah, Na …," desah Raline putus asa. Diana tersenyum jahat, kemudian cepat-cepat berdiri. "Permisi, Mas." Noe sepertinya menyadari kasak-kusuk di antara keduanya, tetapi ia bersikap pura-pura tidak tahu. "Saya baca dulu ya, Ral," ujar Noe setelah Diana meninggalkan mereka. "Iya, Pak." Raline mengangguk kaku, kemudian menunggu dalam diam. Waktu terasa berjalan begitu lambat, membuat Raline bertambah senewen dan perutnya mulai mulas. "Oke. Kamu sudah membuat rencananya secara detail. Semua sudah dijabarkan dengan baik," ujar Noe setelah terdiam selama sekitar 15 menit. "Selanjutnya, tolong kamu data siapa saja yang bisa bertugas melayani sesi konsultasi selama event akhir tahun, lalu buat jadwalnya. Selain itu, tolong kamu berkoordinasi juga dengan tim promosi terkait publikasi program Kids Camp." "Baik, Pak." "Kamu bisa mengerjakannya sendiri?"  "Bisa, Pak." "Kalau menemui kesulitan atau perlu bertanya, jangan segan datang pada saya. Saya selalu siap membantu," ujar Noe ramah. "Terima kasih, Pak.” Raline terus saja mengangguk agar urusannya dengan Noe cepat selesai dan ia bisa meninggalkan ruangan ini. Urusan bisa atau tidak, akan dipikirkannya nanti, dan yang pasti Raline sebisa mungkin tidak akan pernah meminta bantuan pada Noe. “Apa sekarang saya sudah boleh kembali ke meja saya?" "Silakan, Raline." Setelah meninggalkan ruangan atasannya, Raline kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan hingga tanpa terasa waktu pulang sudah terlampaui. "Ral, enggak balik lo?" tegur Diana yang sudah siap pulang. Melihat Diana sudah membawa tas dan meja gadis itu sudah rapi, Raline langsung mengedarkan pandang ke sekeliling dan menemukan meja-meja yang mulai kosong. Sadarlah ia bahwa dirinya terlalu asyik sejak tadi. "Bentar lagi deh, Na. Tanggung." "Lagi bikin apa sih?" Diana membungkuk di sisi Raline agar bisa melihat layar monitor temannya dengan lebis jelas. "Jadwal tugas." Diana mengernyit heran. "Masih belum beres juga dari tadi?" "Belum. Susah cocokin jadwalnya." Mengatur jadwal jasa konsultasi untuk sekitar 20 orang selama satu bulan penuh sementara setiap mereka juga memiliki tugas lain di waktu bersamaan jelas bukanlah hal yang mudah. Raline harus membuatnya seteliti mungkin agar tidak ada yang bentrok dan menimbulkan masalah saat pelaksanaan nanti. Belum lagi kalau mendengarkan permintaan khusus dari setiap orang, makin bertambahlah kepusingan Raline. "Lanjut besok lagi aja sih, Ral," saran Diana. Terkadang ia gemas melihat betapa rajinnya Raline bekerja. Temannya ini bisa dibilang penggila kerja. Kalau sudah mengerjakan sesuatu, Raline pantang berhenti sebelum selesai. Tidak heran hasil pekerjaannya juga selalu mengagumkan. "Tanggung, Na," ujar Raline keras kepala. "Ya udah, tapi jangan lama-lama. Gue tinggal gapapa?” Sejujurnya Diana tidak tega juga meninggalkan Raline sendirian. Biasanya mereka selalu kembali ke unit residence bersama-sama, atau makan malam dulu. Jarang sekali mereka kembali sendiri-sendiri. “Gue udah janji mau temenin calon kakak ipar gue cari kado buat kakak gue nih." "Gapapa, Na. Pergi aja," ujar Raline dengan senyum menenangkan. "Lo mau titip sesuatu enggak?" "Emang lo mau ke mana?" "Ke Kamara doang sih.” Lokasi IDEA yang cukup jauh dari pusat kota membuat Diana malas bepergian jauh di hari kerja. Oleh karena itu, ia meminta bertemu dengan calon kakak iparnya di mal dekat IDEA saja. “Mau apa enggak?" "Enggak deh, Na." "Beef croissant kesukaan lo enggak mau?" tawar Diana. Ia heran melihat tanggapan datar Raline, padahal biasanya kalau mendengar Kamara mata temannya itu langsung berbinar. Tidak seperti biasanya, Raline langsung menggeleng. "Lagi enggak pengin, Na." "Tumben …," gumam Diana bingung. Namun, ia tidak punya banyak waktu untuk menanyai Raline. Calon kakak iparnya sudah menunggu di bawah sejak lima menit yang lalu. "Ya udah deh, gue pergi dulu!" Sepeninggal Diana, Raline kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Ketika satu per satu rekan tim yang lain berpamitan, Raline tidak memperhatikannya. Ia bahkan tidak tahu kalau saat ini hanya tinggal tersisa dirinya saja di lantai 5. Niatnya yang hanya sebentar, molor jadi berjam-jam. "Raline, kamu masih di sini?" Teguran Noe membuat Raline tersentak kaget. "Eh, Bapak!" "Kenapa belum pulang?" tanya Noe dengan sedikit nada khawatir dalam suaranya. Saat ini sudah pukul tujuh lebih, yang artinya jam pulang kerja sudah terlewat dua jam. Meski Noe tidak suka anak buahnya lembur, ia sendiri sering melakukannya. Sebagai Senior Designer di IDEA yang merangkap Display Manager juga, pekerjaannya tentu sangat banyak. Segala sesuatu yang berurusan dengan Divisi Desain, Noe yang memegang tanggung jawab. "Masih beresin kerjaan dulu, Pak," jawab Raline gugup. Saat ini ia baru sadar kalau mereka tinggal berdua saja di lantai 5. Semua meja kerja di sekelilingnya sudah gelap. Noe berjalan mendekat dan berdiri di belakang Raline. "Apa yang sedang kamu kerjakan?" "Ini, Pak. Jadwal untuk tugas jaga." "Kenapa tidak dilanjut besok saja, Ral?"  "Tanggung, Pak. Besok saya rencananya mau fokus urus yang Kids Camp bareng anak promosi." "Masih lama?" Raline cepat-cepat menggeleng. "Enggak kok, Pak." Noe tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya melangkah ke samping, mengambil salah satu kursi terdekat, lalu membawanya ke sisi Raline. "Bapak mau apa?" tanya Raline terkejut. "Menemani kamu," jawab Noe tenang. "Eh? Enggak usah, Pak!" tolak Raline panik. "Kenapa?" "Saya bisa sendiri, Pak." "Saya tahu kamu bisa sendiri. Saya hanya mau menemani saja." Raline mengerjap bingung. Bagaimana nasibnya sekarang? Haruskah ia terus diam di sini dan menyelesaikan pekerjaannya, atau lebih baik Raline kabur ke unitnya saja? “Jangan merasa terganggu dengan kehadiran saya. Lanjutkan saja pekerjaan kamu,” ujar Noe sambil sibuk dengan ponselnya. Melihat Noe yang diam saja dan memang sama sekali tidak mengganggu, terpaksa Raline berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya lagi. Sekitar setengah jam kemudian, Noe tiba-tiba berdiri dan berjalan menjauh. "Pak!" panggil Raline cepat. Noe langsung berhenti melangkah. "Ya?" Raline menunjuk tas kerja Noe yang diletakkan di kursi sebelah. "Tasnya ditinggal?" "Saya hanya mau ke bawah sebentar, Ral. Tunggu ya!" Raline mengernyit bingung, tetapi ia tidak bertanya lagi. Tidak ada Noe di sisinya, Raline malah merasa jauh lebih baik. Namun, pria itu hanya menghilang sebentar saja. Benar-benar sebentar seperti ucapannya tadi. Kembali ke atas, Noe meletakkan sesuatu di meja kerja Raline. "Dimakan, Ral."  "Eh?" Untuk beberapa saat Raline hanya bisa bengong, menatap bergantian pada kotak makanan di hadapannya juga pada Noe. Noe tersenyum samar. "Kamu belum makan malam, kan?" "Eh, iya.” Raline mengangguk kaku. “Tapi saya enggak lapar, Pak." "Makan bukan urusan lapar atau tidak, Ral. Makan itu keharusan,” ujar Noe sambil kembali duduk di kursinya semula. Tanpa menunggu jawaban Raline, Noe mengambil plastik berisi makanan yang tadi ia pesan saat menunggui wanita itu bekerja. Dikeluarkannya dua kotak makanan tersebut dari dalam plastik, kemudian membukanya satu per satu. Setelah siap, ia memutar kursi Raline hingga mereka duduk berhadapan. “Ayo, dimakan dulu!" “Makasih, Pak.” Raline tersenyum canggung. Ia mengambil kotak bagiannya, lalu berniat memakannya sambil melanjutkan pekerjaan. "Jangan sambil lihat komputer!” Refleks Noe menahan tangan Raline, membuat wanita itu batal memindahkan kotak makanannya. “Selesaikan dulu makannya, baru kerja lagi." Raline hanya bisa tertunduk canggung. Ia berusaha makan meski rasanya sangat gugup dan menelan kunyahan demi kunyahan rasanya sangat sulit. Namun, akhirnya Raline berhasil menghabiskannya. Selesai makan, Raline kembali melanjutkan pekerjaannya. Menjelang pukul sebelas malam baru pekerjaannya rampung. "Pak, saya udah selesai," ujar Raline setelah mematikan komputer dan merapikan meja kerjanya. "Oke.” Noe mengangguk lega. Sejak tadi rasanya ia sudah tidak tahan ingin menyeret wanita ini pulang, tetapi Noe menahan diri. Ia menghargai kegigihan Raline dalam bekerja. “Ayo, kita pulang!" Keduanya berjalan bersama meninggalkan Center Tower menuju tempat tinggal mereka di East Tower. "Pak, terima kasih udah menemani saya," ujar Raline di depan pintu unitnya sebelum mereka berpisah.  Padahal tadi Raline sudah mengatakan bahwa Noe tidak perlu mengantarnya ke lantai tiga dan bisa langsung ke lantai empat saja, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Noe benar-benar ingin memastikan Raline masuk ke unitnya dengan aman. "Sama-sama, Ral. Tapi tolong, jangan dibiasakan lembur terlalu sering," sahut Noe menasihati. "Iya, Pak." Raline mengangguk patuh. Ia sendiri merasakan dirinya sangat kelelahan saat ini. Tubuhnya sangat pegal, terutama di bagian pundak dan leher. "Sekarang kamu masuk, mandi, lalu segera tidur ya,” ujar Noe lembut. “Pasti hari ini melelahkan." "Iya, Pak." Raline mengangguk sambil tertunduk. Suara Noe yang penuh perhatian kembali membuat Raline salah tingkah.  "Selamat malam, Raline."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN