"Diana …."
"Eh?" Diana yang tengah sibuk merapikan riasan wajah sambil menunggui proses rendering di layar komputernya sontak terkejut ketika melihat sang atasan tiba-tiba saja menghampiri. Cepat-cepat Diana menutup cerminnya dan bertanya salah tingkah. "Ya, Mas? Ada apa?"
Noe merendahkan suaranya sambil melirik ke arah meja kerja Raline yang masih kosong. "Kamu tahu Raline di mana?"
Refleks Diana ikut melihat ke meja kerja temannya. Tas wanita itu belum kelihatan. Layar komputernya pun masih gelap. Belum ada tanda-tanda kehadiran wanita itu pagi ini.
"Eh, iya! Ke mana ya anak itu …?" gumam Diana bingung. Cepat-cepat Diana menyambar ponselnya, barangkali Raline ada menghubungi, tetapi belum sempat ia periksa.
"Kamu belum bertemu Raline pagi ini?" tanya Noe memastikan.
"Belum, Mas.” Diana menggeleng perlahan. Pesan dari Raline pun tidak ada. Padahal kalau ada apa-apa, biasanya Raline selalu memberitahu Diana. “Coba saya telepon dulu ya, Mas."
"Tidak usah, Na,” cegah Noe cepat. “Biar saya cek ke unitnya saja."
Tanpa menghiraukan tanggapan Diana lagi, Noe langsung berbalik dan menjauh. Langkahnya mantap menuju pintu kaca yang membatasi ruang kerja tim desain dengan lorong menuju lift.
"Wew …, mereka mencurigakan …," bisik Diana sambil memutar bola matanya.
Noe terus berjalan meninggalkan Center Tower untuk menuju East Tower. Pada waktu seperti ini, bisa dipastikan East Tower akan sepi karena seluruh penghuninya pasti sibuk bekerja. Hanya ada para staf di lantai satu saja yang menjaga area pantry dan sport center. Noe langsung menuju lantai tiga, tempat Raline berada.
"Raline …," panggil Noe sambil mengetuk perlahan pintu unit wanita itu.
"Raline …!" Noe kembali memanggil dengan suara lebih keras karena tidak terdengar balasan dari dalam.
Namun, Noe tetap tidak bisa mendengar suara dari dalam. Ia kembali mengetuk lebih keras. "Raline, kamu di dalam?"
"Siapa?" Kali ini terdengar erangan dari dalam.
"Raline, tolong buka pintunya!" ujar Noe khawatir. Erangan lemah Raline membuat Noe berpikir ada sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu.
Tidak berapa lama pintu terbuka dan tampaklah Raline dalam penampilan yang masih kusut. Wajahnya seperti orang yang baru bangun tidur, matanya sembab, dan rambutnya sedikit berantakan. Hal itu membuat Noe langsung terkenang pada pagi ketika Raline terbangun dalam dekapannya. Hanya saja kali ini pakaian tidur wanita itu tertutup rapat, piyama berlengan panjang dengan motif teddy bear yang membuat Raline terlihat seperti gadis remaja.
Noe langsung melangkah masuk dan bertanya khawatir. "Ral, kamu baik-baik saja?"
"Pak Noe?” Raline mengerjap bingung. “Kenapa ke sini pagi-pagi?"
"Kamu tidak muncul di kantor dan tidak mengabari apa-apa. Diana saja tidak tahu kamu di mana. Saya jadi khawatir."
"Hm?” Raline kembali mengerjap. Kali ini dengan ekspresi bodoh. “Memangnya sekarang jam berapa?"
Tiba-tiba saja Noe ingin tersenyum geli, tetapi ditahannya. "Sekarang sudah jam setengah sepuluh, Ral."
"Hah?!" Sontak Raline berlari ke dalam, membuka gorden, kemudian menyambar ponselnya. Sesaat kemudian ia mendesis panik. Jam masuknya sudah terlewat satu setengah jam yang lalu. "Saya telat, dong!"
Noe ikut melangkah masuk dan menghampiri Raline. Diamatinya lagi wajah wanita itu. "Kamu sakit, Ral?"
Cepat-cepat Raline menggeleng. "Enggak, Pak."
"Kamu kesiangan bangun?" tebak Noe geli.
Raline mengangguk malu sambil menatap ponselnya. "Alarmnya enggak bunyi kayaknya, Pak."
Entah benar-benar tidak bunyi, atau sudah berbunyi tetapi dimatikan olehnya, Raline tidak yakin.
"Syukurlah …." Noe mendesah lega.
"Hm?" Ucapan Noe jelas membuat Raline heran. Alih-alih marah karena anak buahnya terlambat masuk kerja, pria ini malah terlihat lega.
"Saya kira terjadi sesuatu sama kamu."
"Maaf saya jadi telat, Pak," ujar Raline tidak enak hati. Andai yang memergokinya saat ini adalah Diana, mungkin Raline tidak akan serba salah seperti ini. Ia juga bisa mengarang alasan dan memilih tidak masuk kerja. Namun, masalahnya jelas tidak semudah itu karena yang mendatangi ke sini malah atasannya.
"Tidak apa, Ral.” Noe menjawab sabar. “Kamu tetap mau masuk kerja hari ini?"
"Masih boleh, Pak?" tanya Raline tidak yakin.
"Boleh. Nanti bilang saja kamu dapat tugas khusus dari saya, jadi datang ke kantor agak siang."
"Eh?" Raline melongo. "Bohong, dong?"
Noe menggeleng perlahan. "Tidak bohong, Ral."
"Tapi kan …."
"Sekarang kamu mandi dan siap-siap. Setelah itu, ikut saya ke RD."
"Mau apa, Pak?" Raline tahu kalau RD adalah produsen berbagai macam material yang biasa IDEA gunakan, hanya saja ia belum pernah datang ke sana secara langsung. Biasanya Raline hanya berhubungan melalui website saja.
"Temani saya survei material baru untuk beberapa item yang akan kita launching di pertengahan tahun depan."
Apa lagi ini? Selama lima bulan bekerja di IDEA, baru pernah Raline diajak berkunjung langsung ke RD. Biasanya yang bertugas pergi ke sana adalah Noe atau Sonya, dan yang diajak kebanyakan para desainer yang sudah cukup senior, bukan anak baru seperti dirinya.
"Kenapa bengong, Ral?" tegur Noe.
"Eh, i-iya!" sahut Raline gelagapan.
"Cepat siap-siap!” ujar Noe mengingatkan. “Saya tunggu di sini."
Raline tidak membutuhkan waktu lama untuk bersiap. Raline sadar diri kalau ia sudah terlambat dan tidak ada waktu untuk berdandan. Maka, tidak sampai setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di dalam mobil Noe.
"Kamu mau makan apa?" tanya Noe begitu mobilnya meluncur meninggalkan area parkir IDEA.
"Enggak usah, Pak. Nanti aja."
"Sarapan dulu, Raline. Nanti kamu sakit."
"Nanti sekalian makan siang aja, Pak."
"Tidak bisa, Ral. Sarapan itu penting," ujar Noe sungguh-sungguh. Urusan makan, Noe memang sangat disiplin. "Ayo, kamu mau apa? Atau saya yang pilihkan saja?"
"Pak Noe belum makan juga?" tanya Raline serba salah.
"Saya sudah. Tapi saya akan temani kamu."
Kalau begini, Raline jadi makin tidak enak hati. Sudah terlambat ke kantor, dijemput dan dibangunkan, ditunggui bersiap, sekarang mau ditemani makan juga. "Apa enggak lebih baik langsung ke RD aja, Pak?"
Noe menggeleng tegas. "Kita tidak akan ke sana sebelum kamu makan, Ral."
Raline terdiam. Ia benar-benar bingung. Mau terus menolak pun percuma, Noe akan memaksanya makan. Namun, memikirkan makanan membuat Raline pusing. Beberapa hari terakhir Raline mendapati selera makannya memburuk.
“Jadi, kamu mau apa?” tanya Noe lagi karena Raline diam saja.
“Roti aja deh, Pak,” putus Raline cepat.
Noe mengernyit gusar. Wajahnya terlihat tidak suka dengan ide Raline. “Hanya roti?”
“Iya. Take away aja.”
Kembali Noe mengernyit. “Makan di mobil?”
“Enggak boleh ya, Pak?” Raline langsung menyesali ucapan gegabahnya. Ia baru ingat kalau ada orang-orang yang tidak suka mobilnya dikotori dengan remah makanan. Salah satunya adalah kakaknya sendiri, Jett si perfeksionis yang galak. “Takut mobilnya kotor ya, Pak?”
“Bukan soal mobil kotor, Ral.” Noe langsung membantah pendapat Raline. “Makan saja di tempat. Makan yang tenang. Hidup itu jangan melulu terburu-buru, dinikmati saja setiap waktunya.”
Raline meringis mendengar jawaban Noe. Rupanya ia salah paham. Ternyata Noe berbeda jauh dengan kakaknya yang sering eror itu. “Saya cuma takut bikin repot, Pak.”
“Tenang saja. Tidak sama sekali, Ral.” Noe tersenyum sabar. “Tidak jauh dari sini, ada toko roti yang saya tahu cukup enak. Kamu mau?”
“Boleh, Pak.” Raline mengangguk tanpa banyak protes lagi.
Tiba di toko roti yang Noe maksud, keduanya turun dan melangkah masuk bersama. Noe membawa Raline duduk di dekat jendela agar wanita itu dapat menikmati udara pagi yang bersih. “Kamu tunggu di sini saja, biar saya yang pesankan.”
“Makasih, Pak.”
Saat Noe berjalan menuju tempat pemesanan, diam-diam Raline mengamati sosok pria itu. Raline memandangi punggung tegap Noe yang terlihat sangat gagah. Harus Raline akui, sosok Noe mengagumkan. Belum lagi tinggi pria itu yang menjulang jika dibandingkan dengan rata-rata pria Indonesia. Ditambah wajah asingnya yang menawan. Tidak heran jika banyak mata yang diam-diam mengamati Noe ke mana saja pria itu bergerak.
Tidak berapa lama, Noe kembali dengan sebuah nampan di tangan. Diletakkannya nampan itu di tengah meja, kemudian Noe duduk. “Dimakan, Ral.”
“Iya, Pak. Makasih.” Raline memandang takjub pada makanan yang Noe pilihkan untuknya. Ada sepotong croissant berisi daging dan telur, juga semangkuk sup krim. Sangat bergizi dan mengenyangkan untuk mengisi perut setelah bangun kesiangan. Dan entah dari mana Noe tahu kalau Raline lebih menyukai makanan bercita rasa gurih ketimbang manis. Entah hanya kebetulan saja, atau memang Noe diam-diam mengamati kesukaan para anak buahnya.
“Ral, mulai sekarang jangan lembur lagi ya,” ucap Noe saat Raline mulai menyantap makanannya.
“Hm?” Raline menatap bingung ke arah Noe.
Noe menyesap kopi yang dipesannya sebelum kembali bicara. “Kamu kesiangan bangun hari ini karena kemarin kelelahan, kan?”
Cepat-cepat Raline membantah. “Enggak juga, Pak.”
“Jadi karena apa?”
“Enggak ada apa-apa, Pak.”
“Kamu sedang susah tidur?”
“Enggak, Pak.”
“Sedang kurang sehat?”
“Bukan, Pak.”
“Lalu kenapa?”
Raline rasanya mulai kelabakan dengan pertanyaan Noe yang jelas terlihat sangat penasaran. Akhirnya, ia menjawab juga meski tidak mengatakan semua secara jelas. “Saya cuma lagi sering merasa capek aja, Pak.”
“Mungkin kamu terlalu memaksakan diri, Ral. Jangan bekerja terlalu keras. Sayangi badan kamu.”
“Iya, Pak.” Raline mengangguk patuh. Padahal, yang sebenarnya terjadi bukan demikian. Bekerja atau tidak, Raline mendapati dirinya sering kelelahan akhir-akhir ini. Tidur rasanya jadi tidak pernah cukup untuk wanita itu. Sesiang apa pun Raline bangun, ia tetap saja masih saja mengantuk.
Usai memastikan Raline mengisi perutnya, Noe baru membawa wanita itu ke RD. Sebenarnya, tanpa Raline pun Noe bisa melakukan semuanya sendiri. Ia juga bisa saja mencarikan alasan lain agar tidak ada yang tahu wanita itu kesiangan bangun. Namun, entah mengapa Noe mendapati dirinya tiba-tiba saja mengusulkan ide ini.
Bagi Raline sendiri, ikut bersama Noe ternyata menyenangkan juga. Banyak ilmu baru yang ia dapatkan ketika melihat Noe berbincang dengan pihak RD, membahas berbagai macam material yang akan mereka gunakan. Tanpa terasa, waktu sudah berlalu lama dan mereka baru kembali ke IDEA setelah lewat makan siang.
“Dari mana aja lo?!” Diana langsung menyambut heran begitu Raline muncul di mejanya.
“Gue habis ikut Pak Noe ke RD.”
“Hah? Kok, bisa?” Kilat penasaran langsung terlihat jelas di mata Diana.
“Jadi, tadi pagi itu gue telat bangun. Terus Pak Noe datengin unit gue. Biar enggak ketahuan gue kesiangan, dia bilang gue ikut aja ke RD. Jadi biar orang kira gue ada tugas khusus.” Raline memilih menceritakan semua pada Diana tanpa ada yang ditutupi.
“Parah ….” Diana menggeleng heran. “Lo kenapa bisa kesiangan bangun?”
“Enggak tau, Na.”
“Tumben amat lo.” Diana mengernyit curiga, lalu tiba-tiba saja senyum iseng terlihat di wajahnya. “Eh, jangan bilang kalian semalam …?”
“Apa deh?!” desis Raline sebal.
Diana tersenyum jail dan usil. “Lo kemarin berduaan sama Mas Noe, kan?”
Mata Raline langsung terbelalak. “Kok tau?”
“Semalam tuh tadinya gue mau ke unit lo. Mau bagi donat. Tapi pas gue naik ke lantai lo, eh tau-tau gue lihat kalian di depan pintu unit lo. Ya udah, gue langsung putar balik aja. Enggak mau ganggu kemesraan kalian.”
“Sembarangan lo! Mesra apaan?” ujar Raline gusar.
“Halah! Enggak mau ngaku!” ejek Diana. “Kelihatan banget tau kalian tuh, chemistry-nya bikin merinding.”
“Jangan ngarang deh, Na! Lo kan tau gue enggak nyaman dekat-dekat dia. Mana mungkin ada chemistry!” Raline langsung membantah pendapat Diana.
Diana tersenyum jail sambil mengangkat bahunya. “Sayangnya yang lo rasa sama yang gue lihat itu beda, Ral.”
“Emang lo lihat apa?” tanya Raline curiga.
“Cara Mas Noe natap lo tuh ….” Diana berkedip-kedip genit. “Duh susah dijelasin! Yang pasti bikin meleleh, Ral.”
Raline menggeleng lelah. “Terserah lo aja deh, Na.”
“Jadi, semalam kalian ngapain aja?” cecar Diana penasaran.
“Astaga, Na!” desah Raline kesal. “Ya enggak ngapa-ngapain.”
“Terus kenapa bisa berduaan?”
“Mas Noe cuma antar gue balik ke unit gue. Itu aja.”
“Emang kalian dari mana?” Diana terus saja bertanya usil, karena pemandangan semalam benar-benar mengusiknya. Entah mengapa, dalam pandangan Diana, Ralina dan Noe yang berdiri berdampingan terlihat begitu serasi.
“Enggak dari mana-mana. Lo kan tau gue kemarin lembur.”
“Jadi Mas Noe temenin lo lembur?” tebak Diana cerdas.
Seketika Raline jadi salah tingkah. Apa pun jawabnya, pasti Diana akan salah paham.
Melihat wajah Raline yang serba salah, Diana langsung terkekeh geli. “Enggak usah dijawab, Ral. Gue udah tau jawabannya. Muka lo enggak bisa bohong.”
“Muka lo nyebelin banget, Na!” protes Raline sebal.
“Jadi sekarang lo udah enggak masalah nih berduaan sama Mas Noe?” tanya Diana sambil mengerling penuh arti.
“Kata siapa?” balas Raline sebal.
“Buktinya lo mau-mau aja menghabiskan waktu sama Mas Noe, dua kali berturut-turut loh dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.”
“Bukan mau, Na. Terpaksa tepatnya.”
Diana mencibir geli. “Terpaksa tapi enggak nolak.”
“Gimana mau nolak?” sahut Raline sewot. “Dianya tiba-tiba muncul gitu aja. Mau menghindar enggak bisa, mau diusir ya enggak sopan. Gue juga maunya enggak bareng dia, cuma kan-”
“Udah, udah ….” Diana langsung mengangkat tangan dan memotong ucapan Raline. Wajahnya terlihat sangat jail saat ini. “Enggak usah repot-repot jelasin panjang lebar, Ral. Gue enggak nanya kok. Enggak masalah juga lo sama Mas Noe ….”
“NA!” seru Raline jengkel.
Diana tergelak kencang. “Enggak usah teriak-teriak, Ral! Nanti pada tau.”
“Lo sih ledekin gue terus.”
Diana langsung membuat gerakan mengunci mulutnya. “Oke, gue tutup mulut sekarang. Tapi mata sama kuping gue bakal terus bekerja memonitor kalian berdua.”