9. Jatuh Ke Pelukan

2539 Kata
“Ral, lo ngapain masih diem di sini aja?” Diana mencolek bahu Raline yang tengah duduk memandangi layar komputernya dengan serius. Pertanyaan Diana ditanggapi santai oleh Raline. “Emang kenapa?” Diana menunjuk penampilannya sendiri. “Lo enggak ganti baju?” “Mau ngapain ganti baju?” balas Raline cuek. Diamatinya tampilan Diana saat ini. Kaus sport berwarna jingga menyala, dipadukan dengan legging abu muda, dan sepatu sport yang senada dengan kausnya. “Kan sekarang jadwalnya kita sport bareng, Raline!” seru Diana gemas. “Oh ….” Raline mengangguk-angguk cuek.  “Cuma ‘oh’ doang dia,” celetuk Josh yang tahu-tahu sudah ikut nimbrung di belakang Diana. “Sana cepetan ganti baju!” titah Diana tidak sabar. Raline menggeleng santai. “Gue skip dulu hari ini.” “HAH? SKIP?” seru Diana terheran-heran. Josh juga ikutan menggeleng heran. “Lo enggak salah, Ral?” “Apanya yang salah?” balas Raline polos. “Lo mana pernah skip kalo kita sport,” sahut Josh.  Sejak pertama bergabung dengan IDEA, Raline tidak pernah mangkir dari kegiatan yang berbau olah fisik. Wanita itu memang menyukai segala macam kegiatan olahraga, itulah sebabnya Raline memiliki tubuh yang bugar. Bahkan wanita itu bisa diandalkan ketika ada acara perlombaan antar divisi beberapa waktu yang lalu. “Tau nih!” Diana mengernyit heran. “Biasa lagi datang bulan juga tetep ikutan.” Raline mengedik santai. “Lagi enggak pengin aja.” “Kamu sakit, Ral?” tanya Putri yang baru kembali usai berganti pakaian. Ia tertarik mendengar kasak-kusuk di meja kerja Raline dan ikut nimbrung bersama. Raline menggeleng bingung. “Enggak, kok.” “Yakin?” Josh bertanya sambil mengamati wajah Raline. “Yakin.” Kali ini Raline mengangguk tenang.  “Beneran enggak mau ikut nih?” desak Diana. “Iya, beneran!” sahut Raline mulai gemas karena sejak tadi dirinya ditanya-tanya terus. “Terus kamu mau nunggu di sini doang?" tanya Putri heran.  Di saat semua tim desain akan turun ke bawah dan berolahraga bersama, Raline malah memilih diam di lantai 5 sendirian. Tidak heran kalau banyak yang bertanya-tanya. Padahal, Jumat terakhir di setiap bulan selalu jadi saat yang paling ditunggu oleh anak-anak tim desain, tim promosi, dan tim visual media, karena mereka hanya perlu bekerja sampai pukul dua siang, lalu setelahnya bisa berolahraga bersama dan pulang, tidak perlu melanjutkan pekerjaan lagi. "Habis mau di mana?" balas Raline bingung. "Ikut aja ke bawah," ajak Putri. "Males, ah!" tolak Raline cepat. "Ya udah.” Diana tahu ia tidak bisa memaksa Raline jika wanita itu sudah memutuskan sesuatu. “Hati-hati di sini!" Raline bisa bernapas lega setelah semua tim desain turun dan tidak ada yang bertanya-tanya padanya lagi. Namun, kelegaannya tidak bertahan lama. Saat Raline pikirnya dirinya tinggal sendirian saja, ternyata masih ada satu orang lagi yang tersisa di lantai 5, dan jelas itu merupakan sosok yang paling ingin dihindarinya. Raline yang sudah berniat untuk fokus melanjutkan pekerjaannya lagi, tiba-tiba tersentak ketika mendengar suara langkah kaki seseorang. Begitu ia mengangkat kepala, matanya beradu pandang dengan Noe yang tengah berjalan ke arahnya. "Ral, tidak ikut turun?" tanya Noe ketika jarak mereka hanya tinggal tersisa sekitar lima langkah saja. Raline tersenyum kecut. "Enggak, Pak." "Kenapa?" "Saya mau di sini aja." "Menyelesaikan pekerjaan?" "Bukan, Pak." Raline menggeleng cepat sambil tangannya juga bergerak kilat menutup layar desain yang tengah dikerjakan tadi. Raline sudah dengar kalau Noe paling tidak suka ada orang yang bekerja di waktu mereka seharusnya refreshing. "Lalu kenapa?" Raline meringis, memikirkan jawaban masuk akal yang bisa diberikannya, tetapi nihil. Akhirnya, Raline terpaksa menjawab jujur. "Malas aja, Pak." Noe mengernyit samar. Ada tatapan khawatir yang tampak di matanya. "Kamu sedang kurang sehat?" "Enggak sih, Pak." "Kalau begitu, ikut ke bawah saja.” Raline tertunduk bingung memikirkan cara menolak ajakan atasannya ini. Ia sungguh malas membayangkan harus turun ke lapangan dan berpanas-panasan. Entah itu sekadar joging, tanding voli, basket, badminton, atau apa pun itu, Raline sedang tidak ingin. Rasanya ia hanya ingin duduk nyaman di sini, dengan pendingin ruangan yang membuat tubuhnya selalu sejuk, mungkin sambil menyelesaikan pekerjaan atau malah mencari hiburan dengan menonton Youtube.  "Tidak ikut kegiatan tidak apa-apa, tapi jangan sendirian di sini." Noe kembali berbicara dengan nada membujuk. "Mau, ya?" Ketika tatapan mata mereka bertemu, Raline tidak bisa lagi membantah. Antara segan dan tidak tega menolak ajakan Noe. Akhirnya, wanita itu mengangguk kalah. "Iya, deh." Noe tersenyum samar. "Kamu tunggu di sini sebentar, saya ganti pakaian dulu." "Iya, Pak."  Menunggui Noe berganti pakaian, Raline segera membereskan meja kerja dan mematikan komputernya. Ia tahu mereka tidak akan kembali lagi ke sini sampai hari Senin mendatang. Tidak sampai lima menit, Noe sudah kembali. "Ral, saya sudah selesai. Ayo, turun!" Untuk beberapa saat, Raline hanya bisa terdiam mengagumi penampilan atasannya. Ini bukan kali pertama ia melihat Noe dalam balutan pakaian kasual, tetapi tetap saja Raline selalu kagum. Tubuh indah Noe selalu cocok memakai pakaian apa pun, dan ketampanannya juga membuat semua pakaian itu terlihat keren. Keduanya berjalan dalam diam ketika turun dari lantai lima menuju area outdoor sport yang terletak di belakang East Tower. "Kamu mau duduk di mana?" tanya Noe saat mereka tiba di lapangan yang sudah ramai dipenuhi anak-anak dari tiga divisi berbeda. Masing-masing terlihat sudah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Raline menatap pada jajaran kursi-kursi di sisi lapangan. "Belum tau, Pak." "Bagaimana kalau di sana? Sepertinya cukup nyaman." Noe menunjuk meja dengan empat kursi yang terletak di bawah pohon rindang. Raline melihat ke arah yang Noe tunjuk, lalu mengangguk setuju. "Boleh juga." Noe mengantar Raline dan memastikan wanita itu duduk dengan nyaman. "Kalau begitu silakan duduk yang nyaman di sini, saya tinggal dulu." "Iya, Pak." "Oh, iya!” Sebelum berlalu, Noe menepuk tas olahraga yang dibawanya. “Sekalian titip tas saya ya, Ral." "Oke, Pak." Begitu Noe menjauh, Raline bisa bernapas lega. Ia segera mengedarkan pandang ke sekeliling, melihat-lihat apa saja yang sedang dilakukan rekan-rekan kerjanya yang lain. Ada para perempuan yang sedang bertanding voli, ada para lelaki yang terbagi dua grup, bertanding basket dan futsal, ada juga yang sedang joging santai. Setelah beberapa waktu, Raline menyadari tidak buruk juga berada di sini. Ternyata cuaca tidak sepanas yang dibayangkannya, dan melihat rekan-rekannya bertanding ternyata menyenangkan juga. Namun, gangguan segera datang. Tiba-tiba saja Diana datang dengan penampilan yang mulai berantakan dan keringat di sana-sini. "Eh, ke sini juga lo jadinya!" ejek Diana dengan napas terengah. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di kursi seberang Raline. "Dipaksa sama Pak Noe," balas Raline pelan. "Udah gue duga," gumam Diana geli. "Maksud lo?" "Tadi gue sengaja enggak maksa lo turun, soalnya gue tau masih ada Mas Noe di ruangannya. Paling juga kalo Mas Noe lihat lo diem-diem di atas, dia bakal paksa lo turun. Ternyata bener." Raline langsung menatap sebal. "Lo bukannya kasih tau gue kalo Pak Noe masih ada di ruangannya." "Buat apa?" "Eh?" Raline mengerjap bodoh. Sadar juga kalau keberadaan Noe tidak ada urusan dengan dirinya sendiri. "Ya enggak buat apa-apa." "Biar lo bisa menghindar?" tebak Diana dengan senyum mengejek. "Mungkin." Raline mengangguk jujur. "Emang kalo tadi lo tau Mas Noe masih di atas, lo mau ngapain?" Raline mengerucutkan bibir, lalu menjawab sekenanya. "Paling ngumpet dulu di mana gitu. Nanti baru balik lagi kalo dia udah turun." "Dasar!” Diana menggeleng tidak percaya. “Kayak maling aja kelakuan lo!" "Lo ngapain gosip di sini sama gue? Sana exercise!" usir Raline sebal. "Capek tau!"  "Tadi aja gayanya kayak yang paling semangat,” sindir Raline geli. “Sekarang K.O. juga." "Jangan ngomong gitu kalo kerja lo cuma duduk doang di sini! Lo kan enggak tau gimana capeknya tanding lawan anak-anak yang tenaganya badak itu!" protes Diana sewot. "Tau kok, Na,” balas Raline santai. Ia melihat bagaimana kewalahannya Diana saat bertanding basket dengan anak-anak dari tim promosi. “ Gue kan udah beberapa kali tanding sama mereka. Makanya gue enggak mau ikutan. Udah tau pasti capek banget." "Curang lo! Bukannya kasih tau." Raline terkekeh pelan. "Kalo gue kasih tau lo mau ngapain, Na?" "Ya gue cari tanding yang lain, enggak yang sama mereka." "Gapapalah, Na,” hibur Raline geli. “Hitung-hitung pencitraan di depan gebetan. Siapa tau lihat penampilan lo yang spektakuler bisa buka peluang buat lo masuk ke hatinya." "Ngarang!" gerutu Diana dengan wajah memerah.  "Pas lihat gimana kerennya lo pegang bola, siapa tau matanya terbuka lebar," goda Raline lagi. "Ral!" seru Diana gusar. Ia takut kalau sampai banyak orang tahu tentang hatinya, karena sejauh ini hanya Raline yang Diana beritahu. "Bercanda, Na …." "Eh, Ral!" ujar Diana tiba-tiba ketika teringat sesuatu. "Hm?" "Kata anak-anak lo sekarang jarang nongol di sport center ya?" "Kata siapa?" balas Raline berlagak tidak tahu, padahal ia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud. Paling-paling yang tahu soal itu adalah mereka yang biasanya ke sport center bersama Raline. Memang selama ini, sekitar 4-5 kali dalam seminggu, Raline akan berlatih di sport center lantai 1 East Tower, dan ia selalu bertemu dengan Josh, Rian, dan Putri. "Ya kata mereka yang pada suka sport bareng lo." "Baru semingguan ini kok. Sebelum-sebelumnya gue masih rajin." "Lo kenapa jadi males sport, Ral?" tanya Diana heran. "Enggak tau, Na.” Raline menggeleng bingung. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan penyebab keanehan yang akhir-akhir ini dirasakannya. “Badan gue rasanya enggak fit terus. Capek, ngantuk. Jadinya enggak pengin ngapa-ngapain. Cuma pengin tiduran aja rasanya." "Lo kecapekan nih kayaknya! Makanya jangan forsir badan buat lembur terus, Ral. Sakit yang ada," ujar Diana gemas. Entah harus berapa kali dinasihati, tetapi yang pasti Raline itu memang gila kerja. "Iya. Pak Noe juga udah bilang hal yang sama," ujar Raline tanpa sadar. Mendengar ucapan Raline, sontak Diana tersenyum menggoda. “Cie … yang udah mulai bersedia dengerin nasihatnya Mas Noe.” “Sst!” Raline menatap panik ke kiri kanan, khawatir ada orang lain yang mendengar Diana menyebut-nyebut nama Noe. “Jangan sembarangan, Na!” “Gue enggak sembarangan ya,” bantah Diana. “Gue cuma ngomong sesuai cerita lo aja.” Tepat saat itu juga, Raline melihat Noe berjalan mendekat. “Sst! Orangnya ke sini.” “Mana?” Diana mencari sosok yang Raline maksud, lalu langsung tersenyum menggoda sambil menutupi mulutnya dengan tangan. “Ops!” “Semoga aja dia enggak dengar ocehan lo tadi,” desis Raline penuh harap. “Ral, sebagai teman yang sangat tahu diri, sekarang waktunya gue menyingkir. Selamat bermesraan berdua.” Diana langsung berdiri tanpa mengindahkan tatapan protes Raline, lalu melambai dan menjauh.  “Kamu tidak bosan hanya diam saja di sini?” tegur Noe begitu tiba. Tangannya bergerak perlahan membuka tas dan mengambil minum. “Enggak kok, Pak.” Raline menjawab sambil berusaha tidak memperhatikan gerak-gerik Noe yang membuatnya terintimidasi. Pria itu pasti tidak sadar kalau tampilannya saat ini mampu membuat kaum wanita jadi gila. Rambut yang basah karena keringat. Peluh di sekitar wajah. Baju yang basah dan mencetak nyata lekuk tubuhnya yang sempurna. Semua itu merupakan godaan besar bagi fantasi liar para jomblo. “Tidak mau bergabung dengan saya?” ajak Noe. “Hm?” balas Raline setengah melamun. “Setelah ini saya mau tanding badminton dengan Iskan dan Diana, tapi saya belum ada partner. Kamu mau menemani saya? Kalau tidak ada partner yang menemani saya, pertandingannya mungkin harus dibatalkan.” “Mas Iskan sama Diana?” gumam Raline tidak percaya. Bagaimana bisa temannya itu akhirnya mendapat kesempatan tanding bersama sang gebetan? “Iya. Iskan memang jago, tapi jangan khawatir. Saya bisa mengatasi Iskan.” Sepertinya Noe berpikir kalau Raline ragu karena lawan tanding mereka adalah Iskan, padahal yang sebenarnya ia tengah geli memikirkan cara Diana berhasil menarik perhatian pemuda itu. “Kamu cukup jaga Diana saja.” Andai bukan mereka lawan tandingnya, hampir pasti Raline akan menolak. Namun, karena merekalah Raline jadi tertarik bergabung. Ia ingin menyaksikan sendiri momen kedekatan keduanya. “Tapi saya enggak bawa baju ganti, Pak.” “Ke atas dulu saja, Ral. Masih ada waktu,” usul Noe. Raline segera mengangguk setuju dan bergegas menuju unitnya untuk berganti pakaian. “Mau ke mana lo?” Diana entah yang datang dari mana langsung menghadang langkah Raline. “Ganti baju.” “Lo mau ikutan exercise?” tanya Diana antara geli dan takjub. Ia tahu ini pasti karena Noe. “Gara-gara lo,” balas Raline berlagak ketus. “Kenapa gara-gara gue?” Raline mengerling penuh arti. “Gara-gara lo main bareng gebetan, gue jadi enggak tega kalo sampai batal.” Seketika Diana mengerjap kaget. “Jangan bilang lo jadi pasangan gandanya Mas Noe?!” Raline mengangguk sambil mengulum senyum. “Beneran?!” seru Diana antusias. “Iya.” “Wuih! Double date kita!” seru Diana bahagia. “Jangan sembarangan!” tegur Raline sambil menatap waspada ke sekeliling. “Lo mau ke mana sekarang?” “Ganti baju.” “Mau gue temenin?” “Enggak usah!” tolak Raline cepat. “Idih! Judes amat dia!” “Males diledekin mulu sama lo, Na.” Raline sudah bisa membayangkan ejekan yang akan terus ia terima dari mulut Diana. “Ya udah jangan lama-lama ya!” Diana melambai geli ke arah Raline yang terus menjauh. Sekitar sepuluh menit kemudian, Raline kembali ke lapangan dan langsung disambut oleh Noe. “Sudah siap, Ral?” “Udah, Pak.” “Sudah pemanasan?” “Belum.” “Pemanasan dulu supaya tidak kram,” ujar Noe mengingatkan. Setelah melakukan pemanasan beberapa saat, Noe membimbing Raline menuju lapangan badminton untuk segera bertanding melawan Diana dan Iskan. “Kamu santai saja, Ral. Tidak perlu terlalu serius. Biar saya yang handle.” Raline mengangguk kecil dan mengikuti saja keinginan Noe. Ternyata, Raline menikmati juga pertandingan ini. Bermain ganda bersama Noe ternyata menyenangkan. Noe bisa menjaganya dengan baik, tetapi tidak memonopoli.  “Ternyata kamu mahir juga bermain badminton,” puji Noe setelah beberapa kali Raline mencetak skor dan menghindari serangan sulit dari Iskan. “Lumayan aja, enggak mahir, Pak,” sahutnya malu. Mereka kembali melanjutkan pertandingan dengan kerja sama yang kompak, hingga tiba-tiba sesuatu yang buruk terjadi. “Raline, awas!” Noe berteriak ketika melihat Raline limbung. Wanita itu tersandung kakinya sendiri ketika terburu mengejar kok yang menukik tajam ke arahnya. Noe segera berlari mengejar dan tepat sebelum tubuh Raline menyentuh lapangan, pria itu berhasil menahannya. Tubuh Raline memang tetap jatuh, tetapi tidak sampai terantuk keras.  “Kamu tidak apa-apa?” tanya Noe khawatir sambil mendekap tubuh Raline erat. “Gapapa, Pak,” bisik Raline antara terkejut dan gugup. “Bisa berdiri?” Noe bertanya sambil membantu wanita itu duduk. “Bisa.” Raline langsung mencoba bangkit, tetapi wajahnya langsung meringis. Pergelangan kakinya terasa nyeri. “Saya angkat saja, kita ke pinggir.” Noe langsung mengangkat tubuh Raline saat itu juga sambil berteriak ke seberang lapangan. “Iskan, kita sudahi dulu!” “Oke, Mas!” sahut Iskan sigap. Noe membawa Raline ke pinggir lapangan dan mendudukkannya di undakan batu. “Ral, tunggu di sini. Saya ambilkan spray dulu.” “Ral, lo gapapa?” tanya Diana khawatir yang baru tiba di sisi Raline. “Sakit dikit doang,” jawab Raline sambil meringis. “Semangat banget sih mainnya!” gerutu Diana. “Katanya males, tapi serius gitu.” “Ya gimana dong! Namanya tanding kan ya begitu,” sahut Raline malu. “Gapapa sih bagus juga.” Diana yang awalnya panik, langsung menemukan kembali alasan untuk tersenyum geli. “Jadi bisa jatuh ke pelukannya Mas Noe kan. Jatuh dulu aja di sini, lama-lama jatuh ke pelukan Mas Noe selamanya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN