10. Atasan Tampan

2209 Kata
Noe kembali setelah mengambil spray untuk cedera olahraga yang tersimpan di sport center. Tanpa bicara, ia duduk di sebelah Raline, mengambil jarak untuk menaikkan kaki wanita itu dan meletakkannya di pangkuan. Noe membuka sepatu Raline, kemudian menyemprotkan spray di sekitar pergelangan kaki wanita itu. Setelahnya, Noe kembali memakaikan sepatu di kaki Raline. Noe berdiri kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Raline. "Kamu bisa jalan?"  "Bisa, Pak." Raline langsung mengangguk tanpa mencobanya terlebih dahulu.  "Masih sakit kalau digerakkan?" tanya Noe ketika Raline mulai melangkah. "Enggak, Pak," jawab Raline berdusta. Namun, Noe terlalu pandai untuk bisa dibohongi. Ia bisa melihat dengan jelas kalau langkah wanita itu tertatih. "Kelihatannya masih sakit." "Eh?!" Raline berseru tertahan saat Noe mengangkat tubuhnya. “Jangan protes ya, Ral,” ujar Noe tenang. Ia berjalan tanpa peduli tatapan orang lain di sekitar mereka dan membawa Raline ke unit wanita itu dalam gendongannya. Tinggallah kasak-kusuk langsung terjadi di antara orang-orang yang melihat kejadian itu. "Ada apa sih sama mereka?" gumam Aina, salah satu gadis dari tim promosi yang terdeteksi menyukai Noe sejak lama. "Mereka siapa?" balas Diana pura-pura tidak paham. Meski dirinya suka sekali menggoda Raline, ia tidak ingin gosip mengenai kedekatannya temannya menyebar ke mana-mana. "Itu, Mas Noe sama Raline," sahut Aina. "Emang kenapa?" tanya Diana lagi. Aina mengedik gusar. "Kayak ada sesuatu yang mencurigakan di antara mereka." "Mencurigakan gimana?" Putri ikut bertanya. "Entahlah.” Aina menggeleng tidak suka. “Aura-auranya gimana gitu." "Maksudnya ada hubungan khusus gitu di antara mereka?" ujar Putri menegaskan. "Enggak tau juga sih.” Aina mengembuskan napas perlahan. “Cuma sikap Mas Noe kayak beda aja ke Raline." "Kata gue sih biasa aja,” ujar Diana cuek. Ia akan berusaha keras untuk menutupi pendar-pendar mencurigakan di antara Raline dan Noe. “Mas Noe kan emang baik sama semua orang. Kebetulan aja Raline cedera, jadi ya Mas Noe tolongin. Apanya yang aneh?" "Iya bener.” Putri mengangguk setuju. “Putri juga dulu pernah jatuh pas di set, Mas Noe tolongin. Emang perhatian banget kok, tapi buktinya sampai hari ini enggak ada kelanjutan apa-apa tuh." "Udahlah biarin!” celetuk Iskan tidak suka. Sejak tadi ia bisa mendengar obrolan para gadis itu karena posisinya yang tidak jauh dari mereka. “Kalau misalnya benar ada yang spesial di antara mereka, emang salah?" "Enggak sih.” Diana langsung mendukung ucapan Iskan. “Kan sama-sama masih single juga." "Bener tuh.” Putri mengangguk setuju. “Lagian …, somehow mereka emang kelihatan cocok loh." Aina yang merasa kalah suara hanya bisa memasang wajah kecewa. "Cuma sedih aja kalau akhirnya Mas Noe yang enggak pernah tersentuh itu jatuh juga ke tangan wanita." “Bilang aja lo kecewa karena maunya Mas Noe jatuh ke tangan lo, kan?” sindir Diana. Aina tidak menjawab lagi, ia hanya melenggang meninggalkan yang lain dengan perasaan dongkol. Sementara kedua orang yang jadi topik pembicaraan itu tengah berjalan menuju unit Raline dengan tenang, jauh dari keramaian kasak-kusuk di bawah. "Pak, tolong diturunin aja,” pinta Raline saat mereka berada di lift. “Saya bisa jalan kok, Pak." "Saya tahu kamu bisa, tapi dipaksakan. Biar saya gendong sampai unit kamu," tolak Noe tenang. Pria itu benar-benar menggendong Raline sampai mereka mencapai unit wanita itu. Di depan pintu, Noe menegur Raline yang sepertinya tengah melamun. "Tolong dibuka pintunya, Ral." "Eh, iya …, maaf!" ujar Raline terkejut. Seketika ia panik mencari kartu akses miliknya. "Kamu mau saya antar ke kamar?" tanya Noe begitu mereka sudah masuk ke unit Raline. "Enggak usah, Pak!” tolak Raline setengah panik. Cepat-cepat ia menunjuk satu-satunya sofa di ruangan itu. “Di sini aja." Noe menurunkan Raline di sofa, sesuai permintaan wanita itu. Setelahnya, ia berjongkok di sebelah Raline dan menaikkan kaki wanita itu ke atas lututnya. "Coba saya periksa lagi."  "Enggak usah, Pak," ujar Raline sungkan.  Noe menyentuh lembut pergelangan kaki Raline dan mengamatinya. "Agak membengkak, Ral. Kamu ada perban?" "Enggak ada, Pak." "Tunggu sebentar ya, saya ambil ke unit saya dulu.” Noe segera beranjak dari sana. Sebelum keluar, tidak lupa pria itu berpesan. “Pintunya biarkan terbuka saja, jadi kamu tidak perlu jalan untuk buka pintu buat saya." Anehnya, Raline tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan Noe. Inginnya ia bisa menolak atau mengusir, tetapi konyolnya lidah wanita itu selalu terkunci di hadapan Noe. Tidak sampai sepuluh menit Noe sudah kembali ke unit Raline dengan kotak medis di tangan. Ia kembali berjongkok seperti sebelumnya. "Mungkin akan sakit sedikit, tahan ya, Ral." Noe kembali memegang pergelangan kaki Raline yang mulai terlihat memerah dan membesar. Ditekannya beberapa titik kemudian mulai membebatnya dengan perban elastis.  Raline mengamati dalam diam ketika Noe mengurusinya sedemikian rupa. Jujur saja, bagi Raline perhatian seperti ini baru pernah didapatnya dari sosok pria dewasa yang bukan keluarga. Selama berpacaran dengan Kamal dulu, tidak pernah ada momen seperti ini. Mungkin karena usia mereka sebaya, jadi Kamal tidak terkesan dominan. Sementara Noe, selain usianya yang jauh lebih matang dari Raline, posisinya sebagai atasan pun pasti membuat pria itu terkesan dominan dan menguasai. Jadi, perhatian yang Raline rasakan pun jelas berbeda. "Nah, sudah selesai!" ujar Noe perlahan setelah kaki Raline terbebat dengan baik. "Makasih ya, Pak. Maaf jadi bikin repot," ujar Raline sungkan. Noe menggeleng kecil. "Saya yang minta maaf, Ral. Saya yang ajak kamu jadi partner tadi." "Gapapa, Pak." "Besok libur. Kamu tidak ada rencana ke mana-mana, kan?" "Memangnya kenapa, Pak?" "Kaki kamu kondisinya begini. Tidak memungkinkan untuk bepergian sendiri. Andai kamu mau pergi, biar saya antar." Diingatkan soal libur, Raline jadi meringis. "Sebenarnya saya ada rencana mau pulang ke rumah orang tua saya hari ini." "Kalau begitu biar saya antar," sahut Noe cepat. "Eh, jangan! Enggak usah, Pak!" tolak Raline panik. "Lalu kamu mau menyetir sendiri?" "Saya bisa minta jemput, Pak." "Rumah orang tua kamu di mana?" "Di Menteng, Pak." "Jauh juga dari sini, Ral. Siapa yang akan jemput kamu?" "Saya harus tanya dulu, Pak. Tapi kemungkinan besar yang bisa mama saya." "Ral, biar sama saya saja. Kasihan mama kamu harus menjemput jauh-jauh ke sini,” putus Noe tegas. "Jam berapa kamu mau ke sana?" "Rencananya begitu selesai kerja." "Berarti sekarang?" "Hm."  Perlahan Noe bangkit dari jongkoknya. "Keperluan kamu sudah disiapkan?" "Saya enggak bawa apa-apa, Pak. Cuma dompet dan handphone aja." "Kalau begitu kita berangkat sekarang saja." Kalau sudah begini, apa Raline bisa menolak lagi? Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah dan menerima saja semua yang Noe usulkan, meski perjalanan menuju rumahnya terasa demikian panjang karena sepanjang jalan Raline salah tingkah. Tiba di halaman rumah orang tua Raline, Aubrey langsung menyambut. Kebetulan wanita itu memang tengah duduk santai di teras rumah sambil menikmati teh. Ketika melihat sebuah mobil asing masuk ke halaman rumahnya, Aubrey langsung berdiri untuk menyambut sang tamu. Namun, begitu kaca terbuka, ternyata putrinya yang duduk di kursi penumpang. "Ral?" panggil Aubrey heran. "Ma, bantuin Ral dong!" pinta Raline sambil membuka pintu mobil. "Kamu kenapa?" Aubrey menatap curiga pada putrinya yang tidak langsung turun. Belum lagi ketika melihat perban di kaki Raline. "Kaki Raline terkilir tadi, Ma," ujar Raline meringis ketika berusaha turun. Aubrey maju mendekat dan memegang lengan putrinya. "Karena?" "Tanding badminton." Aubrey langsung berdecak gusar. "Ceroboh kamu tidak hilang-hilang juga." "Ma, marah-marahnya tahan dulu," pinta Raline malu. Saat ini masih ada Noe di dekatnya. Pria itu tadi sudah meminta Raline duduk saja dan ia yang akan membantu turun. Namun, Raline enggan. Ia tidak mau menimbulkan gosip di rumah. Jadi begitu mereka tiba, ia langsung membuka pintu meski Noe sudah mencegah. "Selamat sore." Noe yang tadi turun dengan terburu dan langsung mengitari mobil, kini tersenyum sopan pada Aubrey. Dengan sigap ia berpindah ke sisi Raline yang lain, lalu menggendong wanita itu. "Biar saya bantu."  "Sampai teras aja, Pak," ujar Raline salah tingkah. "Yakin?" tanya Noe sangsi. "Iya, Pak. Di sini banyak orang yang bisa bantu." Noe menurunkan Raline di kursi teras sesuai permintaan wanita itu. Ia tidak merasa terganggu meski tahu Aubrey mengamatinya dari belakang dengan tatapan penuh tanya. "Kalau begitu saya langsung pamit saja," ujar Noe pada Raline. Begitu berbalik badan, Noe langsung berhadapan dengan Aubrey. Ia hanya mengangguk sopan sambil tersenyum. "Permisi." "Siapa tadi?" tanya Aubrey setelah mobil Noe melaju meninggalkan halaman rumah mereka. "Atasan Ral." "Hanya atasan?" tanya Aubrey curiga. "Memangnya Mama pikir apa?" balas Raline dengan sikap defensif. Aubrey mengangkat bahunya cuek. "Teman kencan mungkin." "Ngaco!” omel Raline sebal. “Pak Noe cuma atasan Ral. Enggak lebih, Ma." "Oke.” Aubrey mengangguk geli. “Santai saja jawabnya, Ral. Tidak perlu heboh begitu." "Mama sih baru juga datang udah curigaan," gerutu Raline merajuk. "Justru karena kamu baru datang dan baru pernah diantar lelaki itu, Mama jadi curiga." "Mama ketularan Jett, deh!" ujar Raline keki. Kakaknya itu punya tingkat kecurigaan level tinggi yang membuatnya selalu berpikiran negatif tentang semua orang. Beruntung sekarang sifat mengerikannya itu perlahan sedikit terkikis setelah menikah dengan kakak iparnya. Terkadang Raline masih tidak habis pikir, bisa-bisanya Nayarra tahan menghadapi pria menyebalkan seperti Jett. Aubrey tidak peduli dengan kekesalan putrinya. Ia duduk perlahan di sebelah Raline, kemudian bertanya penasaran. "Coba ceritakan kenapa kaki kamu sampai mengenaskan begitu! Sampai harus diantar juga." "Enggak gimana-gimana, Ma. Cuma main, terus jatuh. Ya udah. Terus Pak Noe merasa bersalah karena minta Ral jadi partner dia. Jadi ya gitu." "Oke." Aubrey mengangguk kecil. Raline melirik curiga pada ibunya yang hanya mengucapkan satu kata sebagai respon. "Muka Mama nyebelin." "Ada yang salah dengan muka Mama?" tanya Aubrey dengan gaya tanpa dosa. "Enggak ada!" desis Raline jengkel. "Papa mana, Ma?" Aubrey melirik jam di tangannya. "Sebentar lagi pulang." "Sera?" "Jangan ditanya.” Aubrey memutar bola matanya. “Mana pernah dia ada di rumah sebelum jam sembilan malam." "Anak itu …," gumam Raline sambil ikut menggeleng juga. Seraphine dan dirinya memang sangat berbeda. Kalau Raline lebih suka belajar serius, Seraphine kebalikannya. Adiknya itu lebih senang main dan pesta. Bersenang-senang seolah dunia ini tanpa masalah. "Jett hari ini main ke sini enggak, Ma?" "Tadinya mereka mau ke sini, tapi sepertinya batal." "Kenapa?" tanya Raline sedikit kecewa. Padahal ia sudah berharap-harap bisa bertemu keponakan mungilnya yang baru lahir lima bulan lalu.  "Loan mendadak demam." Raline mengernyit sedih. "Loan sakit apa?" "Jett dan Arra belum yakin, tapi mungkin karena tumbuh gigi." "Sayang …, jadi enggak bisa main," desah Raline kecewa. "Kalau mau bertemu, kamu kan bisa ke sana." "Kaki Ral lagi gini, Ma." "Kan bisa sama Mama perginya. Mama yang nyetir, kamu tinggal duduk diam.” "Tapi Mama enggak bisa gantiin Ral gulat sama Cheri," gerutu Raline geli. "Ah, benar!” Seketika Aubrey terkekeh geli. “Anak itu kalau sudah bertemu kamu dan Sera …, habis semua." Gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu memang tidak pernah bisa tenang. Cheri akan melonjak heboh, menerjang dan berguling-guling dengan kedua tantenya sambil terpingkal-pingkal. Jarak usia mereka yang tidak jauh membuat hubungan tante dan keponakan itu lebih mirip kakak dan adik. Berbeda dengan Cheri yang heboh, Sebastian malah sangat tenang. Kembarannya itu selalu bersikap sangat dewasa, padahal usianya baru 12 tahun. "Lain waktu aja deh Ral main ke sana." Kedua wanita itu masih melanjutkan obrolan mereka sampai sebuah mobil lagi datang. Tanpa perlu melihat siapa yang turun, Raline sudah tahu orang yang duduk di dalamnya. "Kesayangan Papa!" seru Evrard bahagia melihat putri pertamanya. Ia bergegas meninggalkan mobil dan menghampiri Raline. Dipeluknya sang putri erat-erat dan menghujani kedua sisi pipinya dengan kecupan rindu. "Apa kabarnya, Cantik?" "Untung Sera belum pulang, Pa. Nanti bisa cemberut anak itu," gurau Raline geli. “Biar saja. Sera masih bisa Papa manjakan setiap hari sementara kamu sudah tidak,” sahut Evrard. "Kamu kapan datang?" "Baru sampai, Pa." "Sudah makan?" "Belum." "Kalau begitu kita bisa makan malam bersama," ujar Evrard senang. Membayangkan meja makannya tidak akan terlalu sepi malam ini membuat perasaan Evrard bahagia. "Ral mandi dulu ya, Pa." Wanita itu berusaha bangkit dari kursi, tetapi terlihat jelas ia kesulitan. "Cantik?" Evrard langsung menahan lengan putrinya. "Ya, Pa?" "Kaki kamu kenapa?" Tatapan khawatir terlihat jelas di mata Evrard. "Oh, ini …." Dan Raline menceritakan semua seperti yang sudah ia tuturkan sebelumnya pada Aubrey. "Kenapa tidak minta Papa jemput?" tanya Evrard gusar. "Sudah, Ev. Putrimu ini sudah dewasa,” tegur Aubrey geli sambil melemparkan tatapan penuh arti. “Sudah ada pria yang akan segera menggantikan kamu mengurusnya." "Siapa?" tanya Evrard dengan kening berkerut. "Mama!" protes Raline gusar. "Kenapa kamu berteriak? Mama benar, kan?" sahut Aubrey tanpa dosa. "Tapi Pak Noe bukan apa-apanya Ral, Ma. Cuma atasan." Evrard segera menatap istrinya, tidak peduli dengan sanggahan sang putri. "Ada apa dengan atasan Raline, Bre?" Aubrey mengedip jail. "Atasannya yang berwajah tampan tadi mengantar Ral ke sini." "Kenapa harus pakai disebut tampan sih, Ma?" protes Raline lagi. Evrard menatap Raline penuh selidik. "Benar atasan kamu tampan, Cantik?"  "Iya sih, Pa." Kalau soal ini, Raline terpaksa mengakui. Ia tidak bisa membantahnya.  "Nah, sudah mengakui sendiri dia!" Aubrey langsung terkekeh puas. "Lalu kamu dan atasan kamu itu ada hubungan khusus?" tanya Evrard ingin tahu. "Tuh kan, Mama!” gerutu Raline keki. “Bikin Papa jadi mikir yang enggak-enggak." Aubrey mengangkat bahunya tidak peduli. "Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa kamu jadi kesal?" "Cantik …?" tanya Evrard lagi. "Ral enggak ada apa-apa sama Pak Noe, Pa," ujar Raline lelah. Entah harus sebanyak dan sesering apa ia menyanggah anggapan orang-orang yang mengatakan jika ia dan Noe memiliki sesuatu yang khusus. "Baik, Cantik. Papa percaya." Evrard mengangguk kecil demi menenangkan putrinya yang sudah jengkel. Kalau ingin bertanya lebih jauh, nanti saja ia lakukan lagi. "Sekarang kamu mandi dulu, nanti kita makan bersama."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN