BAB 14. Aktris Sombong

1007 Kata
Dewa meringis kesakitan, beberapa helai bulu tangannya di cengkram hingga tercabut dari sana. Anak itu mengira ekspresi Dewa sebagai hal yang lucu, dia terkikik, mulut kecilnya yang ompong terbuka. Arsila merasa lucu, dia juga ikut tertawa dengan Darren. Ketika dia sedang tertawa, tangisan Darren tiba-tiba terdengar menggelegar. Arsila tercengang melihat Dewa yang balas mengigit lengan kecil putranya. "Bapak!" Arsila buru-buru mengambil Darren dari gendongan Dewa, menenangkan anak itu. "Kenapa digigit, Pak?" Arsila menatap lengan Darren yang terlihat belas cetakan gigi. "Dia cabut bulu lengan saya, kamu enggak protes." Dewa cemberut, merasa senang karena telah balas dendam. "Darren, kan, masih kecil. Kalau Bapak udah tua!" Arsila kesal dan marah atas apa yang Dewa lakukan. Dewa mendengus keras mendengar apa yang Arsila katakan. "Cup, cup, cup, Sayang. Yuk, nenen, aja, Yuk!" Arsila membuka tiga kancing depan pakaiannya, membiarkan Darren menyusu pada dia. Mata Dewa gelap melihat Arsila yang begitu alami menyusui Darren di depan dia. Menatap pipi putranya yang menggembung, matanya melotot, dan bibir mungilnya yang terus mengisap, Dewa tiba-tiba memikirkan sebuah ide. Dia berjalan lebih dekat pada Arsila, tiba-tiba mengulurkan tangan untuk membuat Darren lepas dari p******a Arsila. Sekali lagi, suara tangisan yang leras dah menggelegar terdengar. Arsila tercengang beberapa saat hingga akhirnya dia sadar. "PAK—!" Ketika Arsila ingin memarahi, dia melihat Darren sudah berlari pergi. Tawa berat Dewa terdengar di kejauhan. "Dasar! Udah tua tapi kekanak-kanakan!" rutuk Arsila sambil kembali menenangkan Darren. "Jangan nangis, Sayang. Ayo nenen, lagi. Nanti kita pukul papah, oke?" *** Di sore hari, ketika Arsila hendak memasak, dia baru sadar jika sayur di dalam kulkas telah habis. Arsila mengerutkan kening, untuk sesaat sibuk mencari-cari. "Ck. Pak Dewa enggak bisa makan kalau gak dan sayur." Arsila mengeluh, dia bangkit berdiri. Darren masih terjaga di stroller. Anak itu menggerakkan kaki dan lengan kecilnya ketika Arsila mendorong stroller keluar dari rumah. Tujuan Arsila adalah minimarket kecil yang berada tidak jauh dari kediaman Dewa. Arsila berjalan kaki, berpapasan dengan banyak orang tua atau suster yang sedang mengasuh anak-anak. "Mbak Arsila!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar ketika Arsila baru saja tiba di depan minimarket. Arsila menoleh, melihat Atika yang sedang menuntun putrinya, bergegas menghampiri. "Mbak Artika." Arsila balas menyapa dengan sopan. "Mau ke minimarket juga?" tanya Atika. Arsila menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya, Mbak. Sayuran di rumah udah habis. Pak Dewa mau makan pake sayur terus," jawab Atika. "Ih, sama Mas Graha juga. Pernah Mbak enggak masak sayur, dia ceramah soal serat atau apalah itu." Atika cemberut. Keduanya masuk ke dalam minimarket, berjalan menyusuri rak secara berdampingan. Sambil mendorong stroller, Arsila memilah sayur-mayur yang berjajar rapi di rak. Sayur terlihat sangat segar, Arsila memilih beberapa untuk stok. Belanja sore ini memakai uangnya, rencana Arsila adalah membiarkan Dewa menggantinya nanti. "Di sini kurang lengkap sayurannya, beda sama yang di depan." Artika berkomentar sambil memilih timun. "Iya, kah? Emang Mbak Atika biasa beli di mana?" tanya Arsila. "Ada satu lagi di depan. Lebih gede tokonya." Atika tiba-tiba mencondongkan dirinya pada Arsila, berbisik dengan suara pelan, "Kasirnya juga ganteng kalau di sana." Arsila tidak dapat menahan senyumnya mendengar Atika mengatakan itu. "Pak Graha nanti cemburu, loh, Mbak," ujar Arsila dengan suara menggoda. "Huh! Dia? Cemburu? Kalau kerjaannya di selesain orang lain mungkin, iya! Orang yang satu tahun cuma libur lima kali gitu, enggak mungkin cemburu!" Atika mengomel kesal ketika mengingat suaminya yang hobi dalam bekerja. Gania yang sedari tadi mengikuti ibunya merengek ingin membeli ice cream. Atika merasa pusing dengan rengekan putrinya, dia tidak punya pilihan selain membawa Gania ke tempat di mana ice cream berada terlebih dahulu. Sepeninggal Atika, Arsila kembali fokus memilih sayur. Dia melihat semangka yang hanya tinggal satu biji di rak. Arsila mengulurkan tangan, hendak mengambilnya ketika tangan lain mendarat lebih dulu di atas semangka. "Maaf, Mas. Duluan saya itu." Arsila merasa sayang pada semangka yang di ambil orang lain itu. Lawannya adalah seorang pria, memakai masker, topi, dan kaca mata hitam. Perawakannya tinggi dan sepertinya adalah pria yang tampan. Pria itu tampak menoleh pada Arsila, lalu pergi begitu saja dengan semangka di pelukannya. Kening Arsila bertaut, merasa pria itu tidak memiliki sopan santun sedikitpun. Di hari yang begitu panas, memakai pakaian tebal, kacamata, masker, serta topi, Arsila hampir mengira jika pria itu adalah pencopet. Kesal sebentar, Arsila kembali melanjutkan belanjanya. Selain membeli sayuran, dia juga membeli beberapa camilan dan minuman manis. Setelah itu dia pergi ke kasir untuk membayar. Arsila keluar dari minimarket, melihat pria yang tadi mengambil semangkanya, sedang memasuk-masukan barang ke dalam bagasi mobil. Ada juga seorang wanita cantik di sebelahnya, entah sedang mengatakan apa, akan tetapi Arsila melihat gerakan-gerakan kasar yang wanita itu lakukan. Wanita itu terlihat sangat familiar bagi Arsila, akan tetapi dia lupa melihatnya di mana. "Barbie Yunia, yang artis itu." Suara Atika terdengar lagi. Arsila menoleh, melihat Atika sudah selesai berbelanja, berdiri di sampingnya. "Barbie Yunia?" Arsila akhirnya teringat bahwa dia pernah melihat wanita itu di tv. "Kenapa dia marah-marah?" tanya Arsila dengan heran. "Ck. Di tv gayanya kaya malaikat, tapi orang-orang di perumahan ini tau dia sombongnya minta ampun. Judes juga. Itu laki-laki asistennya, tapi setiap hari di marahin terus sama si Barbie itu." Atika menjelaskan. Arsila mengangguk-anggukkan kepalanya, dia tidak menyangka seorang aktris yang mempunyai reputasi baik bagaikan malaikat, kenyataanya sebaliknya. "Oh, kamu enggak tau, kan? Dia juga suka sama pak Dewa." Atika kembali berkata. "Waktu pak Dewa nikah sama mantan istrinya, dia nangis, ngamuk-ngamuk. Malu-maluin." Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang berlebihan. "Kok enggak viral?" tanya Arsila, dia tahu bahwa sekarang adalah jamannya viral, apa pun yang dilakukan oleh orang lain bisa berpotensi memancing opini publik. Apalagi Barbie yang notabenenya adalah seorang publik figur. "Jangan lupa dia tinggal di perumahan kaya. Orang-orang enggak suka ikut campur. Reporter juga enggak bisa masuk ke sini secara sembarangan," jawab Atika. Keduanya kembali berjalan pulang. Arsila masih menatap Barbie yang memarahi asistennya, ketika Barbie tiba-tiba menoleh dan melotot padanya, Arsila buru-buru memalingkan wajah dengan panik. Di tengah jalan, keduanya tiba-tiba melihat dua pria sedang berdiri di pinggir jalan, tampak sedang mengobrol. "Mas Graha?!" panggil Atika pada suaminya. Satu pria lainnya adalah Dewa. "Pak Dewa kenapa di sini?" tanya Arsila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN