Bab 13. Buatkan Saya Kopi

1001 Kata
Tukang yang memperbaiki saluran air datang di siang hari. Sementara bapak-bapak itu sibuk memperbaiki kamar mandi di lantai atas, Arsila berinisiatif untuk menggoreng pisang dan tempe untuk dinikmati para pekerja itu. Dia juga membuatkan kopi untuk mereka. "Makasih, Mbak," ucap salah satu tukang pada Arsila. Arsila tersenyum, meletakkan sepiring gorengan dan kopi di atas meja. "Gak pa-pa, di rumah juga cuma punya ini." Dia tumbuh besar di kampung, sudah terbiasa bersosialisasi dengan para pekerja seperti ini. "Wah, nambah semangat kalau ada gorengan!" celetuk salah satu dari mereka, dia mengambil gorengan di atas piring, memakannya sambil membuat raut wajah kepanasan. "Ati-ati, Pak. Masih panas, ini." Arsila terkejut dengan apa yang bapak itu lakukan. "Namanya juga gorengan, Mbak. Di makannya harus pas panas-panas, kalau udah dingin kenikmatannya berkurang." Yang lain mengikuti, mengambil gorengan dan langsung memasukannya ke dalam mulut mereka. Arsila banyak mengobrol dengan mereka, sesekali tertawa karena jokes yang bapak-bapak lontarkan. Itulah pemandangan yang Dewa lihat ketika membuka pintu kamar yang kamar mandinya sedang diperbaiki. Melihat Arsila yang banyak tertawa bersama para tukang air, kening Dewa bertaut, bertanya-tanya apa yang sedang mereka bicarakan hingga Arsila tampak begitu senang. "Arsila," panggil Dewa pada Arsila. Arsila dan para tukang itu menoleh secara bersamaan. "Suaminya manggil, Mbak," ujar salah satu dari mereka. "Bukan—" Arsila ingin menyangkal, namun suara Dewa terdengar lagi. "Kamu sedang apa?" tanya Dewa, berjalan mendekati Arsila. Dia juga melirik para tukang di belakang Arsila, yang membuat mereka bergegas melanjutkan pekerjaan. "Oh, ini, saya habis nganterin gorengan, Pak," jawab Arsila, sama sekali tidak merasa ada yang salah. "Buatkan saya kopi!" titah Dewa dengan wajah tanpa ekspresi. "Darren juga nangis, cek sana!" Arsila bingung apa yang membuat Darren begitu ketus. Dia mengangguk, pamit kepada para tukang sebelum akhirnya keluar dari kamar. Darren ditidurkan di lamar Dewa. Ketika Arsila masuk, anak itu masih tertidur, tidak menangis seperti aoa yang Dewa katakan. Arsila kebingungan, sedikit kesal karena Dewa membohonginya. "Dasar!" Arsila berbalik, keluar dari kamar Dewa. Dia lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Selesai membuat kopi untuk Dewa, Arsila berjalan menuju tempat di mana pria itu berada. Ruang keluarga. Dewa sedang bersantai sambil menonton tv. "Pak!" panggil Arsila dengan kesal. "Bapak bohong, ya? Katanya Darren nangis, saya cek, enggak, tuh!" Arsila meletakan secangkir kopi itu di atas meja kecil. "Oh, ya?" Ekspresi Dewa terlihat sangat santai, dia mengambil kopinya, menyeruput dengan pelan. "Kalau begitu kayaknya saya salah dengar." Arsila menatap Dewa dengan tatapan tidak percaya, ingin sekali rasanya dia memukul kepala pria itu dengan vas bunga besar di pojokan. "Lain kali cek dulu!" Dewa mengedikkan bahu dengan acuh ketika dia melihat berbalik dan hendak pergi. "Mau ke mana?" tanya Dewa. "Ke kamar tadi," jawab Arsila. "Ngapain? Di sini aja!" titah Dewa. "Pak, mereka, kan, kerja. Pasti butuh temen ngobrol," balas Arsila. Dewa menatap Arsila. "Saya juga butuh temen ngobrol. Sini, duduk di sini!' Arsila berpikir bahwa Dewa bertingkah aneh hari ini. Dia melangkah, berjalan mendekati Dewa. Wanita itu duduk di sofa. "Bapak nontonnya berita, saya pengen sinetron," ujar Arsila setelah beberapa menit dia menemani Dewa. Wanita itu merasa bosan karena tv terus menayangkan berita. Entah berita dalam negeri atau luar negeri. "Nonton berita banyak manfaatnya, kita bisa tau berbagai informasi di sana," kata Dewa. "Sinetron juga banyak manfaatnya." Arsila tidak mau kalah. "Ha? Saya baru dengar acara tv tidak jelas seperti itu ada manfaatnya." Dewa menunjukan senyum miring, terlihat sangat meremehkan. "Banyak, Pak. Sinetron itu memberi kita pelajaran hidup. Bapak, mah, mana tau!" *** Para tukang selesai memperbaiki kamar mandi satu jam kemudian. Mereka berpamitan dan pergi setelah di bayar. Dewa dan Arsila melihat hasil pekerjaan mereka, Dewa mengangguk puas ketika itu dilakukan dengan benar. Arsila juga senang karena dia tidak perlu mandi di kamar mandi Dewa lagi. Setelah itu Arsila membuat makan siang untuk dirinya dan Dewa. Arsila sibuk di dapur, sedangkan Dewa duduk di meja makan sambil melihat koran. Arsila bertanya-tanya manusia purba mana yang jaman sekarang masih membaca koran. Setelah masakan selesai, tiba-tiba terdengar suara tangisan Darren yang menggelegar. "Makan dulu!" titah Dewa saat melihat Arsila yang terburu-buru pergi. "Kasihan, Pak. Mungkin takut karena bangun sendirian doang. Saya makannya nanti aja." Arsila pergi ke lantai dua, menghampiri Darren di kamar. Saat Arsila masuk, dia melihat anak itu yang menangis keras, tubuhnya tertindih bantal, Arsila dengan cepat menyingkirkan batal itu dan membawa Darren ke dalam gendongannya. Darren yang masih terisak membenamkan wajahnya pada ceruk leher Arsila. Anak itu masih sesenggukan sambil memanggil 'mamama' seperti biasa. "Cup, cup, cup. Anak ganteng, gak, nangis, ya, Sayang." Arsila mengusap punggung anak itu dengan lembut. "Yuk, ke bawah, yuk." Anak itu di bawa turun ke lantai bawah, Arsila kembali menemui Dewa dir uang tamu. "Kenapa dia nangis?" tanya Dewa ketika melihat wajah putranya yang semerah apel. Tersenyum, Arsila mempunyai ide di otaknya. Dia menaruh Darren dalam pelukan Dewa tanpa sempat pria itu menolak. "Katanya pengen di pangku bapaknya!" Arsila sendiri duduk di samping Dewa tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Arsila, dia akan nangis lagi," ujar Dewa saat melihat mata anak itu berkaca-kaca ketika menatapnya. "Coba benerin posisi duduk dia, Pak." Arsila memberi saran. Dewa menurutinya, dia dengan kaku mengubah posisi duduk Darren agar lebih nyaman. Gerakannya agak pelan karena takut jika dia menggunakan kekuatan sedikit, tulang anak itu akan remuk. Tatapan mata Darren terpaku pada Arsila. Matanya masih berkaca-kaca dan terisak, tidak lupa bibir mungilnya yang mengerucut. Darren melambaikan tangan, memberi isyarat agar Arsila memeluknya. "Darren sama, Papah, ya." Arsila mengusap pipi anak itu yang penuh dengan air mata. "Dadadada." Darren mengoceh, tubuh kecilnya menggeliat dari pangkuan Dewa. "Diam!" Dewa dengan pelan memukul p****t anak itu. Daren kecil tampaknya kesal pada sang ayah, dia menundukkan kepalanya, mengigit lengan kokoh Dewa. Akan tetapi karena Darren masih belum tumbuh gigi, gigitan itu tidak terasa apa pun selain geli. Hanya meninggalkan genangan air liur di lengan Dewa. "Bah!" Darren juga tidak lupa menampar lengan Dewa. Dewa pada awalnya santai, namun tiba-tiba rasa sakit datang dari lengannya. Ketika Dewa menoleh pada Darren, anak itu sedang mencabuti bulu lengannya yang cukup lebat. "Darren!" Arsila tertawa, mengingat genggaman anak kecil sekuat baja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN