Bab 01. Pekerjaan

1102 Kata
"Maaf, Sil, di saat seperti ini Bibi sama Om enggak bisa banyak bantu kamu soal biaya." Seorang wanita parubaya berkata dengan nada melankolis pada seorang wanita muda di depannya. "Enggak pa-pa, Bi. Jangan khawatir, aku bakalan berusaha buat cari uang buat biaya pengobatan ibu." Wanita muda itu adalah Arsila Anita, seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun. Ayahnya baru saja meninggal lima bulan lalu, dan baru satu bulan lalu dia mengetahui penyakit ibunya, yaitu leukemia. Ibunya menderita leukimia, penyakit yang begitu serius dan harus dilarikan ke rumah sakit luar negeri untuk pengobatan. Arsila tidak mempunyai uang sepeserpun usai pemakaman ayahnya, tidak ada kerabat yang bisa membantunya menanggung biaya pengobatan juga karena buayanya yang di luar imajinasi orang kampung seperti mereka. "Ini, bibi sama om cuma punya segini buat ongkos kamu." Bibi Arsila, Surtinah, menjejalkan amplop berwarna putih di tangan Arsila. "Bi—" Mata Arsila berkaca-kaca, tidak tahu bagaimana lagi harus berterima kasih pada adik ipar dari ibunya itu. "Jangan menolak, Sil. Bibi janji akan menjaga ibu kamu selama kamu kerja cari uang buat buat pengobatan di kota. Kamu jangan khawatir, selagi Bibi dan om kamu punya uang, kita enggak akan pernah membiarkan ibu kamu kelaparan." "Makasih," ucap Arsila dengan air mata berlinang. "Sst, jangan nangis. Ayo, berangkat, nanti kamu ketinggalan bus!" Surtinah bangkit berdiri, satu tangannya memegang tas berisikan barang-barang Arsila yang akan wanita itu bawa ke kota. Mereka keluar dari rumah, menghampiri seorang pria yang sedang berdiri di samping sebuah mobil bak terbuka yang terparkir di depan rumah Surtinah. "Sila pamit dulu, Bi." Arsila menyalami punggung tangan Surtinah. "Hati-hati di jalan!" Lengan Surtinah terulur, mengelus surai hitam Arsila. Arsila mengangguk, dia mengambil tas besarnya dari Surtinah dan masuk ke dalam mobil bak terbuka. "Kita jalan dulu kalau gitu!" Pria parubaya yang mengendarai mobil itu melambai pada Surtinah. Mobil lalu melaju meninggalkan halaman rumah. Arsila menatap nanar pada rumah dan kampung halamannya yang sudah dia tinggali selama dua puluh dua tahun ini. Selama ini ayahnya selalu menjaga dia dan melarangnya bekerja, bahkan setelah lulus SMA, Sila tidak pernah diizinkan bekerja sekali pun. Dia tidak menyangka jika sekarang semuanya akan berubah, sejak kematian ayahnya. *** "Kamu beneran Sil, mau nerima kerjaannya?" tanya Winda, sahabat Sila yang sudah tiga tahun merantau di ibukota. Sila baru saja tiba dua jam lalu di kontrakan yang Wanda tempati. Dia beristirahat di sana, menghilangkan rasa lelahnya karena 5 jam perjalanan di bus. "Terus aku harus kerja apa, Wan? Memangnya kamu punya info lowongan yang gajinya gede?" Arsila balik bertanya sambil dia membongkar tasnya dan mengeluarkan beberapa camilan yang bibinya berikan. "Kan, bisa kerja yang lain. Kalau orang di kampung tau kamu kerja kaya gitu—" "Wan, aku enggak punya pilihan." Arsila menghela nafas dengan tidak berdaya. "Aku butuh kerjaan yang gajinya besar dan instan. Aku berterima kasih sama kamu, Wan. Kalau bukan info dari kamu, aku pasti lagi nangis kebingungan di kampung sekarang." Melihat mata Arsila yang penuh dengan tekad, Wanda tidak bisa melakukan apa pun selain mengangguk. Dia merasa hati nuraninya terluka karena telah memperkenalkan Arsila pada pekerjaan yang menurut mereka adalah hal yang tabu. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Beberapa minggu lalu Arsila menghubunginya sambil menangis dan bertanya apakah ada pekerjaan di kota, Arsila juga menceritakan penyakit yang di derita ibunya. Saat itu Wanda bertanya-tanya pada teman-temannya di tempat kerjanya apakah ada lowongan kerja yang gajinya besar. Dan salah satu temannya mengatakan jika dia tahu lowongan kerja yang gajinya besar. Ibu s**u bagi bayi. Gajinya bisa sampai sepuluh juta untuk satu bulan. Saat mendengar itu, Wanda senang sekaligus ragu, dia ragu apakah harus mengatakannya pada Arsila atau tidak. Namun, setelah banyak berpikir, Wanda akhirnya memberitahu Sila tentang pekerjaan itu. Ketika Arsila mendengar gaji yang di sebutkan, dia setuju tanpa pertimbangan. Beberapa minggu kemudian, di sinilah dia sekarang, beristirahat di kontrakan Wanda untuk satu hari karena besok dia harus pergi ke rumah orang yang membutuhkan ibu s**u untuk anak mereka. "Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku Sil. Aku janji aku nggak akan ngomong apa pun sama orang lain tentang pekerjaan kamu di sini." Sila tersenyum dan mengangguk, berterima kasih pada Wanda. *** Keesokan harinya, sila bangun dari tempat tidur dan tidak menemukan Wanda di mana pun. Ketika dia keluar dari kamar, Sila melihat sepiring nasi goreng di atas meja beserta catatan di atas kertas. 'Aku berangkat kerja duluan, Sil. Jangan lupa sarapan.' Sila tampa sadar senyum melihat sarapan yang di tinggalkan oleh Wanda. Hatinya menghangat, bila merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Wanda yang mau membantunya di saat dia kesulitan. Mandi, berpakaian, dan sarapan. Sila bergegas keluar dari rumah kontrakan itu, mengunci pintu, lalu pergi untuk berangkat ke alamat yang diberikan teman kerja Wanda padanya menggunakan angkutan umum. Ini pertama kalinya Sila menggunakan angkutan umum di kota lain. Karena takut salah, dia memberikan secarik kertas berisikan alamat itu pada sopir. Di sepanjang perjalanan, Sila menatap sekelilingnya. Ibu kota memang lebih ramai dari kota kecil tempatnya tinggal. Banyak gedung-gedung tinggi, orang-orang berseragam kerja yang berlalu-lalang, dan pasangan yang terlihat berkeliaran pada sebuah taman di kejauhan. "Mbak, ini udah sampe di alamatnya!" Sopir angkutan umum berteriak pada Sila. Sila buru-buru turun dari angkutan umum, dia mengambil secarik kertas itu lagi dan membayar ongkos pada sopir. "Kompleknya ada di depan, Mbak jalan aja terus, nanti ada komplek perumahan mewah. Angkot saya enggak bisa masuk ke sana soalnya!" kata Sopir angkutan umum itu pada Sila. Mengangguk, Sila berpamitan, lalu dia berjalan menuju alamat yang di maksud. Hanya bermodalkan secarik kertas, Sila akhirnya tiba di gerbang masuk komplek perumahan yang sangat besar. Dia juga bertemu dengan dua satpam yang berjaga dan menanyainya. Sila menjawab bahwa dia adalah pengasuh baru yang akan bekerja di salah satu rumah. Tidak lupa dia memberikan kertas itu. Setelah lolos dari satpam, Sila berjalan masuk ke dalam kawasan komplek perumahan. Bibirnya terbuka, terperangah dengan deretan rumah mewah di sekitarnya. Rumah-rumah mewah itu dikelilingi oleh pagar yang begitu tinggi, beberapa di antaranya terdapat mobil mewah yang terparkir di depan. "Rumah Brawijaya nomor 004, warna cream." Sila membaca ulang kertas di tangannya sambil mencocokan dengan rumah setiap rumah yang dia lihat. "Iya, bener, yang ini," gumam Sila dengan sedikit bersemangat. Ketika wanita itu sedang melihat-lihat, seorang satpam yang menjaga rumah mendatangi dia. "Mbak Arsila Anita?" tanya satpam itu. Sila berbalik, terkejut mendengar namanya diucapkan oleh orang yang tidak dia kenal. "I-iya, saya Arsila Anita." "Kalau gitu masuk aja, Mbak. Pak Dewa sudah menunggu di dalam!" Sila mengangguk tanpa sadar, kakinya melangkah masuk ke dalam gerbang rumah mewah yang berdiri kokoh layaknya istana ini. Dadanya berdegup kencang karena gugup, perutnya bahkan sedikit sakit. Ini pertama kalinya dia akan bekerja, itu pun pekerjaan yang seharusnya tidak dia lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN