Bab 02. Membuatkan Asi

1139 Kata
Masuk ke dalam gerbang besar, Sila kembali dibuat terperangah. Taman yang luas, deretan mobil yang berjajar rapi di ruang terbuka, serta air mancur yang tampak sangat mempesona di bawah sinar matahari. Sila mengikuti langkah kaki satpam yang membawanya, mereka masuk ke dalam rumah dengan nuansa putih dan abu-abu itu. "Pak, pengasuh baru sudah tiba." satpam itu memberi laporan pada pria yang duduk di sebuah sofa yang membelakangi mereka. Arsila yang berdiri di belakang satpam, menatap bagian belakang pria itu dengan gugup. Jantungnya berdegup kencang, Arsila takut jika dia salah melangkah sedikit saja, maka pekerjaan ini akan hilang. Pria yang membelakangi mereka tiba-tiba bangkit berdiri dan berbalik, menatap Arsila yang tampak pengecut seperti burung puyuh. "Duduk!" Suara bariton pria itu datang, membuat Arsila terperanjat kaget. "Mbak," bisik satpam di sebelah Arsila, memberi isyarat untuk menghampiri bosnya. Arsila mengangguk, buru-buru berjalan menghampiri pria itu dengan kepala tertunduk. "Uh-ha-halo, saya Arsila Anita." Arsila merasa lidahnya seperti terikat sekarang hingga dia tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan benar. "Silahkan duduk!" perintah pria itu kembali terdengar. Bagaikan kerbau yang di cucuk hidungnya, Arsila menurut, dia dengan hati-hati duduk di sofa empuk, duduk berseberangan dengan pria yang akan menjadi bosnya. Kepala Arsila berdengung, ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria yang memiliki aura tekanan yang begitu kuat. Arsila bahkan tidak berani bernafas dengan keras. "Jangan gugup," ucap pria di depannya. "Saya Dewa, anak yang akan kamu asuh adalah anak saya." Dewa kembali melanjutkan ucapannya. Arsila mengangguk seperti ayam yang mematuk nasi. "I-iya, Pak Dewa!" Suaranya sangat keras hingga membuat Dewa terkejut. Pria itu begitu kaget hingga tidak bereaksi untuk beberapa saat. Ketika Arsila menyadari bahwa suaranya tadi terlalu bersemangat, dia segera menutup mulut dengan canggung dan panik. "M-maaf, Pak. Saya baru pertama kali kerja!" Arsila menundukkan kepalanya lebih rendah karena merasa bersalah. "Pertama kali?" tanya Dewa, menatap Arsila dengan alis terangkat. "Berapa usia kamu?" "Dua puluh dua tahun, orang tua saya tidak mengizinkan saya bekerja," jawab Arsila dengan pelan. Dewa menganggukkan kepalanya, ini pertama kalinya dia melihat seorang wanita yang sudah berusia dua puluh dua tahun akan tetapi belum memiliki pengalaman kerja apa pun. "Apa kamu pernah menikah?" tanya Dewa lagi. Meskipun bingung mengapa Dewa bertanya tentang hal itu, Arsila tetap menjawab dengan jujur. "Belum, Pak." "s*x?" Dewa kembali bertanya. "Hah?" Arsila tiba-tiba mendongak, keningnya bertaut, dia tidak mengerti apa maksud Dewa. Melihat bahwa wanita di depannya tidak mengerti, Dewa mengganti pertanyaannya. "Kamu masih perawan?" Arsila lantas mengangguk. Tatapan Dewa tiba-tiba berubah menjadi tertarik. "Kamu sudah tahu apa pekerjaan kamu, kan?" "I-iya, Pak." "Kamu bekum pernah melahirkan, itu berarti p******a kamu belum menghasilkan asi," ucap Dewa sambil melirik d**a Arsila yang membusung di balik kaus yang dia kenakan. Arsila merasa tidak nyaman dengan tatapan langsung Dewa padanya. "Iya." Dia tidak punya pilihan selain mengangguk. "Besok saya akan membawa kamu ke dokter untuk berkonsultasi tentang itu. Sekarang ikut saya ke lantai atas, anak saya ada di sana." Dewa bangkit berdiri, memberi isyarat pada Arsila agar mengikutinya. Wanita muda itu ikut bangkit, mengikuti Dewa naik ke lantai dua rumahnya. Dewa berhenti di depan pintu sebuah kamar berwarna coklat, pria itu lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Arsila dikejutkan ketika dia melihat bayi kecil yang berbaring di box bayi sambil menutup matanya. "Ini, berapa umurnya?" tanya Arsila. "Tiga bulan," jawab Dewa dengan acuh. Arsila menatap Dewa dan bayi yang tertidur itu secara bergantian, dia bertanya-tanya mengapa bayi sekecil itu butuh ibu s**u pengganti alih-alih ibunya sendiri yang memberikan asi untuknya. Arsila ingin bertanya pada Dewa, namun dia tahu bahwa mempertanyakan hal itu akan sangat tidak sopan. Dewa juga sepertinya tidak berniat menjelaskan semua itu pada Arsila. "Tugas kamu menyusui anak saya dan mengurusnya selama dua puluh empat jam dalam sehari. Karena anak saya masih kecil, kamu sebaiknya tidur di kamar ini. Tenang saja, kerja keras kamu enggak akan sia-sia, saya akan berikan sepuluh juta setiap bulan sebagai gaji kamu. Bagaimana? Apa ada hal yang membuat kamu keberatan?" Dewa menatap Arsila dengan tatapan tenang. Arsila mengangguk tanpa ragu, tidak ada yang harus dia ragukan saat ini. Yang terpenting adalah mendapatkan banyak uang untuk pengobatan ibunya, tidak masalah jika dia harus menyusui anak orang lain. "Oke, kamu bisa istirahat dulu. Hari ini saya harus ke perusahaan, kalau ada apa-apa atau butuh apa pun, kamu bisa menghubungi nomor ini." Dewa memberikan kartu nama berisikan deretan nomor telepon pada Arsila. "Baik, Pak!" Arsila mengangguk dengan patuh. Dewa mengangguk dengan puas, dia sama sekali tidak meragukan Arsila karena sebelumnya Dewa telah mengumpulkan informasi tentang Arsila. Dari mulai kerabat, kehidupannya di kampung, dan bahkan karakternya dalam bersosialisasi dengan para tetangga. Arsila menghela nafas lega setelah Dewa keluar dari kamar. Dia sangat lelah mencoba bernafas sangat pelan sedari tadi. Arsila mendudukkan pantatnya di atas sebuah sofa panjang yang berada di dalam kamar, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, dia lagi-lagi menghela nafas. Matanya melihat ke sekeliling, dia heran bagaimana bisa bayi sekecil itu di tempatkan dalam kamar sebesar ini. Saat ini, ponsel dalam tas selempang Arsila tiba-tiba berdenting, menandakan sebuah pesan masuk muncul. Wanda: Sil, gimana kerjaannya? Arsila membacanya dan dengan cepat membalas pesan dari sahabatnya itu. Arsila: Udah, Wan. Makasih, ya. Nanti kalau aku cuti aku main-main ke kontrakan kamu lagi. Setelah itu dia kembali memasukan ponselnya ke dalam tas. Arsila berbaring di atas sofa, kelopak matanya terasa berat ketika kepalanya menyentuh bantal sofa yang empuk. Segala sesuatu di sekitarnya menjadi buram, dan Arsila tanpa sadar tertidur. *** Dalam tidurnya, Arsila bermimpi. Dia bermimpi bahwa dia menggendong seorang bayi yang menangis. Arsila terkejut, dia lantas terbangun secara tiba-tiba dan menyadari jika tangisan bayi itu nyata. "Aduh, aku lupa sama bayinya!" rutuk Arsila dalam hati. Dia bangkit berdiri dengan sedikit terhuyung, menghampiri bos bayi di samping sofa, Arsila dengan hati-hati mengangkat bayi kecil itu ke dalam pelukannya. "Sst, sst. Jangan nangis, Sayang." Arsila dengan cekatan membujuk. Menenangkan anak-anak bukan hal yang sulit bagi Arsila, ketika dia berada di kampung, banyak anak-anak tetangga yang tumbuh di bawah asuhannya. Meski belum menikah dan memiliki anak, Arsila sudah sangat mahir dalam mengurus seorang anak. Melihat jam yang menunjukan pukul empat sore, Arsila menyadari jika anak dalam pelukannya kemungkinan besar lapar. Dia membawa anak itu keluar dari kamar, turun ke lantai pertama menuju dapur. Dapur lenggang, tidak ada siapa pun di rumah sebesar itu. Arsila mengobrak-abrik dapur, mencari sesuatu agar bisa meletakan bayi kecil itu selagi dia membuat s**u. Tidak lama kemudian, tatapan Arsila jatuh pada stroller bayi yang di letakan di sudut. Dia dengan susah payah mengambilnya, dengan hati-hati meletakan bayi mungil itu di dalam stroller. "Bentar, ya. Kakak mau buatkan kamu s**u dulu!" stroller bayi diletakan tidak jauh dari Arsila, masih terdengar rengekan-rengekan kecil dari bayi itu. Arsila menemukan s**u formula di atas meja marmer, dia dengan cepat membuat sebotol s**u. s**u itu di dinginkan untuk beberapa saat, kemudian setelah dingin, Arsila kembali mengambil bayi dalam stroller, memberikannya s**u sambil memeluknya. Dia sendiri duduk di atas meja makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN