Bab 03. Dewa Melihat Arsila Menyusui

1050 Kata
Keesokan harinya, seperti yang di katakan oleh Dewa, dia membawa Arsila ke dokter untuk berkonsultasi tentang asi. "Jadi lo serius," ucap dokter muda yang duduk di seberang Arsila dan Dewa. Pria yang memiliki nametag dr. Nathaniel itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm," balas Dewa. Arsila tidak mengerti apa yang keduanya bicarakan, dia hanya duduk di sana sambil memeluk bayi kecil di pangkuannya. Bayi kecil itu terlalu kecil untuk di tinggalkan sendiri, Arsila memilih untuk membawanya hari ini. "Wanita yang belum memiliki anak bisa mengeluarkan asi. Namanya induksi laktasi. Ibu harus lebih sering memberikan stimulasi dengan cara membiarkan bayinya menyusu bahkan jika belum ada asi yang keluar. Melakukan pijatan rutin pada p******a dan lebih efektif lagi kalau—" Nathaniel tiba-tiba menghentikan penjelasannya, menatap Dewa dengan tatapan menggoda. Dewa menaikan sebelah alisnya, bahkan Arsila yang pemalu di sampingnya penasaran dengan apa yang akan dokter itu katakan. "—kalau ayah bayi itu yang memijat p******a ibu." Arsila melotot mendengar lanjutan dari kalimat Nathaniel. Rona merah tanpa sadar menyebar dari pipi hingga ke telinganya. "Nathan." Dewa menatap Nathaniel dengan tatapan memperingati. Nathaniel tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Tapi gue serius. Akan lebih cepat kalau lo yang memijat secara rutin, itu akan lebih merangsang keluarnya asi." "I-itu dok, Pak Dewa bukan suami saya." Arsila dengan rasa malu yang masih melekat akhirnya berbicara. Nathaniel tertawa lagi. Tentu saja dia tahu Arsila bukan istri Dewa, dia ingat jika mantan istri Dewa kabur bersama kekasihnya setelah melahirkan satu bulan lalu. Dia merasa Arsila sangat unik untuk menganggap bahwa pria dan wanita yang bisa melakukan hal itu hanya suami-istri. "Nathaniel, stop." Dewa menghela nafas mendengar tawa Nathaniel yang tidak ada habisnya. Pipi Arsila terlihat sangat merah hingga terlihat seperti kepiting rebus. Bayi dalam pelukannya merengek, mulut kecilnya terbuka dan tertutup. Arsila berpura-pura sibuk menenangkan si kecil. Nathaniel dan Dewa lanjut mengobrol, Arsila yang berada di dekat mereka sama sekali tidak mengerti apa yang ke dua pria itu bicarakan. Kadang-kadang Nathaniel akan berbicara dalam bahasa inggris sambil meliriknya dengan tatapan samar. Arsila sendiri tidak bisa berbahasa inggris dan dia tidak mengerti. Selesai berkonsultasi, Dewa membawanya keluar dari rumah sakit. Mereka masuk ke dalam mobil, dengan Dewa yang duduk di kursi kemudi dan Arsila di sampingnya sambil memeluk bayi kecil. Mobil melaju dengan tenang, baik Dewa mau pun Arsila tidak ada yang bersuara. Bayi kecil di pelukan Arsila sesekali merengek dan mengoceh dengan suara yang tidak jelas. "Kita ke perusahaan dulu, gak akan lama. Kamu mau nunggu di mobil atau turun?" tanya Dewa ketika mobil yang pria itu kendarai berhenti di depan sebuah gedung tinggi. "Saya mau ikut masuk!" jawab Arsila, dia takut ditinggalkan berdua di dalam mobil dengan bayi nya. Dewa mengangguk, membuka pintu mobil di sebelahnya dan keluar. Arsila dengan susah payah mengikuti Dewa. Pria itu berjalan dengan langkah lebar, masuk ke dalam gedung tinggi di depan mereka dengan beberapa orang yang menyambut. "Selamat siang, Pak!" Arsila melihatnya, orang-orang berjas itu menyapa Dewa dengan sopan. Seperti b***k kecil, Arsila terus mengikuti dewa dengan kepala tertunduk. Banyak bisik-bisik di belakang mereka, para karyawan yang penasaran siapa yang datang bersama bosnya. "Siapa, tuh, yang sama pak Dewa?" seorang pria kemayu mengintip Arsila secara diam-diam, berbicara dengan suara rendah pada teman wanita di sebelahnya. "Istri barunya mungkin?" Teman wanitanya juga bertanya-tanya. Arsila dapat mendengar semuanya meskipun samar-samar. Ketika mereka masuk ke dalam lift ekslusif, barulah bisik-bisik para karyawan itu tidak lagi terdengar. Hanya ada Arsila, bayi kecil, Dewa, dan sekretarisnya di dalam lift. Arsila belum pernah menaiki lift sebelumnya, kakinya sedikit gemetar, kepalanya pusing saat masuk ke ruangan pengap itu. Dia takut jika lift akan jatuh. "Ada apa?" tanya Dewa yang menyadari kelainan ibu s**u anaknya itu. Arsila menggelengkan kepalanya. "Ng-nggak pa-pa, Pak." Meski begitu, tubuhnya tiba-tiba terhuyung saat lift bergerak ke atas. Dewa dengan sigap menopang pinggang wanita yang tengah menggendong putranya itu. Kening Dewa bertaut melihat ekspresi tidak nyaman Arsila. "Kamu sakit?" tanya Dewa. "Saya cuma belum pernah naik lift, jadi enggak terbiasa." Arsila merasa tidak enak, dia melepaskan diri dari pelukan Dewa, berjalan ke belakang dan bersandar pada dinding lift. Mencegah dia jatuh bersama bayinya. "Sebentar lagi tiba," ujar Dewa pada Arsila. Benar saja, tidak lama kemudian lift berdenting menandakan bahwa mereka telah tiba di lantai yang mereka tuju. Ketika Arsila melangkah keluar, dia merasa lantai yang dia injak tidak stabil dan menyebabkan dirinya kembali terhuyung ke depan. Untung saja Dewa kembali menopangnya. "Zoe, buatkan teh hangat dulu!" titah Dewa pada sekretaris wanitanya yang bernama Zoe. Setia mengikuti di belakang mereka, Zoe menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak!" Dewa membawa Arsila ke ruang tunggu di kantornya, sedangkan Zoe berbelok menuju dapur eksklusif bagi para petinggi di lantai itu untuk membuatkan segelas teh hangat. "Kamu tunggu dulu di sini, saya ada urusan sebentar," ujar Dewa pada Arsila. "Zoe sebentar lagi datang, kalau ada apa-apa kamu bisa bilang sama dia." Arsila mengangguk dengan patuh. Dia duduk di atas sofa panjang berbentuk huruf L besar. Ketika Dewa pergi, Arsila yang sedang memeluk bayi kecil itu tiba-tiba memiliki ide di benaknya. Arsila ingat apa kata dokter yang mengatakan jika payudaranya harus sering di rangsang dengan cara memijat atau membuatkan bayi kecil itu menyusu. Arsila melirik ke kiri dan ke kanan, melihat bahwa tidak ada siapa pun di sana, dia dengan berani membuka empat kancing pakaiannya, mengeluarkan payudaranya dari bra, membawa p****g merah mudanya ke mulut bayi kecil itu. Seolah sebuah naluri, bayi kecil yang menutup matanya itu menjilat p****g Arsila dengan lidah kecilnya, lalu mulai menyusu tanpa ada asi yang keluar. Antara geli dan ngilu, Arsila merasa sedikit agak aneh melakukan hal itu. Sebelumnya tidak ada yang menyentuh payudaranya selain dirinya sendiri. "Sila, ponsel saya—" Dewa yang kembali lagi ke ruang tunggu karena ponselnya tertinggal, terkejut ketika melihat Arsila yang mengeluarkan payudaranya dan menyusui putranya. Kata-katanya terhenti, tubuhnya membeku seketika. Sedangkan Arsila, dia kalang kabut ketika suara suara Dewa terdengar. Dia ingin melepaskan hisapan bayi itu di putingnya, namun karena terburu-buru, dia hanya bisa menutup payudaranya sekaligus bayi Itu dengan kemeja yang dia kenakan. Menghalangi pandangan Dewa pada payudaranya. "Kamu—" Sejenak, Dewa merasa tenggorokannya menjadi kering. "Maaf, Pak!" Arsila ingin berdiri dengan sopan dan meminta maaf, namun kemejanya belum dia kancing kembali dan bayi kecil itu juga belum melepaskan hisapannya. Dia hanya bisa duduk dan terus mencoba menutupi tubuh nya. "S-saya cuma mau nyoba apa yang pak dokter bilang!" lanjut Arsila dengan malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN