Bab 04. Sentuhan Singkat

1049 Kata
Dewa memijat kening dengan pelan, menahan rasa haus yang datang secara tiba-tiba. "Lain kali jangan sembarangan kaya gitu." Dewa mengingatkan dengan suaranya yang dingin. Arsila buru-buru mengangguk. Pria itu melangkah mendekat dengan kaki jenjangnya, mengambil ponsel di atas meja kaca, dia berbalik dan keluar dari ruangan. Arsila menghela nafas lega setelah melihat kepergian Dewa. Dia sangat takut hingga rasanya jantungnya mau copot! Arsila menunduk, melihat bayi kecil yang tadi masih menyusu itu kini sudah melepaskan hisapannya. Arsila menghela nafas lega sekali lagi. Dia memperbaiki posisi pakaiannya, tidak lupa juga mengancingkan semua kancing yang dia buka. Ketukan pintu terdengar kemudian, sekretaris Dewa, Zoe, masuk sambil membawa nampan kecil dengan segelas teh dan sepiring camilan di atasnya. "Makasih, Mbak." Arsila tersenyum, merasa tidak enak karena telah merepotkan Zoe. Zoe ikut tersenyum. "Ini sudah tugas saya." Setelah mengatakan itu, Zoe pamit untuk pergi karena masih banyak pekerjaan yang harus dia tangani. Sekali lagi hanya Arsila dan bayinya yang berada di ruang tunggu itu sekarang. Bayi berusia dua bulan itu hanya tidur, makan, dan tidur lagi. Arsila mengerti itu dan dia tidak khawatir ketika melihatnya banyak tertidur. Menatap bayi lucu di dalam pelukannya, pipi merah muda, bulu mata lentik, bibir peach yang penuh, Arsila merasa bahwa hanya iblis yang tidak akan menyukai anak selucu ini. Tidak lama kemudian, ketika secangkir teh dan camilan di piring habis, pintu ruang tunggu kembali terbuka dan Dewa masuk ke dalam. "Ayo pulang!" ajak Dewa. Arsila yang mendengar itu lantas mengangguk, bangkit berdiri dan menghampiri Dewa. "Ayo, Pak!" Dewa mengangguk, dia berbalik, berjalan menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Saat dia hendak masuk ke dalam lift, Dewa menghentikan langkahnya, membiarkan Arsila masuk terlebih dahulu. "Masih pusing?" tanya Dewa. "Udah mendingan, Pak," jawab Arsila dengan sedikit malu. Mengangguk, Dewa ikut masuk, berdiri di samping wanita itu. Keduanya diam di dalam lift, atmosfer canggung masih terasa karena kejadian tadi saat Dewa yang tidak sengaja melihatnya menyusui putra kecilnya. Arsila juga malu dan gugup, dia tidak berani mengeluarkan suara sekecil apa pun. Ketika Lift tiba di lantak bawah, Keduanya kembali berjalan, kali ini Arsila berjalan beberapa langkah di belakang Dewa. Para karyawan yang berada di sana menyapa Dewa tanpa berani mendekati. Saat keluar dari gedung perusahaan, satpam sudah berdiri di samping mobil yang tadi Dewa bawa. *** Pukul dua belas malam, Arsila sama sekali tidak bisa tidur. Jika sekarang dia berada di kampung, Arsila pasti sudah pergi ke dapur untuk memasak mie dan menonton tv. Akan tetapi, sekarang dia berada di rumah orang lain, Arsila tidak berani berkeliaran secara sembarangan. Semakin dia memaksa dirinya untuk tidur, semakin Arsila tidak bisa tidur. "Akh! Ke dapur doang, boleh, kali, ya?" pikir Arsila. "Cuma pengen buat roti atau goreng nugget aja!" Arsila turun dari tempat tidur dengan hati-hati karena dia takut bayi kecil itu akan bangun. Keluar dari kamar, Arsila dengan hati-hati berjalan menuruni setiap anak tangga. Dia berbelok ke kiri, masuk ke dalam dapur. Namun yang tidak Arsila sangka adalah dia melihat seorang pria yang sedang berdiri menghadap kitchen, membelakanginya dengan punggung telanjang. Terkejut, Arsila tanpa sadar mundur, tanpa sengaja punggungnya menabrak sudut meja makan. "Akh!" Arsila mengeluarkan teriakan pelan atas pelampiasan rasa sakitnya. Dewa yang sedang membuat kopi lantas berbalik, dia terkejut melihat Arsila yang mengerang sambil membungkukkan tubuhnya. "Kamu kenapa?" tanya Dewa, berjalan mendekat ke arah Arsila. "Ssh, punggungh—punggung saja kena meja!" Arsila menjawab dengan susah payah. Dewa menatap sudut meja yang terbuat dari kaca, mengeritkan kening. Dia mengulurkan tangannya, membantu Arsila untuk duduk di atas kursi meja makan. "Bapak mau ngapain—?" Arsila tanpa sadar menghentikan Dewa yang akan membuka bagian belakang kausnya. "Diam!" titah Dewa. Arsila tampa sadar langsung diam tanpa berani membantah. Mengangkat bagian belakang pakaian yang Arsila kenakan, Dewa melihat memar merah-keunguan di kulit putih wanita itu. Lagi-lagi alis Dewa berkerut, lalu kembali menurunkan pakaian Arsila. "Tunggu di sini, saya ambil salep dulu!" titah Dewa lagi dengan nada suara yang tidak ingin di bantah. Arsila masih merasakan rasa sakit yang luar biasa di punggungnya. Dia menurut, duduk di kursi meja makan, menunggu Dewa datang membawa salep. Beberapa saat kemudian Dewa kembali dengan salep kecil di tangannya. "Biar saya aja yang oles, Pak." Arsila tampa sadar menolak saat Dewa hendak membantunya memakai salep. "Memarnya ada di punggung kamu, memangnya tangan kamu sampai?" tanya Dewa dengan acuh. Pria itu sama sekali tidak menerima penolakan, dia kembali mengangkat pakaian Arsila, yang memperlihatkan punggungnya. Memeras sedikit isi salep dan mengoleskannya pada memar yang wanita itu miliki. "Hiss!" Gerakan Dewa tidak lembut, di tambah dengan kulitnya yang sedikit kasar, membuat Arsila mengigit bibirnya karena sakit. Ketika mendengar desisan wanita itu, Dewa tanpa sadar melembutkan gerakannya. "Sakit?" tanya Dewa. "Pelan-pelan, Pak." Suara Arsila sedikit terengah-engah. Setelah selesai mengoleskan salep, Arsila akhirnya merasa lega. "Lain kali hati-hati," peringat Dewa pada Arsila. Arsila mengangguk dengan malu. "Terimakasih banyak, Pak!" Dewa mengangguk singkat, lalu dia bangkit berdiri, mengambil kopinya yang telah dingin di atas meja kitchen. "Kopinya udah dingin, ya, Pak? Biar saya bikinkan lagi!" Arsila buru-buru berdiri, berjalan menuju kitchen untuk membuatkan Dewa kopi. "Gulanya setengah sendok teh," ujar Dewa, memberitahu Arsila. "Siap, Pak!" Arsila mengangguk, dia dengan terampil membuat secangkir teh kopi. Setelah selesai, Arsila memberikannya pada Dewa. "Kalau gitu saya ke atas. Kamu bisa memakai apa pun yang ada di dapur." Dewa melenggang pergi dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Arsila menatap punggung kokoh pria itu, dia masih belum mengerti apa yang Dewa maksud dengan 'memakai apa pun yang ada di dapur'. Butuh beberapa saat hingga akhirnya Arsila menyadari maksud dari perkataan Dewa. Arsila gembira, dia dengan senang hati membuka kulkas besar, mengambil sosis, nugget, telur, roti, dan makanan lainnya di sana. *** Dewa kembali ke kamarnya, dia masuk ke dalam ruang kerja yang masih berada satu ruangan dengan kamar, meletakan cangkir kopinya di atas meja, sedangkan dia sendiri duduk di kursi kerjanya. Dewa tampa sadar memainkan jarinya, mengingat perasaan ketika jemarinya menyentuh kulit punggung Arsila. Hangat dan lembut. Dia juga secara singkat melihat bra merah yang wanita itu kenakan. Mengingat ukuran p******a Arsila ketika tertutup oleh pakaian, Dewa dapat menebak jika wanita itu pasti mempunyai ukuran p******a yang cukup besar. Arus panas tiba-tiba menjalar dari bagian bawah Dewa, membuatnya menyadari bahwa sedari tadi dia memikirkan ukuran d**a orang lain! "Sial!" Dewa belum pernah merasa se-m***m ini hingga adiknya berdiri tegak hanya karena sentuhan singkat yang tadi dia lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN