Bagian 7

1639 Kata
Arsya bergegas keluar dari pintu kedatangan bandara, di belakangnya Anggika terseok Seok mengikuti langkah Arsya yang lebar dan cepat. "Bos pelan pelan," Protes Anggika. "Kamu langsung pulang saja, tidak perlu mengikuti aku ke apartemen." "Tapi bos biasanya saya membereskan barang barang bos dulu," jawab Anggika. "Kali ini tidak perlu." Anggika hanya diam kemudian tidak mengikuti langkah Arsya lagi, Anggika merasa Arsya aneh beberapa hari ini, ia tidak fokus dalam konferensi di London, ada beberapa hal yang terlewat padahal yang ia tahu bosnya itu sangat teliti dalam berbagai hal, seperti ada yang difikirkannya. Anggika pun menaiki sebuah taksi yang berada di luar bandara. ~~~ ~~~ Gia duduk termangu, ia mengingat ingat kenapa ia bisa berada di sini dengan perawat yang merawatnya, ia raba perban yang melingkari perutnya, masih terasa nyeri disana. Bayangan saat ia membantu orang yang dikeroyok mulai berkelebat dengan jelas di fikirannya. Juga saat salah satu pria itu akan menusuk Arsya dari belakang, dan ia berlari untuk mengingatkan bosnya itu tapi ia malah mendorong Arsya ke samping dan ia yang malah tertusuk. Perawat itu mengatakan jika saat ini ia berada di apartemen Arsya, sebenarnya Gia ingin pulang ke rumah Elsa namun perawat itu tidak mengijinkannya sebelum Arsya pulang. Akhirnya ia menuruti ucapan perawat itu. Gia mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan dan mendapati tas tangan miliknya disana, ia berniat menghubungi Elsa, pasti Elsa akan sangat menghawatirkan dirinya. Gia melangkah tertatih menuju sudut ruangan, dikeluarkannya ponselnya yang ternyata mati, ia mencoba menyalakannya tapi gagal, pasti baterainya habis fikir Gia. Ia mencari cari charger tapi tak menemukannya, ia pun melangkah keluar dari kamar, beberapa hari hanya makan dan tidur saja membuat Gia merasa bosan. Gia melihat charger ponsel di meja sebelah ruang tengah, ia segera mencharge ponselnya agar bisa segera menghubungi Elsa. Baru kali ini Gia melihat apartemen semewah ini, ruang tamu yang luas, ruang tengah dengan sofa yang nyaman dan televisi layar datar yang besar bagai memiliki bioskop sendiri. Ia tidak tahu ada berapa kamar disini tapi kamar tidur yang ia tempati sangat mewah, mungkin itu kamar tamu, apalagi kamar utama pasti lebih mewah. Gia melangkah menuju balkon apartemen yang menghadap ke matahari terbenam. Di balkon itu terdapat sepasang kursi dan meja yang terbuat dari rotan, Gia duduk disana dan menyandarkan punggungnya, ia menatap semburat kemerahan di ufuk barat, matahari sudah mulai tenggelam. Gia memejamkan matanya menikmati kehangatan sinar matahari sore, hingga tak terasa ia merasa sangat mengantuk, satu jam yang lalu memang perawat memberikannya obat mungkin ini adalah salah satu efeknya. Gia merasa tubuhnya ringan seperti melayang di udara, ia membuka matanya dan terkesiap saat mengetahui Arsya sedang menggendongnya ala bridal style, wangi maskulin tubuh Arsya yang sepertinya baru selesai mandi menguar dan memenuhi indera penciumannya. Rambut Arsya yang basah membuat wajah tampan Arsya semakin tampak menawan, namun hanya sesaat Gia mengagumi bosnya itu karena ia kembali sadar. "Saya bisa jalan sendiri pak," ucap Gia meronta minta diturunkan dari gendongan Arsya namun Arsya masih tetap melangkah membawa Gia ke kamar yang beberapa hari ini ditempatinya. "Kamu masih sakit, jadi jangan banyak bergerak," jawab Arsya, setelah sampai dalam kamar, Arsya membaringkan Gia di ranjang, wajah mereka yang sangat dekat membuat Gia jengah dan mengalihkan pandangan ke arah lain, Arsya lalu menyelimuti Gia setelah itu ia berbalik akan keluar dari kamar, namun langkahnya terhenti saat Gia memanggilnya. "Pak Arsya..." Arsya membalikkan badannya menatap Gia. "Saya mau pulang pak, sepertinya saya sudah tidak apa apa," ucap Gia hati hati. "Luka kamu masih belum sembuh jadi kamu harus tinggal di sini." "Tapi pak, pekerjaan saya bagaimana?" "Tenang saja, saya sudah minta rekomendasi dokter dan mengirimkan suratnya pada Ardi jadi kamu tidak usah fikirkan pekerjaan kamu." Gia menghela nafas mendengar jawaban bosnya yang penuh dengan nada perintah. Perutnya memang masih terasa nyeri saat ia bergerak. Setelah Arsya keluar dari kamarnya, Gia seperti mendengar bunyi nada dering ponselnya, entah bagaimana ponselnya sudah berada di meja nakas samping ranjang. Ia bangun dan meraih ponselnya, nama Elsa yang sedang menghubunginya. "Halo..." ".. .............." Gia menjauhkan ponselnya dari telinganya karena di ujung sana Elsa berteriak dengan nyaring. "Nggak usah teriak kali Cha." "..............." "Sorry sorry, gue....mmmmm gue ada di Malang Cha elo nggak usah khawatir kali." "............" "Iya maaf, aku ada urusan penting." "............" "Iya gue pasti balik ke rumah elo, Lo kan nggak bisa hidup tanpa gue." ".........." "Oke Cha bye." Gia bernafas lega karena sudah memberikan kabar pada Elsa, walau ia harus berbohong kalau ia sedang ke Malang, karena tidak mungkin ia jujur dengan apa yang ia alami, bisa bisa Elsa mencak mencak dan ngamuk pada Arsya. Elsa tidak akan perduli walau yang ia marahi adalah bos besar. ~~~ ~~~ "Mbak Gia jangan pergi dulu, nanti saya dimarahi pak Arsya," cegah perawat yang merawat Gia saat tahu Gia akan meninggalkan apartemen Arsya. "Saya sudah terlalu lama disini sus, dan saya sudah lebih baik jadi tolong biarkan saya pergi," ucap Gia melangkah keluar dari kamar, ia hanya memakai piyama tanpa alas kaki karena memang waktu itu ia memakai gaun malam, entah dimana gaun milik Elsa itu, akan ia fikirkan itu nanti yang penting ia pergi dari apartemen bosnya itu. Gia membuka pintu apartemen namun ia terkejut saat melihat Arsya sudah menjulang di hadapannya. "Kamu mau kemana?" "Saya mau pergi dari sini pak, saya sudah sembuh." "Kamu tidak boleh pergi dari sini." "Kenapa? kenapa saya tidak boleh pergi dari sini, saya bukan tahanan bapak!!" Pekik Gia pada Arsya, Gia mendorong tubuh Arsya dan melewatinya, ia melangkah dengan cepat keluar dari apartemen Arsya, ia berjalan setengah berlari meninggalkan Arsya yang hanya diam menatap punggung Gia yang makin menjauh menuju lift. Tapi belum sampai Gia ke lift ia kemudian ambruk, Arsya yang melihat hal itu segera berlari mendekati Gia, kemudian membawa Gia kembali ke apartemennya. Ia meminta perawat menghubungi dokter Untuk memeriksa keadaan Gia karena Arsya melihat pakaian Gia di bagian perut terdapat cairan berwarna merah yang berarti luka diperutnya kembali terbuka. Gia membuka matanya, ia melihat dirinya sedang berbaring di kamar yang sama saat di apartemen Arsya, ia mengingat saat ia akan pergi dari apartemen itu dan kemudian merasakan kepalanya pusing dan perutnya sakit dan ia tak ingat apapun. Ia melihat Arsya sedang berbicara dengan seseorang di ambang pintu kamar, yang pasti orang itu adalah seorang dokter dari pakaian dan stetoskop yang berada di lehernya. Dokter itu berlalu sedangkan Arsya berbalik kembali ke kamar dimana Gia berada. "Kamu sudah sadar? Aku sudah bilang keadaan kamu masih belum stabil dan luka kamu belum kering, jadi orang menurut sedikit kenapa sih? kamu mau terus sakit seperti ini? Jadi jangan berfikir pergi dari sini sebelum keadaan kamu benar benar sembuh. Faham?" Ucapan Arsya yang panjang membuat Gia terkekeh. "Kenapa kamu tertawa, ada yang lucu?" "Enggak pak, nggak ada. Baru kali ini saya dengar bapak ngomong panjang begitu, biasanya cuma singkat singkat saja." "Oke cukup bicaranya, kamu sekarang istirahat dan kamu tidak boleh turun dari ranjang agar perutmu itu lukanya tidak terbuka lagi." "Hah...?! Maksudnya saya diam di ranjang gitu? terus kalau mau ke kamar mandi gimana pak?" "Kamu bilang sama perawat atau sama saya," Arsya kemudian keluar dari kamar dan menutup pintunya. Gia merengut mendengar jawaban bosnya itu, ke kamar mandi harus minta bantuan orang lain, bagaimana bisa, ia bisa sendiri tapi mengingat dia akan lama sembuhnya karena banyak gerak ia harus pasrah dan harus bilang jika ingin ke kamar kecil. ~~~ ~~~ Perawat memberikan obat pada Gia, Gia pun segera meminumnya dan kembali berbaring. "Mbak Gia saya mau makan siang ya, kalau butuh apa apa tekan saja bel di meja nakas." "Iya sus makasih." Perawat itu keluar dari kamar, Gia merasakan kandung kemihnya penuh efek minum s**u setelah makan. Ia menekan bel untuk memanggil perawat tapi beberapa kali ia tekan bel namun perawat itu tak kunjung datang, Gia pun bangun dari tidurnya dan akan beranjak dari ranjang. "Kamu mau kemana?" Gia menoleh pada sumber suara yang tak lain adalah Arsya. "Pak Arsya, bapak tidak ke kantor?" "Saya tanya malah kamu balik tanya." "Mmmm...saya mau ke kamar mandi pak." "Biar saya bantu." "Tapi pak ..." "Suster sedang makan siang, jadi biar saya yang membantu kamu," Arsya mendekat ke arah Gia kemudian menggendongnya ala bridal style membuat Gia tersentak kaget, wajah Gia bersemu merah saat wajahnya begitu dekat dengan Arsya, Gia memalingkan wajahnya ke arah lain. Arsya membawa Gia masuk dalam kamar mandi dan menurunkannya di dekat WC duduk yang ada dalam kamar. Arsya masih berdiri di depan Gia. "Serius bapak mau tetap disini?" Tanya Gia "Memangnya kenapa, kamu bisa sendiri?" "Saya bisa sendiri, tolong bapak keluar." pinta Gia Arsya pun melangkah keluar dari  kamar mandi dan menunggu Gia di luar kamar mandi, sebelum keluar Arsya berbalik dan menatap Gia. "Kalau sudah selesai bilang, jangan keluar sendiri." "Iya bawel banget sih," gumam Gia yang tak didengar Arsya karena ia sudah keluar dari kamar mandi. Setelah selesai Gia melangkah perlahan keluar kamar mandi, saat membuka pintu kamar mandi kakinya terpeleset dan tubuhnya limbung untungnya ada Arsya di depan kamar mandi tapi Arsya terkejut Gia tiba tiba sudah berdiri di depannya, alih alih menangkap tubuh limbung Gia, tubuh Arsya malah terjerembab ke belakang dan jatuh ke lantai dengan posisi Gia berada di atas tubuhnya. Jatuhnya tubuh mereka berdua menimbulkan suara berdebum, perawat yang sedang makan siang segera meninggalkan meja makan dan berlari ke kamar yang di tempati Gia, saat perawat itu masuk dalam kamar ia segera memalingkan muka saat melihat pemandangan di depannya. Perawat itu melihat Gia berada di atas tubuh Arsya dengan bibir Gia di atas bibir Arsya. Dengan kata lain dari sudut pandang perawat Gia yang mencium Arsya. "Maaf, saya pikir ada sesuatu yang terjadi," perawat itu buru buru keluar dari kamar. Gia yang menyadari posisinya membuat perawat salah faham segera beranjak dari atas tubuh Arsya, dengan wajah merah karena malu Gia berdiri dan akan melangkah tapi tangannya di tahan oleh Arsya. Arsya pun beranjak dari posisinya dan menggendong tubuh Gia kembali ke ranjang. Gia menunduk malu karena insiden yang baru saja terjadi. Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN