Pagi ini dengan terpaksa Daniel sarapan pagi dengan kursi meja makan di rumahnya bertambah satu orang, yaitu Leana. Dulu sebelum Leana memutuskan kuliah di luar kota hal seperti ini memang sudah biasa. Leana yang mengotori dapur Mamanya, membuat dirinya mengalah tidur di kamar tamu karena dia menginap, semua itu menjadi hal yang lumrah di matanya, tapi setelah apa yang terjadi dan ia lama pergi, Daniel kurang suka dengan keadaan seperti ini. Leana yang terlihat nyaman berada di rumahnya membuat hatinya sakit. Dan bagaimana ia bisa menikahi wanita yang membuat hatinya kesal saat melihat wajah dan keberadaannya? Tapi untuk benar-benar menolaknya, seperti kata sang Ayah, ia takut menyesal untuk kedua kalinya. Benar-benar keadaan yang membuatnya bingung.
"Niel, nanti siang Mama sama Papa ada urusan diluar kota, mungkin tiga atau empat hari baru pulang. Nggak apa-apa ya Mama tinggal dulu? Mama titip Bella, awasin dia kalau pacarnya datang."
"Iya, Ma," jawab Daniel tanpa beban.
"Na, kamu nanti sesekali menginap ya buat temenin Bella."
"Iya, Tante."
Daniel langsung menatap Leana tak suka, ia tidak suka jika dia sampai menginap di rumahnya. Tapi untuk melarangnya di hadapan Mama sama Papanya ia tidak bisa.
Selesai sarapan Daniel memilih undur diri lebih dulu, menghindari pembicaraan yang biasa terjadi di meja makan sehabis sarapan. Ia juga ingin mengulur waktu untuk memberikan jawaban pada Mamanya. Ia perlu berpikir sekali lagi.
"Daniel kamu apa kabar?"
Daniel tersentak saat ada suara yang menyapa dirinya. Saat ini dia tengah duduk di pinggir kolam renang sambil memainkan ponsel.
Tak perlu menengok, ia sudah tahu siapa yang menghampirinya.
"Baik, secara fisik kabar gue baik," jawab Daniel tanpa mau menatap orang yang mengajaknya bicara.
Leana tersenyum kecil saat mendengar Daniel tak lagi menggunakan aku-kamu ketika berbicara padanya. Mungkin semuanya memang sudah tak sama lagi, lima tahun bukan waktu yang sebentar.
"Lo nggak kangen sama gue?" tanya Leana mengimbangi panggilan Daniel padanya. "Lo perginya lama banget, bahkan perginya nggak ada pamit sama gue. Nomor ponsel lo juga ganti."
"Gue pergi di hari penting lo Na, gue nggsk pamit karena nggak mau ganggu acara pernikahan lo. Gue ganti nomer ponsel karena emang gue mau, lo nggak di beri akses komunikasi ke gue karena lo udah jadi istri orang, dan gue nggak mau ada salah paham. Untuk kangen sama lo, sorry lo bukan siapa-siapa gue," jawab Daniel.
"Oke, gue terima semua alasan dan jawaban lo, tapi apa susahnya sih cuma pamit doang, lo nggak anggap kebersamaan kita selama itu penting Niel?" tanya Leana.
Untuk pertama kalinya Daniel menatap wajah Leana sedikit lama.
"Tanyakan pertanyaan itu pada diri lo sendiri, Na."
"Buat gue penting Niel, walaupun waktu itu gue nikah, gue nggak pengin persahabatan kita putus. Gue pengin lo jadi orang pertama yang ada di setiap momen penting di hidup gue. Bukan malah pergi cuma karena gua mau nikah."
"Jahat lo, Na."
"Kok jahat, aku jahat di bagian mananya?" tanya Leana.
Daniel tak menjawab, ia segera berdiri dan meninggalkan Leana sendirian di tepi kolam renang. Ia tak mau berlama-lama berbincang dengan Leana, takut hatinya di landa emosi dan berbicara keras pada wanita itu.
***
Siang harinya Daniel mengantarkan Ayah dan Ibunya ke Bandara, dan di dalam mobil itulah akhirnya ia membuat sebuah keputusan besar yang ia sendiri tidak tahu itu langkah yang benar atau salah.
"Gimana Niel, Mama pengin tahu jawaban kamu tentang Leana sekarang?" tanya Mamanya.
"Iya, Ma, aku mau menikah sama Leana."
"Alhamdulillah, akhirnya. Tapi benar 'kan, kamu nggak lagi bohongin Mama? Keputusan itu benar lahir dari hati kamu dan sudah mantap mau nikah sama Leana?"
"Iya."
"Kamu udah obrolin ini sama Leana?"
"Belum, nanti Mama saja yang sampaikan ke Tante Alea, kalian tentukan saja tanggal kapan aku bisa datang untuk melamar."
"Ya sudah, sepulangnya Mama dari Medan nanti langsung temui Tante Leana sama Om Adrian."
Daniel mengangguk. Entah keputusan apa yang sudah ia buat ini, niat Daniel hanya ingin melihat Mamanya tenang dan bahagia saja, masalah hatinya pada Leana akan ia urus nanti.
Sepulangnya dari Bandara, Daniel tidak langsung pulang kerumah. Ia pergi ke rumahnya sendiri, kembali menata rumah itu, mengganti beberapa perabotan yang mungkin sudah ketinggalan jaman. Membereskan baju-baju yang dulu sudah ia siapkan untuk Leana, karena jika di pakai sekarang pun sepertinya sudah tidak muat. Tubuh Leana terlihat sudah lebih berisi. Ia juga tidak ingin Leana tahu ia pernah menyiapkan semua ini untuknya.
Daniel sudah memutuskan akan menerima Leana untuk menjadi istrinya, dan seperti niat awalnya, dia akan membawa wanita itu kerumah yang sudah ia buat dengan susah payah dulu. Untuk membuat dan membelinya lagi jelas Daniel sangat mampu, tapi ia tetap ingin menempati rumah itu. Siapa tahu tempat itu bisa mengingatkan seberapa besar cintanya pada Leana dulu, membuat hatinya tidak sebenci itu dengan status janda Leana.
Daniel baru pulang kerumah malam hari, di jalan ia mampir membeli makanan pinggir jalan. Makanan yang dulu hampir setiap malam menjadi buruan Leana. Daniel membelinya dua porsi karena pekerja di rumah biasanya sudah memasak sendiri untuk makan malam.
Saat masuk kedalam rumah Daniel menemukan Bella yang sedang menonton drama di televisi, dan masih di temani oleh Leana. Dan melihat pakaian yang mereka kenakan sepertinya Leana akan menginap.
"Bel, gue beli makanan," ucap Daniel pada sang adik.
"Ah, kebetulan banget kita lagi lagi laper. Udah sempat mau bikin mie instan tadi."
"Tapi cuma beli dua, lo satu gue satu."
"Kok gitu, masa Leana nggak di beliin?"
"Gue nggak tahu kalau dia mau menginap."
"Nggak apa-apa, Bel. Sesuai rencana, gue masak mie instan aja."
"Ya udah sana nanti kita bagi dua aja bakso sama mi instannya, makan bareng."
Leana segera beranjak ke dapur, mengambil mi instan dan merebusnya. Setelah matang dia membawanya ke meja makan, di sana sudah ada Daniel dan Bella yang sudah menghadap mangkok masing-masing. Sebenarnya dia tahu Daniel menatapnya tak suka, tapi ia mencoba untuk tidak peduli. Sampai saat Daniel begitu menunjukan rasa tidak sukanya.
"Gue nggak jadi nafsu makan, buat lo aja Bel."
"Loh, kok?"
"Kalau yang bikin lo nggak nafsu makan itu gue, biar gue yang pergi Niel, ini rumah lo. Cuma gue mau tahu, letak kesalahan gue di mana? Lo baru pulang kemarin dan apa gue udah bikin salah?"
"Lo nggak salah."
"Terus apa yang bikin lo seakan-akan jijik dan anti sama gue Niel? Seakan-akan persahabatan kita selama ini sudah tidak ada artinya buat lo," seru Leana.
"Karena lo seorang janda, Na."
"Kak?!" Bella panik bukan main saat sang Kakak sampai menyinggung status Leana.
Leana menatap Daniel dengar mata berkaca-kaca, sehina itukah status yang ia sandang saat ini di mata Daniel? Dia tidak tahu apa yang sudah dirinya alami dan lalui sebelum mendapat status yang sering di anggap rendah oleh masyarakat.
"Gue pulang Bel, nggak jadi nginap."
"Tapi, Na..."
Leana tak mendengarkan larangan pulang dari Bella, ia segera masuk ke kamar tamu dan mengambil tas serta barangnya. Masuk ke mobil dan menjalankannya dengan kecepatan tinggi dengan air mata terus mengalir membasahi pipinya. Ia sakit hati dengan kata yang di lontarkan Daniel padanya.
"Lo keterlaluan, Kak!"