Air hujan yang mulanya deras kini berangsur reda. Rintikan-rintikan kecil masih setia menghujani tubuh Kukuh. Pandangan Kukuh menatap nanar ke arah sebrang jalan di mana Eci tengah melangkah lunglai. Eci sama sekali tidak menatapnya, membuat hatinya yang mulanya utuh menjadi kepingan kecil-kecil, bahkan nyaris hancur, lebur dan mengurai. "Aku tidak pernah tau kapan rasa yang sudah aku beri, bisa kau lupakan," batin Kukuh pilu. Sampai Eci sudah tidak terlihat di pandangannya, Kukuh membalikkan badannya. Kukuh menyeret langkahnya dengan lunglai, Kukuh tidak tau kemana lagi arah tujuannya. Dia punya orangtua, punya rumah yang besar, tapi rumah yang sesungguhnya adalah Eci. Kini dia sudah mengotori rumahnya, hingga rumahnya pun pergi. Tidak ada lagi tempat Kukuh untuk berpulang, berkeluh k

