CHAPTER-16. LIL EVIL.

2273 Kata
CHAPTER-16. LIL EVIL. MIDNIGHT tidak lagi peduli dengan apa pun yang akan dikatakan oleh Brady. Pria itu, kenapa begitu mudahnya membuang dirinya? Tidakkah Brady tahu betapa hancurnya Midnight saat dia memintanya untuk pergi? Tidakkah mereka punya satu saja alasan untuk tetap bersama? “Aku cacat. Sampai kapan pun mimpi itu akan terus menghantuiku.” Ucap Brady lirih. Midnight menyeka air mata yang jatuh dari kelopak matanya dengan punggung tangan. “Kau pikir aku peduli?” “Aku tahu kau tidak akan peduli!” tenggorokan Brady naik-turun, seolah pria itu tengah sibuk berperang dengan dirinya sendiri.  Ada rasa kecewa yang cukup besar yang dipancarkan oleh sepasang manik mata indah itu. Seandainya saja Brady mau berbagi dengannya, sedikit saja, Midnight tidak akan ragu menjadi pendengar untuk pria itu. Seandainya saja Brady memberinya kesempatan untuk mengenal pria itu lebih jauh… mungkin mereka tidak akan berakhir seperti ini. Namun sayang, Brady tidak pernah mempercayainya untuk apa pun. Bahkan hanya untuk mendengar keluh kesah pria itu. Tidak pernah. “Selamat tinggal.” Dengan berat hati, Midnight mendorong pelan tubuh Brady. Ia turun dari ranjang dengan hati-hati. Kali ini Brady tidak lagi menahannya. Midnight seharusnya senang akan hal itu, tapi lagi-lagi kekecewaan akan sikap diam Brady menghancurkannya. Midnight berharap pria itu menahannya, memohon padanya untuk tetap tinggal dan membicarakan baik-baik apa yang terjadi di antara mereka. Namun, hingga tubuhnya mencapai pintu, tidak ada sepatah kata lagi yang keluar dari bibir pria itu. Midnight memandang tangannya, sepenuh hati berharap Brady menggenggam tangan itu. Sebelum meninggalkan kamar yang selama ini mereka tempati bersama, Midnight sekali lagi berbalik untuk melihat Brady. Pria itu hanya menunduk dalam sembari menitikkan air mata. Hati kecilnya bertanya-tanya, jika Brady benar-benar tidak peduli dengannya, kenapa dia menangis? Apakah itu hanya air mata buaya? Atau… “Kau belum mengucapkan selamat tinggal!” serunya cukup keras karena tidak tahan dengan sikap diam Brady. Akhirnya, pria itu mengangkat wajah. Brady bukanlah pria yang selama ini dikenalnya saat sedang bersedih. Air mata? Astaga, benar-benar tidak cocok dengan wajah garangnya. Semula Midnight mengira Brady akan membentak dan menyuruhnya pergi secepat mungkin sesuai yang diinginkan pria itu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Brady bangkit dan berjalan menghampirinya dengan langkah tergesa. Pria itu berhenti tepat di hadapan Midnight, menatapnya dengan mata elang kemudian menunduk dalam hingga bibir mereka nyaris bersentuhan. “Apa yang kau inginkan, Iblis Kecil?” “Kata-kata terakhir. Ucapan selamat tinggal.” Sahut Midnight lantang. Brady membakar seluruh amarahnya hanya dengan sebuah sentuh lembut di bawah dagunya. Kehangatan menjalar di sepanjang tulang punggung Midnight. “Dan kau tidak akan melihatku lagi.” “Bagaimana kalau aku ingin selalu melihatmu? Kemana aku bisa mencarimu? Kemana kau akan pergi? Bagaimana denganku? Apa jadinya aku tanpamu? Haruskah semua berakhir seperti ini? Sihir apa yang kau lancarkan padaku hingga rasanya aku hampir mati saat mendengar ucapan selamat tinggal darimu, Iblis Kecil?” Sihir. Hampir mati. Pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal yang keluar dari mulut Brady sontak menyadarkan Midnight akan satu hal. Brady sama seperti dirinya yang tidak ingin kehilangan momen indah yang mereka miliki. Butuh waktu lama bagi Midnight untuk mengumpulkan keberaniannya. Napas mereka saling beradu untuk waktu yang cukup lama. Setelah dirasa siap, Midnight memejamkan mata dan berjinjit untuk mengecup bibir Brady. Seharusnya hanya butuh kurang dari dua detik bagi mereka untuk berbagi ciuman manis itu, akan tetapi Brady justru menghentikan tindakan Midnight dengan berkata, “Apa yang kau lakukan, Iblis Kecil?” Merasa dipermalukan oleh ulahnya sendiri, Midnight akhirnya membuka mata. Ia melihat seulah senyum simpul di wajah Brady. Sebuah senyum penuh kemenangan yang hanya bisa dilakukan pria seperti Brady. Midnight memalingkan wajah, benar-benar malu dengan tindakannya. “Tidak ada.” “Kau berniat menciumku.” Tuduh Brady dan sialnya tuduhan itu tepat sasaran. “Jangan terlalu percaya diri, Brady. A-aku hanya-“ “Bagaimana dengan kakimu?” pria itu mengalihkan pembicaraan. Midnight kembali melihat raasa bersalah yang terpancar di manik mata pria itu. “Aku sudah bisa berjalan dengan baik, kurasa.” Tiba-tiba saja mereka melupakan perdebatan mereka sebelumnnya. “Dokter mengatakan dalam beberapa hari lagi mungkin aku bisa berlari.” “Berlari?” sebelah alis Brady terangkat mendengar hal itu. “Kau yakin?” Midnight mengangguk, “Ya.” Helaan napas lega lolos begitu saja dari mulut Brady. “Syukurlah.” “Ya.” Bahu Midnight ikut merosot. Sekarang dia ragu kalau Brady menginginkan kepergiannya. Midnight tetap meneguhkan hati jika pria itu nanti mengusirnya lagi. “Syukurlah.” Keduanya kembali terdiam cukup lama. Midnight menggigit bibir bawahnya kala tatapan Brady sama sekali tak beralih darinya. “Bisa kita bicara?” akhirnya pria angkuh itu memecah keheningan. “Sebelumnya tolong maafkan sikapku.” “Ya.” Midnight kembali memberanikan diri mencium pria itu. Terkadang sebuah sentuhan sederhana jauh lebih dibutuhkan dari ribuan kata-kata indah. Setidaknya itulah yang dia yakini. Tanpa diduga, Brady membalas ciumannya. Pria itu memeluk erat tubuh Midnight seolah mereka telah berpisah ribuan tahun lamanya. Brady melepas pagutan bibir mereka dan menyatukan kening dengan Minidght. “Iblis kecil.” Kedua tangan pria itu meraba bagian belakang paha Midnight dan mengangkak kaki Midnight lalu melingkarkannya di pinggang. “Iblis.” Gumamnya lagi. Midnight reflek mengalungkan kedua tangan di leher Brady saat pria itu membawanya kembali ke tempat tidur. Sekarang dia tahu, Brady tidak benar-benar menginginkan kepergiannya. Sejak awal dia mempercayai pria itu lebih dari dia mempercayai egonya sendiri. Midnight selalu percaya kalau Brady bukanlah orang asing seperti yang selalu dikatakan oleh adiknya. Pada akhirnya, Brady memiliki salah satu tempat terbaik di hatinya. Terbaik. Ulang Midnight ketika pria itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Kau bilang kita perlu bicara.” ** “Ya.” Brady duduk bersandar di kepala ranjang. Satu tangannya terulur untuk membelai rambut panjang Midnight. Ia menunduk, mengecup pucuk kepala gadis itu selama beberapa waktu. Gadis itu mendongak, “Apa aku harus pergi setelah ini?” Brady mengerutkan kening, “Jangan harap kau bisa pergi dariku mulai sekarang.” “Kau mengancam.” Midnight mencebik. “Ya.” Brady mengiyakan. “Aku mengancam sekaligus tidak mengijinkanmu pergi, Iblis Kecil.” “Iyuueehhh!” Gadis itu mencubit kecil lengan dalam Brady. “Jangan memanggilku Iblis. Jelek sekali!” Brady tahu itu, seharusnya dia memanggil Midnight dengan sebutan yang lebih baik tapi dia menyukai kata Iblis dibanding yang lainnya. “Aku minta maaf soal semalam.” “Kau tidak sengaja.” Ujar Midnight bahkan sebelum Brady selesai bicara. “Mid,” Brady memutar bola matanya, “Jangan menyela.” Midnight menyengir lebar. “Baiklah.” Ia memeluk perut Brady dengan begitu kuatnya. Saat ini Brady hanya punya dua pilihan. Yang pertama, membiarkan Midnight pergi dan yang kedua adalah mengaku kepada Midnight apa yang selama ini menimpa dirinya. Siap atau tidak, ia harus mengatakan yang sesungguhnya kepada gadis itu. Siapa dirinya dan apa yang saja kelemahannya. “Ini tentang aku dan mendiang kakakmu.” Brady memulai. “Jika kau pernah berpikir aku menyingkirkannya, kau salah, Mid.” Yang Brady rasakan saat itu adalah tubuh Midnight mendadak tegang mendengar ucapannya. Meski begitu, gadis itu sama sekali tidak melepas pelukan mereka, atau sekedar mendongak dan menyangkal pernyataannya. Meski hatinya sempat meragu, Brady tetap melanjutkan ucapannya. “Dia adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Banyak sekali hal yang pernah kami lewati bersama dan kami berbagi banyak hal. Termasuk rahasia kecil di antara para pria.” Brady berhenti selama beberapa saat, memberi dirinya sendiri waktu untuk mengenang Drake. “Drake menyenangkan, humoris, penuh pengertian dan nyaris tidak pernah marah padaku. Aku selalu berpikir dia adalah bagian dari diriku yang sempat hilang dan terbuang di rahim ibumu. Kami, entah bagaimana merasa terlalu cocok hanya untuk sekedar teman. Bahkan aku menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Pernah suatu malam, saat aku dan Drake minum terlalu banyak, aku memintanya untuk menjadi kekasihaku. Kau tahu apa yang dia lakukan padaku setelah aku bertanya seperti itu?” Hening. Midnight beringsut di tempat tidurnya. Sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Drake memukul kepalaku dengan botol kosong sambil mengumpat keras. Orang-orang yang melihat kami berpikir aku dan dan Drake sedang bertengkar. Mereka mencoba melerai kami, tapi Drake lebih dulu menjelaskan kalau aku membutuhkan pukulan untuk mengembalikan kewarasanku. Dia tampak tersinggung saat itu, tapi dia masih bisa tertawa saat kami hanya tinggal berdua. Beruntung botol itu tidak pecah dan melukai kelapaku. Aku tidak tahu apa jadinya jika hal itu sampai terjadi. Mungkin saat ini aku dan dia sudah menghandiri reuni di neraka.” Kejadian di club malam itu kembali terngiang di benak Brady. Rasanya seolah baru kemarin, kini semua hanya tinggal kenangan. ‘“Aku tidak akan mau menjadi kekasihmu meskipun kau manusia terakhir di planet ini, Brady!”’ begitu kata kakakmu. Malam itu aku berharap kami benar-benar gay. Drake jatuh hati padaku dan aku membalas perasaannya. Sayang, itu hanya ilusiku semata. Di penghujung malam, Drake kembali berkata sebelum kami berpisah, ‘Meskipun  aku bukan kekasihmu, kau akan selalu menjadi bagian terbaik dalam hidupku. Terima kasih, Brady.’ “Lalu kami melewati hari-hari seperti biasa. Berlatih bersama, minum, bermain dan berpesta hingga lupa waktu. Satu hari sebelum pertandingan terakhir kami, Drake mengatakan dia harus menjaga dua orang yang sangat dicintainya. ‘Brady, jika waktuku habis, aku ingin kau menjaga dua orang yang sangat kucintai. Apakah kau bersedia?’” mengingat momen tersebut, Brady hanya bisa mengepalkan tangannya. “Kupikir Drake hanya bercanda, tapi dia memaksaku untuk berjanji dan akhirnya aku berjanji akan menjaga dua orang yang dimaksud oleh Drake meskipun aku tidak tahu siapa mereka. Siang harinya, Drake benar-benar jatuh dan bodohnya aku… justru menabraknya.” Sekelebat bayangan tentang jatuhnya Drake kembali terlintas di benak Brady. Brady memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba menghapus kenangan buruk itu dari benaknya. Darah di kepala Drake, tubuh dingin pria itu saat berada dalam dekapannya dan kata-kata terkahirnya. “Apa yang terjadi?” bahu Midnight bergetar hebat kala mengucapkan hal itu. Gadis itu menangis tetapi menolak untuk diketahui oleh Brady. ‘“Tengah malam di musim dingin di sebuah kota berlembah hijau, hidup sepasang kakak beradik yang menjadi bagian terbaik dari hidupku. Jaga mereka, Brady. Aku tahu kau bisa melakukannya.’ Itu kalimat terkahir yang diucapkan oleh Drake sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya.” Suasana kembali hening. Air mata mengalir dari pelupuk Brady. “Itu adalah kenangan terakhir yang kumiliki bersama sahabatku. Aku tahu betapa berbakatnya Drake. Namum alih-alih mengalahkanku dalam setiap pertandingan, Drake lebih memilih untuk membiarkanku menang. Drake bahkan pernah berkata, ‘Kemenanganku tidak akan pernah ada artinya tapi kemenanganmu berarti segalanya untuk semua orang.’ Dia memberiku semua kesempatan yang dia miliki, Mid. Semuanya. Tidak terkecuali. Bahkan di detik-detik terakhir hidupnya, Drake masih menginginkan kemenanganku.” Brady bergegas menyeka air matanya. “Kau harus bangga memilikinya.” “Tidak pernah sekali pun dalam hidupku aku tidak membanggakannya. Kecuali saat dia pergi meninggalkan kami semua.” “Itu salahku.” Brady meremas jemarinya lagi. Rasa sakit yang begitu nyata membakar dadanya hingga nyaris tak tersisa. Kenangan menyakitkan itu membelitnya tanpa ampun. Menghancurkan Brady hingga ke bagian terdalamnya. Tiba-tiba, ia merasakan pelukan Midnight semakin mengerat. Brady menunduk dan mendapati gadis itu menyerukkan wajah di perutnya. Hal kecil itu memicunya melanjutkan cerita mengenai dirinya dan Drake. “Sejak kematian Drake, aku bukanlah pria yang sama lagi, Mid. Aku… bukanlah diriku yang dulu. Bukan lagi.” Rasa malu akan ketidakberdayaannya menghadapi trauma kembali muncul ke permukaan tetapi Brady mengabaikannya. Ia telah memantapkan hati untuk mengakui di hadapan Midnight. “Sejak hari itu, hampir setiap malam dalam hidupku aku selalu bermimpi buruk. Bayangan kecelakaan yang menewaskan kakakmu tidak pernah sekali pun hilang. Tiap kali mimpi itu datang, aku tidak bisa mengendalikan diriku, Mid. Aku menghancurkan apa saja yang bisa diraih oleh tanganku. Apa saja. Semua itu kulakukan di bawah kendali. Saat aku kembali sadar dari perbuatanku, semuanya sudah sangat terlambat. Aku seperti tidak pernah mengenal diriku sebelum ini. Semua tidak pernah sama lagi sejak hari di mana aku kehilangan sahabatku-Drake.” Midnight meraih tangan Brady dan menggenggamnya erat. “Itu bukan masalah yang besar, bukan?” Senyum simpul tercetak di wajah Brady. Sebuah senyum penuh rasa sakit. “Mungkin bagiku tidak. Tapi bagiku, menjadi gila sama sekali bukan hal baik. Aku cacat.” Dengan hati-hati, Midnight bangkit. Ia menangkupkan kedua tangan di wajah Brady. “Bagiku, kau tidak cacat. Kau sempurna, Brady.” “Mimpi itu mengendalikanku.” Brady memejamkan mata rapat-rapat, takut membalas tatapan tulus Midnight. “Aku bisa menyakitimu jika kau terus bersamaku.” “Pasti ada cara lain menghilangkan kenangan buruk itu dan menggantinya dengan kenangan terindah.” “Bagaimana jika tidak ada? Satu-satunya pilihan terbaik yang kita miliki adalah untuk tidak bersama.” “Apa kau menginginkan perpisahan ini? Karena aku tidak menginginkannya.” Sama seperti Midnight, Brady pun tidak menginginkan perpisahan mereka. “Tidak.” Ujung bibir Midnight terangkat sedikit, “Hanya itu jawaban yang ingin kudengar, Brady. Aku percaya kau bisa melawan mimpi buruk itu. Selama itu pula, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu ada di sisimu sampai kau berhasil mengembalikan dirimu yang dulu.” “Bagaimana jika aku tidak pernah seperti dulu lagi? Bagaimana jika setiap malam aku hanya bisa menyiksamu, Mid? Pria macam apa aku ini?” “Ssstttt…” Midnight meletakkan telunjuk tepat di bibir Brady. “Bisa. Katakan kalau kau bisa melewati semua ini. Itu mantranya.” “Mantra?” ulang Brady sembari menggeleng tidak percaya. “Kau berniat menyihirku lagi?” Midnight mengangguk. “Akan kulakukan apa pun untuk membantumu menghadapi semua ini. Termasuk menggunakan sihir hitam. Itu pun kalau kau percaya padaku.” “Sial!” Brady mengumpat lirih. Ia menarik Midnight dan mengulum bibir gadis itu dengan rakus. “Iblis kecil dan sihirnya. Itukah dirimu?” “Just call me like that. ‘Cause I love it!” “And I love more!”        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN