CHAPTER-15. STOP WORRYING ME!

2299 Kata
CHAPTER-15. STOP WORRYING ME! LENNON pergi tak lama setelah mengucapkan satu kalimat yang cukup membuat dunia Midnight runtuh. Runtuh. Ya, dia tahu cepat atau lambat dunianya memang akan runtuh setelah apa yang menimpa dirinya dan Brady pagi ini. Sikap Brady terhadapnya begitu mudah ditebak. Pria itu merasa bersalah atas apa yang terjadi terhadap dirinya hingga berniat mengirimnya pulang. Bagi Midnight, luka kecil di pelipisnya bukanlah masalah besar. Juga mimpi-mimpi yang menghantui Brady selama ini. Ia percaya pria itu tidak akan pernah dengan sengaja melukainya. Kini Midnight tahu, Brady juga terpukul atas kepergian Drake. Tak lama kemudian seorang dokter dan dua pelayannya datang. Sang dokter memeriksa kepala Midnight. Pria itu berkata, “Hanya luka kecil.” “Aku sudah bilang.” Keluh  Midnight. “Ini hanya luka kecil. Sepertinya Brady menganggap aku gagar otak.” Seolah memahami kekesalannya, dokter muda itu tersenyum simpul, “Dia mengkhawatirkanmu.” Midnight mendengus. “Aku hanya jatuh dari ranjang. Bukan dari helicopter atau roket. Tapi sepertinya Brady menganggap aku terjun bebas dari Bulan ke Bumi.” “Aku akan membersikan lukanya dan memasang perban.” “Ya. Kalau kau punya sihir yang bisa menghilangkan luka ini, tolong gunakan sihirmu. Perban itu hanya akan membuat Brady semakin merasa bersalah.” Dokter itu mengabaikan ucapan Midnight. Dia membersihkan luka di pelipis Midnight dan membalutnya dengan perban. Setelah pekerjaannya selesai, ia kembali berkata, “Kau akan pulang ke rumah hari ini bersamaku. Aku akan merawatmu selama-“ “Tidak perlu.” Potong Midnight cepat. “Kau tidak perlu merawatku. Aku tidak berniat pulang ke rumah.” “Tapi Brady-“ “Aku akan ikut kemana pun Brady pergi. Sudah kuputuskan. Tidak boleh ada yang memaksaku untuk pulang.” Midnight berkeras dengan pendiriannya. Semua orang di sini diwajibkan untuk mengikuti semua yang dikatakan oleh Brady, tapi tidak dengan dirinya karena Midnighht tidak bekerja dengan pria itu. Dokter muda itu mendesah kecewa. “Kau yakin?” “Kau tidak perlu bertanya dua kali. Aku tahu apa yang kulakukan.” “Baiklah.” Dia mengangkat kedua tangan. “Aku akan memeriksa kakimu. Sepertinya kita bisa melepas gips itu hari ini.” Setelah sebuah mimpi buruk membuat dunianya runtuh, akhirnya Midnight berhasil membangun kembali dunianya. Ia mendongak, menatap dokter muda itu dengan tatapan tidak percaya. Setelah berhari-hari harus puas dengan duduk di atas kursi roda, akhirnya sebentar lagi dia bisa berjalan dengan kaki-kakinya. Brady benar, dia hanya perlu percaya akan keajaiban maka semuanya akan membaik dengan sendirinya. “Apa kau siap?” tanya sang dokter. Midnight berkaca-kaca, ia benar-benar siap untuk hal yang satu ini. Gadis itu mengangguk mantap. “Sangat siap!” “Baiklah.” Dokter dengan dibantu oleh asistennya kemudian melepas gips yang selama ini terpasang di kaki Midnight. Sembari bekerja, sang dokter menjelaskan kondisi terbaru kaki Midnight. “Patah tulang yang kau alami tidak terlalu parah, tapi Brady meminta untuk memasang gips di kakimu agar proses pemulihannya lebih cepat. Kau tahu, dia benar-benar peduli padamu.” Ya, Midnight tahu itu. Jika Brady tidak peduli dengannya, pria itu akan membiarkannya sendirian di rumah sakit setelah kecelakaan yang menimpanya. Hanya dalam beberapa hari, Brady berhasil meluluhkan hatinya. Midnight sama sekali tidak peduli dengan masa lalu Brady, kebiasaan pria itu lumrah dilakukan oleh pria di lingkungannya. Bahkan mungkin kakaknya yang berada di lingkup pertemanan Brady juga memiliki perilaku serupa. Midnight merenungkan semua yang pernah mereka lewati selama beberapa hari ini. Di matanya, sosok Brady yang sekarang benar-benar berbeda dengan pria yang dulu selalu ia anggap sebagai pembunuh kakaknya. Brady yang selama ini bersamanya adalah pria lembut, penuh perhatian dan baik yang pernah dia kenal. Rasanya, semua terasa seperti mimpi. Midnight seoalah dibawa ke dunia impiannya dan tiba-tiba dipaksa keluar dari dunia tersebut saat ia sudah merasa nyaman berada di sana. Tanpa ia sadari, air matanya menggenang di pelupuk mata dan hampir terjatuh. “Selesai.” ucap dokter muda itu dengan lembut dan tegas. Tepat saat itu, air mata pertama Midnight jatuh di pipinya. Midnight buru-buru menyekanya dengan punggung tangan sebelum diketahui oleh Sang Dokter. “Terima kasih.” Gumamnya lirih. Dokter itu mengangguk. “Sama-sama. Ada lagi yang bisa kubantu?” Midnight menggeleng tegas. “Kau boleh pergi.” Tandasnya. Sesuai perintah, dokter dan asistennya itu pergi meninggalkan Midnight  bersama dua pelayannya. Midnight melihat kedua pelayan yang selama ini membantunya berdiri canggung. Mereka pasti menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Atau mungkin mereka justru sudah mengetahuinya lebih dulu bahkan sebelum Midnight mengatakan kejadian yang sesungguhnya. Mengabaikan pendapat orang lain terhadap peristiwa yang menimpa dirinya, Midnight memilih untuk menyuruh mereka membantu membersihkan diri. Hari ini ia tidak akan kembali ke rumah. Tidak sebelum Brady mau berbicara dengannya. Midnight memandangi kulit kakinya yang tampak mengerikan dengan warna pucat dan sangat keriput. Ia mengeluh dalam, mungkinkah Brady masih mau menemui dirinya setelah melihat betapa mengerikannya ia saat ini? ** Akhirnya rangkaian FP3 dan kualifikasi selesai. Brady berhasil menduduki grid terdepan untuk balapan esok. Jika biasanya ia selalu bersemangat melewati setiap sesi latihan, kali ini yang Brady rasakan sungguh berbeda. Brady tidak terlalu terobsesi memenangkan setiap sesi balapan yang akan dihadapinya esok. Ia adalah pemenang bahkan sebelum satu musim ini selesai. Dengan malas, ia melepas sarung tangan dan bergegas duduk di salah satu kursi yang berada di paddock area. “Dia masih di hotel.” Ucap Lennon sembari mengulurkan minuman padanya. “Bagaimana fisioterapinya?” tanya Brady setelah menerima pemberian Lennon. “Apa semua berjalan lancar?” “Kurasa dia terlalu bersemangat.” Sahut Lennon sembari memperhatikan layar besar di hadapan mereka. Fisoterapi adalah satu dari sekian banyak hal yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh Midnight. Sejak awal, memenjarakan gadis itu terasa sungguh menggoda hingga Brady menyusun rencana yang sangat rapi dan cermat hanya untuk membuat Midnight terus bersamanya. Rangkaian pemeriksaan dokter, cervical collar, gips, dan fisioterapi adalah bagian dari rencananya karena Brady ingin membuat cidera yang dialami Midnight terlihat cukup nyata. “Jadi dia sedang belajar berjalan?” “Ya.” Lennon menoleh ke arahnya, seolah hendak menanyakan sesuatu pada Brady. “Kau yakin ingin memulangkannya hari ini?” Seandainya saja dia punya pilihan. “Tentu. Aku tidak mau melihatnya lagi, Lennon. Midnight bebas sekarang.” Di sisinya Lennon mendesah. “Dia berkeas ingin bersamamu. Kau tidak bisa-“ “Aku bisa.” Brady meremas jemarinya sendiri. “Midnight lebih baik tanpa aku. Kau lihat apa yang sudah kulakukan padanya pagi ini.” “Tapi kau tidak sengaja melakukannya, Brady.” Pria itu melihat sekeliling. “Kurasa Midnight tidak keberatan.” Brady tetap pada pendiriannya untuk mengembalikan Midnight kepada Dalton dan keluarganya. Seharusnya sejak awal dia tahu kelemahannya sehingga dia tidak begitu bodohnya membawa Midnight masuk ke kehidupan pria seperti dirinya. Dia tidak pernah sama lagi sejak kematian Drake. Nyaris setiap malam sejak ban motornya menewaskan Drake, mimpi buruk itu selalu datang dan menghantuinya. Brady dilanda rasa bersalah selama berbulan-bulan terakhir. Ia tidak pernah lagi tidur tenang. Dalam satu bulan, terhitung tidak lebih lima kali ia tidak bermimpi buruk. Saat mimpi mengerikan itu datang, Brady nyaris tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia selalu meronta dan bahkan menghancurkan apa pun yang bisa diraihnya. Jika Brady terus membiarkan Midnight bersamanya, dia takut… “Tidak seburuk itu, Brady.” Lennon memecah keheningan, Kenyataannya memang seburuk itu. Kejadian pagi ini adalah bukti nyata betapa dia sama sekali tidak pantas bersanding dengan Midnight. Seandainya saja Drake tahu apa yang telah dilakukannya, mungkin pria itu akan menghukumnya jauh lebih kejam dari ini. Bayangan tubuh Drake yang berguling di atas aspal tak pernah sedikit pun hilang dari ingatannya. Jika dia membiarkan Midnight masuk ke kehidupannya, mungkin yang akan terjadi selanjutnya jauh lebih buruk dari ini. Brady mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Aku tidak mau melukainya, Lennon.” Lennon sempat membuka mulut, hendak menanggapi perkataannya tapi tiba-tiba seseorang datang dan menepuk bahu Brady dengan cukup keras. “Di mana adik Drake? Kenapa dia tidak ikut?” “Dokter melepas gips di kakinya. Dia butuh istirahat.” Sahut Brady jujur. Apa pun yang terjadi dengan dirinya dan Midnight tidak boleh diketahui oleh orang lain. Pria itu mengangguk-anggukan kepala. “Oh,” “Kenapa?” tanya Brady tidak suka. Ia baru pertama kali membawa seorang gadis ke paddock area, orang-orang pasti bertanya kemana perginya Midnight saat gadis itu tidak datang. “Kudengar Elliot mengenal Midnight. Dia menyuruh seseorang mencari gadis itu kemari.” Elliot. Ketika nama pria itu disebut, kemarahan kembali mengusai d**a Brady. “Aku akan menyampaikan pada Midnight untuk menemui Elliot.” Pria itu mengedikkan bahu sambil lalu, “Terserah kau saja. Ngomong-ngomong penampilanmu luar biasa, Brady.” “Terima kasih.” Ujar Brady sembari melambaikan tangan. Usai kepergian pria itu, Lennon membuka percakapan lebih dulu. “Kurasa besok dia sudah bisa berjalan.” “Mungkin.” Brady meletakkan gelas minumnya di atas meja. Ia melipat kedua tangan di depan d**a, senyum cantik Midnight menyelinap masuk di antara kabut kekecewaan yang sejak pagi tadi menyelimutinya. Anehnya, ia justru merasa jauh lebih tenang saat mengingat gadis itu. “Aku butuh tempat baru. Tolong carikan-“ “Tunggu,” Lennon memotong lebih dulu. Pria itu memeriksa ponselnya selama beberapa saat lalu mengembalikan perhatian pada Brady lagi. “Midnight hilang.” “Hilang?” ulang Brady tidak percaya. “Aku sedang tidak ingin bercanda.” Lennon menampilkan ekspresi seriusnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda?” Pernyataan Lennon yang tiba-tiba membuat Brady diselimuti rasa bersalah. Mungkin sikapnya pagi ini membuat Midnight tersinggung. Bagaimana pun, ia telah menyakiti gadis itu. Seharusnya Brady meminta maaf atas apa yang dia lakukan, bukannya kabur dan meninggalkan Midnight seorang diri. “Di mana dia?” “Seandainya saja aku tahu.” Lennon bangkit dan meninggalkan Brady begitu saja untuk menghubungi bodyguard yang ditugaskan untuk menjaga Midnight. Brady hanya bisa menunggu kabar terbaru dari tangan kanannya itu. Sembari menunggu, Brady ikut memeriksa ponselnya. Tidak ada pesan khusus yang perlu dibalas. Ia kembali teringat dengan ponsel Midnight yang ia bawa sejak pertama kali gadis itu bersamanya. Brady memeriksa aplikasi chatting dan menemukan pesan yang dikirim oleh Elliot. Mid, di mana kau? Mid, bagaimana keadaanmu? Mid, tolong kabari aku jika kau membaca pesanku. Brady berhenti membaca pesan-pesan penuh perhatian itu. Jika dia nekat membaca sisa pesan lainnya, Brady tidak yakin dirinya mampu mengendalikan diri. Tak lama setelahnya, Lennon kembali dengan kabar baik. Pria itu duduk tak jauh darinya, “Dia bersedia pulang.” Pernyataan itu anehnya justru membuat Brady merasa semakin sedih. Suasana hatinya yang sudah buruk semakin memburuk begitu mendengar ketersediaan Midnight untuk pulang. “Jadi, kemana dia menghilang?” “Midnight menyendiri di taman. Ia berjalan dengan tongkat.” Lennon menjelaskan. “Dia akan pulang bersama Elliot.” Brady mendengus. “Kita semua tahu Lennon tidak akan pulang dalam waktu dekat. Jadwalku dan Si b******k Elliot sama.” “Itulah yang dia katakan. Jika kau tidak mau mengantarnya, dia akan mencari tahu sendiri di mana Elliot menginap.” “Aku tidak akan membiarkannya.” “Kalau begitu,” Lennon menyesap minuman di tangannya. “temui dia. Katakan kau tidak akan mengijinkan dia pergi dengan Elliot.” Pada akhirnya Brady memang tidak punya pilihan selain menemui Midnight. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum ia harus melepas gadis itu untuk selamanya. Selamanya. Satu kata itu cukup membuat dadanya semakin sesak. ** Malam hari setelah kembali dari sirkuit, Brady menemui Midnight duduk di dalam kamar sendirian. Gadis itu memainkan kertas dan pulpen di tangannya. Midnight seolah sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari kehadiran Brady. Dengan hati-hati, Brady masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Ia memandangi Midnight selama beberapa saat, perban di pelipis gadis itu kembali memicu rasa bersalah yang tadi sempat menghilang. Demi mendapatkan perhatian Midnight, Brady berdeham sembari berjalan menyeberangi ruangan. Ia berhenti di sisi ranjang, melihat apa yang sedang ditulis oleh Midnight. Namun tidak ada apa-apa di sana. Kertas di tangan Midnight masih kosong, bahkan  satu kata pun tidak ada di sana. “Bagaimana kakimu?” “Baik.” Sahut Midnight lirih. “Aku menunggumu. Kau bisa mengembalikan ponselku dan aku akan menghubungi Elliot untuk menjemputku.” “Kenapa kau berkeras ingin bertemu pria b******k itu?” “Kenapa kau berkeras mengirimku pulang? Kita sudah membicarakan ini sebelumnya, Brady.” Brady memejamkan mata rapat-rapat, tidak bisakah Midnight memahami dirinya? “Aku salah, Mid. Kita tidak seharusnya seperti ini.” Midnight terkekeh, suaranya syarat akan kekecewaan. “Aku juga salah karena telah mempercayaimu. Kukira aku telah mengenalmu lebih baik. Nyatanya, aku hanya menerka-nerka siapa dirimu. Kita tidak benar-benar saling mengenal.” Brady mencoba meraih tangan gadis itu, tapi Midnight menepisnya. “Kau tidak tahu.” “Kau benar,” Midnight mendongak, membalas tatapannya. “Aku memang tidak tahu apa-apa tentang dirimu, Brady. Itulah yang akhirnya membuatku sadar kalau kita memang tidak ditakdirkan untuk apa pun!” Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Midnight menyinggung perasaan Brady. Sejak awal, dialah yang menginginkan kepergian gadis itu. Kenapa sekarang dia justru tidak rela melihat Midnight pergi? “Jika kau memang tidak mau melihatku lagi, biarkan aku pergi.” “Kau salah.” Brady berbalik dan menyugar rambutnya dengan frustasi. “Aku hanya tidak mau menyakitimu, Mid. Lihat dirimu! Lihat apa yang sudah kulakukan padamu! Seandainya semalam aku tidak membiarkanmu tidur denganku, mungkin pagi ini kau masih baik-baik saja.” “Ini hanya luka kecil, Brady.” Gadis itu menitikkan air mata. “Sudahlah!  Aku lelah berdebat denganmu. Kembalikan ponselku! Terima kasih sudah membawaku kemari!” Midnight mencoba turun  dari ranjang. Melihat hal itu, Brady bergegas menghampiri Midnight. Ia reflek memegang kedua tangan Midnight. “Ingat kakimu, Mid.” “Kakiku baik-baik saja.” Midnight kembali menepis kedua tangan Brady. “Berhenti mengkhawtirkan orang lain ketika kau sendiri membutuhkan pertolongan.” “Aku tidak membutuhkan pertolongan. Justru kaulah yang membutuhkannya.” Midnight tersenyum miring. “Kau membutuhkannya. Semoga setelah kepergianku mimpi-mimpi itu tidak akan menghantuimu lagi.” Mimpi. Itulah yang selama ini dikhawatirkan oleh Brady. “Aku cacat. Sampai kapan pun mimpi itu akan terus menghantuiku.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN