CHAPTER-14. SORRY.

2275 Kata
CHAPTER-14. SORRY. BRADY mengalihkan perhatiannya dari gelas wine yang kini berada di tangannya. Midnight, gadis itu seolah tengah menantang dirinya dengan ucapan sederhana yang membuat seluruh tubuhnya terasa… panas. “Bagaimana jika aku tertarik mabuk bersamamu malam ini?” Satu kalimat itu kembali terngiang di kepala Brady. Sebuah tawaran yang cukup untuk membuat lelaki manapun tunduk di bawah kendali seorang wanita dewasa yang masih terlihat seperti remaja. Tidak akan ada kata yang tepat untuk menggambarkan betapa sempurnanya gadis itu. Sejak bertemu dengan Midnight, Brady mengakui kebodohannya karena jatuh ke dalam pesona gadis itu. Ia pria dewasa dan wanita adalah mainannya, tetapi kenapa rasanya Midnight tidak pantas untuk dimainkan meskipun rasanya gadis itu ingin sekali bermain dengannya. Midnight mengambil gelas berisi air mineral dan meneguknya hingga tandas. Pertanda dia telah mengakhiri makan malamnya. “Bagaimana?” tanya gadis itu hati-hati. Midnight menggigit bibir bawahnya, seolah tengah mengejek Brady. Tidakkah dia tahu betapa aku memuja bibir itu? “Tidak.” Brady berkata tegas. “Tidak?” ulang Midnight sembari bersandar di kursi. Brady meniru gerakan Midnight dengan menyandarkan punggung di kursi. Jika mereka mabuk, yang akan terjadi adalah… banyak. Brady bisa menjadi serigala kelaparan jika mengambil resiko mabuk bersama Midnight. Dia tidak membutuhkan bahkan satu tetes wine untuk membuatnya menggilai gadis itu. Brady membayangkan tubuh mungil gadis itu di bawah tubuhnya. “Tidak.” sahut Brady tegas. “Aku butuh alasan.” Tantangnya. Tentu. Brady akan menjelaskan alasan paling logis untuk menolak Midnight. “Aku tidak berniat mabuk, Mid. Aku hanya ingin minum. Sedikit. Jadwal untuk dua hari ke depan masih cukup panjang.” “Kalau begitu, kenapa kau tidak membiarkanku mengicipi anggur itu? Aku tidak akan mabuk, sama sepertimu, Brady.” Keras kepala. Gerutu Brady dalam hati, selain fisiknya yang nyaris sama dengan Drake, ternyata sifat mereka juga mirip. Selama bertahun-tahun Brady hidup bersama Drake dan menghadapi pria itu, tak pernah sekali pun ia mengeluh. Seharusnya ia juga bisa sedikit lebih sabar menghadapi Midnight yang kekanak-kanakan. “Kau pernah minum alkohol sebelumnya?” Gadis itu menatap langit-langit, berpikir. “Belum.” “Kalau begitu, aku tidak akan mengijinkanmu-“ “Aku tidak membutuhkan ijin darimu, Brady.” Potong Midnight cepat. “Aku berniat meminum sebanyak yang kau minum. Tiga gelas? Baiklah itu cukup untukku.” “Tidak.” Tolak Brady lagi. Tiga gelas wine untuk Midnight? Yang benar saja! “Tidak ada anggur untukmu.” Midnight menghela napas. “Ada segelas anggur di tanganmu, Sayang.” Sayang. Beraninya Midnight memanggilnya seperti itu. Rasanya kesabaran Brady nyaris habis menghadapi adik Drake yang satu ini. Sejak awal Brady memang tidak berniat untuk mabuk. Dia hanya ingin mencicipi salah satu anggur terbaik di Australia itu. Brady selalu memesan anggur tersebut tiap kali mengunjungi Negeri Kanguru itu. Brady tidak ingin Midnight terlibat dalam hal yang satu ini. Gadis itu terlalu suci dan Brady tidak berniat menodai Midnight dalam hal apa pun. Mungkin dia memang iblis, tapi tidak semua iblis menodai malaikat. “Aku tidak akan minum.” Putusnya. Kening Midnight mengerut dalam. “Tidak?” “Tidak.” katanya tegas seraya meletakkan gelas anggur ke meja. “Sudah larut, mungkin sebaiknya kita tidur.” Ia lalu bangkit daru kursi. Untuk terakhir kalinya Brady memandangi gelas anggurnya. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Seorang Brady tidak pernah bertekuk lutut atau bahkan memohon kepada seorang wanita. Terlebih gadis seperti Midnight. Brady memutari meja dan menghampiri Midnight di kursinya. Ia berdiri di belakang kursi Midnight, siap menggendong gadis itu lagi. “Sekarang kita kembali ke tempat tidur.” “Kita bahkan baru selesai makan, Brady.” Keluh Midnight. “Segelas anggur tidak masalah.” Lanjutnya. “Tidak masalah untukku tapi masalah untukmu, Nona muda.” “Aku wanita dewasa.” Midnight mengalungkan kedua tangan di leher Brady saat pria itu mengangkat tubuhnya. Ia lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Brady lalu menenggelamkan kepala di d**a pria itu. “Kau tidak seharusnya melarangku seperti ini.” Brady tidak menghiraukan gadis itu sama sekali. Apa pun yang akan dikatakan oleh Midnight nanti tidak menghalangi niatnya untuk menjaga gadis itu. “Demi kebaikanmu.” Ucapnya. Keduanya lalu berjalan dalam diam sepanjang perjalanan menuju kamar mereka. Midnight menggunakan salah satu tangannya untuk membuka pintu dan Brady hanya perlu mendorong dengan kakinya untuk membuat pintu kembali tertutup. Dengan hati-hati, Brady meletakkan Midnight di atas tempat tidur. Ia menarik selimut dan menutup tubuh gadis itu hingga ke atas dadanya. “Kau harus tidur. Terima kasih untuk hari ini, Mid.” “Dan kau?” ujung bibir Midnight berkedut sedemikian rupa, “kemana kau akan pergi?” “Anggur di meja itu menungguku, Sayang.” Brady mengecup kening Midnight sekali. “Selamat malam, Cantik.” Midnight tersenyum tulus, sesuatu yang membuat Brady merasa tenang meninggalkan gadis itu di tempat tidur mereka. “Selamat malam, Brady.” Sahut Midnight. “Aku akan segera kembali.” “Ya.” Midnight mengangguk mantap. “Pergilah.” Tak butuh waktu lama bagi Brady untuk meninggalkan ranjang. Ia berjalan menuju pintu dan bersiap membuka pintu tersebut sebelum Midnight menghentikan gerakannya hanya dengan satu kalimat. “Aku akan meminta Elliot membeli anggur tersebut dan menikmatinya bersama pria itu.” Mendengar Midnight menyebut nama Elliot, Brady mengurungkan niatnya. Ia berbalik, melipat kedua tangan di depan d**a dan menantang gadis yang kini telah memejamkan mata untuk membalas tatapannya. “Apa kau bilang?” Hening. Midnight sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Kesabaran Brady nyaris habis, ia memutuskan untuk kembali menghampiri gadis itu. Sesampainya di sisi ranjang, Brady bergegas menggoyang-goyangkan tubuh Midnight, memaksanya untuk bangun. “Aku sedang tidak ingin bercanda, Mid. Bangun dan katakan padaku rencanamu!” Midnight menggeliat, masih dengan mata terpejam. “Apa?” gumamnya lirih. “Ulangi!” “Aku berencana mabuk dengan Elliot.” Katanya tenang. Hanya dengan menyebut nama itu, amarah Brady memuncak. “Buka matamu dan tatap aku!” titahnya dengan nada satu oktaf lebih tinggi. “Midnight!” geram Brady sekali lagi karena gadis itu sama sekali tidak mau mendengarnya. Seolah merasakan kemarahan Brady, Midnight akhirnya membuka mata. Bibirnya mengerucut melihat wajah masam Brady. Ia meneguk salivanya kasar kemudian memalingkan wajah dari pria itu. “Ya.” “Katakan sekali lagi.” Dengan berani, Midnight mengambil napas sebanyak yang dia bisa untuk mengisi paru-paru yang bahkan tidak membutuhkan oksigen terlalu banyak. “Kau tidak bisa memenjarakanku seperti ini sementara kau bersenang-senang di luar sama.” Kalimat itu menghantam telak d**a Brady. Midnight sepenuhnya benar dengan pernyataannya. Kemarin malam dia sengaja mengundang wanita panggilan untuk memuaskan hasratnya selama Midnight berada di kamar bersama dokter dan Lennon serta pelayannya. Malam ini Brady ingin mengulangi hal itu lagi. Dia ingin menghibur diri dengan anggur lalu membiarkan Midnight sendirian di kamarnya. Situasi ini sangat menguntungkan untuk kubu Brady dan merugikan bagi Midnight. Ia sama sekali tidak memberi kebebasan untuk gadis itu. Brady mengurung Midnight seolah gadis itu adalah kucing peliharaan yang sangat berarti hingga tidak membiarkannya terlepas dari genggaman. Saat menyadari kesalahannya, dan beruntungnya Brady menyadari hal itu lebih cepat, Brady kembali memandangi Midnight yang tampak muak dengan dirinya. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa aku bisa sebodoh ini? “Pergilah.” Midnight membuang muka, menarik selimut dan kembali memejamkan mata. Brady menghela napas panjang. Ia lalu memadamkan lampu utama dan menyalakan lampu tidur.  Brady naik ke ranjang, memeluk Midnight dari samping, mengecup kening dan itu dan mengucapkan selamat malam. Di akhir kalimat, ia meminta maaf atas sikapnya yang semena-mena pada Midnight. “Aku tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Ada yang salah dengan diriku.” akunya. Keheningan membungkus ruangan itu cukup lama. Hanya detak jantung Midnight yang mampu Brady dengar dengan baik. Gadis itu sepertinya muak dengan sikapnya, Brady menerima semua kemarahan Midnight. Bagaimana pun, dia pantas mendapatkannya. “Kau kebingungan?” tiba-tiba gadis itu bertanya padanya dengan suara selirih bisikan rindu. “Mungkin.” “Aku juga.” Midnight mengakui. Ia meraih tangan Brady dan menggenggamnya. “Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kita, Brady. Kalau aku boleh jujur, aku merasa nyaman bersamamu.” Brady sekali lagi mengecup pucuk kepala Midnight. “Bagaimana jika suatu hari aku mengecewakanmu, Mid? Aku… iblis yang tidak seharusnya bersanding denganmu.” “Kau tidak akan melakukannya.” Midnight menyerukkan kepala di d**a Brady. “I trust you.” Kepercayaan itu sama sekali tidak pantas didapatkan oleh Brady. Seandainya Midnight tahu apa yang sebenarnya terjadi… akankah gadis itu masih mempercayai dirinya? ** Midnight terbangun saat merasakan lengannya dicengkram oleh seseorang. Dia tahu pelakunya adalah Brady. Cengkeramannya itu semakin menguat, membuatnya meringis kesakitan. Tiba-tiba sebuah jeritan yang cukup keras lolos begitu saja dari bibir Brady, demi melihat apa yang tengah terjadi, Midnight membuka mata, mendongak dan mendapati pria itu masih memejamkan matanya rapat-rapat. “Tidak!” seru Brady sembari menendang selimut yang semula menutup tubuh mereka. “Drake!” Brady kembali bersuara. “Kau di sana! Drake! Maaf!” ucap Brady lagi dan lagi. Tubuh Brady bergetar hebat, satu tangannya masih mencekeram erat tangan Midnight sementara satu yang lainnya meremas tepian tempat tidur, membuat otot-otot pria itu menyembul keluar. Belum sepenuhnya kesadarannya terkumpul, Midnight harus merasakan kaki Brady menendang kakinya yang tidak di gips. Ia menjerit kecil, teriakan Brady mengalahkan suaranya sendiri. “Drake!” seru pria itu lagi. Kengerian tiba-tiba merambati tulang punggung Midnight. Saat ini Brady tengah bermimpi, Midnight ingin menarik pria itu dari mimpi buruknya tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia mengabaikan rasa sakit di pergelangan tangan dan kakinya. Midnight membelai lembut tangan Brady, berbisik lirih dan berharap pria itu menyadari kehadirannya. Usahanya gagal. Midnight tidak berhasil membangunkan pria itu. Yang terjadi justru sebaliknya, teriakan Brady semakin kuat dan pria itu meronta seolah ada yang sengaja memenjarakan tubuhnya. Tangan Brady yang semula mencekeram Midnight mendadak tersentak ke atas. Midnight hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat menyadari apa yang akan terjadi dengan dirinya. Apa pun itu, ia tidak akan mengeluh. Janji Midnight pada dirinya sendiri. Bugh! Tubuh Midnight mendarat mulus di atas lantai setelah Brady dengan tidak sengaja menjatuhkannya. Midnight meringis, merasakan nyeri di kepala dan sesaat kemudian ia mencium bau anyir yang entah dari mana datangnya. Darah. Midnight berusaha keras membuka mata, tepat saat itu sebuah suara dari pintu yang dibuka paksa dari luar terdengar. Seandainya saja kakinya tidak di terluka dan dibungkus gips, mungkin pendaratannya akan jauh lebih. Sayangnya, ia tidak bisa berharap lebih. Midnight sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya ia khawatir dengan kondisi Brady. Apa yang terjadi dengan Brady dan bagaimana keadaan pria itu sekarang. “Bantu dia!” Lennon memerintah orang-orang untuk membantunya bangkit sementara dia menghampiri Brady. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya gugup. Tak berapa lama kemudian Midnight akhirnya berhasil duduk di kursi rodanya dengan dibantu oleh orang-orang yang dibawa Lennon masuk. Ia merasakan cairan kental berbau anyir melewati pelipis dan berakhir di bulu matanya yang lentik. Tepat saat itulah, Brady yang setengah terduduk memalingkan wajah. Pandangan mereka bertabrakan, itu adalah hari di mana ia melihat Brady dalam keadaan terburuknya. Brady menatapnya dengan kengerian penuh yang terpancar di mata pria itu. Rasa sakit yang begitu besar melilit hatinya. Tiba-tiba saja Midnight merasakan sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya. Sesuatu yang bukan berasal darinya, melainkan dari Brady. “Dia akan baik-baik saja.” Lennon membantu Brady duduk dan menegakkan punggung pria itu ke kepala ranjang. Pria itu mengambil segelas air yang tergeletak di atas meja dan memberikannya kepada Brady. “Minumnlah!” “Panggil dokter dan bawa Midnight keluar dari sini.” titah Lennon kepada anak buahnya. Keluar dari kamar sama saja dia meninggalkan Brady yang tengah kesakitan seorang diri, Midnight tidak akan melakukannya. “Tidak.” Penolakan itu menyebabkan alis-alis mengerut karena heran. “Aku tidak membutuhkan dokter.” Lennon mendesah panjang. “Kepalamu terbentur nakas dan berdarah. Kau harus segera diobati.” “Aku baik-baik saja, Lennon. Tinggalkan aku dan Brady sendiri.” Lennon menolak tegas perintahnya. “Kaulah yang harus keluar dari sini.” Brady menunduk sembari memijit pelipisnya. Melihat hal itu, membangkitkan perasaan bersalah yang cukup besar di benak Midnight. Seandainya saja kakinya baik-baik saja, mungkin kepalanya juga tidak terluka. Mungkin Brady tidak akan terlihat semenderita sekarang dan dia bisa mendapatkan jawaban atas pertannyaan yang sejak tadi dipendamnya. “Aku tidak akan keluar sebelum berbicara dengan Brady.” Setetes darah terjun dan mendarat pipinya saat Midnight mengucapkan hal itu. Lennon menyuruh orang-orangnya untuk keluar. Setelah pintu tertutup pria itu berkata, “Brady butuh waktu sendiri, Mid. Tolong pergi dan obati lukamu.” “Aku harus tahu apa yang terjadi dengannya.” Midnight berkeras mendapat jawaban saat itu juga. Baik Lennon maupun Brady enggan menjawab pertanyaannya. Brady memilih turun dari ranjang dengan dibantu oleh Lennon. Pria itu berjalan sempoyongan selama beberapa saat. Kemudian berhenti tak jauh dari kursi roda Midnight. Brady menatapnya sekilas, sorot mata yang biasanya selalu berkobar itu mendadak padam. “Maaf.” Katanya singkat lalu berbalik menuju pintu. Brady berjalan cepat, sama sekali tidak berbalik atau bahkan melihat dirinya untuk terakhir kali hingga pintu tertutup rapat. Di ruangan itu, hanya tersisa dirinya dan Lennon. Midnight tahu apa yang Brady rasakan. Pria itu merasa bersalah akan apa yang menimpa dirinya. Meskipun Midnight sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, sebagai laki-laki sejati sudah sepantasnya Brady merasa bersalah karena melukai seorang gadis yang bahkan tidak tahu apa-apa. “Kau tahu dia pria baik.” Lennon memecah keheningan. Pria itu menunduk, memeriksa luka Midnight dengan hati-hati. “Apa dia selalu seperti itu?” Embusan napas lelah keluar dari tenggorokan Lennon. Pria itu kembali menegakkan punggung, “Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.” Sebelum Midnight sempat bertanya lebih lanjut mengenai keadaan Brady, tiba-tiba ponsel Lennon bergetar di sakunya. Pria itu mengangkat panggilan masuk dan tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Dan setelah selesai dengan panggilan tersebut, Lennon berkata kepada Midnight. “Brady memintaku untuk mengirimmu pulang hari ini.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN