Kecanggungan menyergap di antara Kamasena dan Rosalia saat keduanya menyaksikan video panas milik mereka yang masih tersimpan di ponsel Rosalia. Rosalia mendapat salinan video tersebut dari Marvin. Ya, dari Marvin—mantan suami seharinya. Entah dari mana pria itu mendapatkannya, Rosalia bahkan enggan untuk bertanya lebih jauh.
Karena tidak mungkin menonton video itu di taman, akhirnya Kamasena mengajak Rosalia untuk menyaksikannya di rumah pribadi pria itu. Rumah yang terletak di sebuah desa tepi pantai. Bangunannya berbentuk kotak, berwarna abu, paling mencolok di antara bangunan lainnya.
Kini mereka berada di ruang tamu Kamasena yang nyaman dengan furniture lengkap. Mereka duduk berdampingan, dengan ponsel milik Rosalia yang berada genggaman Kamasena.
Kamasena panas dingin melihat adegan di ponsel milik Rosalia itu. Dia marah besar, karena videonya benar-benar terlihat jelas. Meski video tersebut lebih banyak merugikan Rosalia karena wajahnya disensor sedangkan wajah Rosalia tidak, tapi dia tetap marah. Wajah Rosalia yang di video tersebut benar-benar terlihat sangat menikmati adegan panas mereka. Sedikit lebih bersyukur, karena penyebar video itu menyensor bagian-bagian tubuh miliknya juga milik Rosalia. Setidaknya tubuh polos mereka tidak dilihat oleh banyak orang. Meski suara dan wajah Rosalia tersebar luas.
“Kenapa kamu nggak mencariku waktu itu?” tanya Kamasena setelah mengakhiri menonton video tersebut. Dia tidak sanggup melihat video itu hingga usai.
Rosalia melirik Kamasena tajam. Dia tidak menyangka pria itu akan bertanya demikian. Bagaimana dia akan mencari Kamasena. Jika dia saja tidak tahu bagaimana dia bisa berada di kamar hotel itu. Ingatannya samar pada waktu itu, karena seingatnya, dia bersama Marvin—calon suaminya, bukan malah dengan Kamasena.
“Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kenapa kamu terlihat marah?”
“Karena pertanyaanmu benar-benar aneh. Bagaimana bisa aku cari kamu, sedangkan aku sendiri saja nggak tahu, bagaimana bisa malam itu berada di kamar hotel dengan kamu?”
“Kamu kan bisa tanya orang yang bawa kamu ke hotel? Ke muci-kari yang bawa kamu.”
“Muci-kari?” tanya Rosalia terkejut. “Aku dibawa sama muci-kari ke hotel?”
“Memangnya kamu nggak tahu?” tanya Kamasena tak kalah terkejut. Ada apa sebenarnya ini. Kenapa Rosalia sama sekali tidak mengingat soal malam itu? Dan terlihat terkejut saat mendengar muci-kari?
“Muci-kari? Maksud kamu, aku seorang pela-cur begitu?”
“Memangnya kamu bukan perempuan seperti itu?” Kamasena bertanya balik dengan rasa terkejut yang tak coba ditutupinya.
Rosalia melebarkan manik matanya, kemudian terkekeh pelan. Terkejut, kesal, marah dan sedih bercampur jadi satu saat ini. Videonya tersebar, pernikahannya gagal, diusir oleh sang ayah, hidup jauh sebatang kara. Dan sekarang, dia dituduh sebagai perempuan penjaja s3ks? Lucu sekali memang jalan hidupnya.
“Seseorang sengaja menjebakku kalau begitu.” Rosalia tersenyum getir. Siapa sebenarnya dalang dibalik semua ini? Apa kesalahannya pada orang itu, sampai-sampai orang tersebut setega ini padanya?
“Tunggu, itu berarti kamu juga tidak kenal dengan muci-kari itu?” tanya Kamasena memastikan.
“Sama sekali tidak tahu.” Rosalia menjawab tegas. “Aku nggak kenal dia, aku bahkan nggak ingat kenapa bisa sampai di kamar hotel itu.
“Kita berdua dijebak,” gumam Kamasena yang masih bisa didengar oleh Rosalia. “Aku juga tidak tahu kalau ternyata kamu wanita baik-baik. Pantas saja kamu masih virgin.”
“Jadi kamu juga nggak kenal dengan orang yang bawa aku ke hotel?”
“Aku bahkan nggak ketemu sama orang itu. Kenalanku yang memberikan nomor muci-kari itu dan aku mentransfer sejumlah uang untuk membayarmu. Begitu aku tiba di hotel, kamu sudah berada di sana dalam keadaan mabuk. Menurut orang itu, kamu sengaja minum banyak supaya tidak menyesal saat melakukannya.”
Rosalia tersenyum getir. Benar-benar baji-ngan sekali orang itu.
“Berapa banyak uangnya?” tanya Rosalia.
“15 juta.”
Rosalia terkekeh lagi, kali ini dengan suara yang lebih kencang dan badan bergetar. Hanya senilai 15 juta harga diri dan kesuciannya. Dia benar-benar tak menyangka, ada orang sejahat itu padanya. Apa salahnya memang?
“Maaf, Rose, aku sama sekali tidak tahu kalau kamu bukan perempuan seperti itu. Aku juga dijebak oleh mereka. Aku tahu, aku nggak merugi apa pun di sini. Justru kamu yang banyak merugi. Tapi aku benar-benar minta maaf.” Kamasena sungguh-sungguh saat memohon maaf pada Rosalia.
“Tidak apa-apa. Sudah jadi jalan hidupku begini. Aku cuma syok dan nggak menyangka, ternyata ada orang yang tega melakukan ini sama aku. Bahkan aku sendiri nggak tahu salahku apa ke orang itu. Kalau pun aku salah, kenapa orang itu nggak bicara langsung saja, dari pada harus melakukan ini. Kejam dan tega sekali. Karena perbuatannya itu, aku menderita selama bertahun-tahun.”
“Rose, kadang kita sudah berbuat baik pun, tetap akan dianggap tidak baik oleh orang yang nggak menyukai kita. Jadi tidak selalu kita yang salah. Memang dia saja yang jahat.”
“Entah lah.” Rosalia berdiri. “Sudah clear ya, aku pamit kalau begitu.”
“Tapi minumanmu belum diminum.” Kamasena menahan lengan Rosalia, yang membuat mereka bertatapan sejenak.
Ada sengatan kecil di perasaan mereka masing-masing. Namun hanya sebentar saja, karena Rosalia seketika menjaga jarak dari Kamasena.
“Maaf, Rose,” ucap Kamasena yang telah membuat Rosalia merasa tidak nyaman.
“Aku harus pulang, sudah malam,” pamit Rosalia.
“Tunggu sebentar, aku antar.” Kamasena menyambar kunci motornya yang tergeletak di meja.
“Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri.”
“Nggak, aku harus mengantar kamu pulang dan pastikan kamu aman sampai kosmu.” Kamasena memaksa. Dan dengan cepat memasangkan helm ke kepala Rosalia.
Motor besar itu akhirnya melaju membelah jalanan yang cukup sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melalui jalan pedesaan itu. Barulah sampai di jalan utama, kendaraan mulai ramai. Sepanjang perjalanan menuju indekos Rosalia, baik Kamasena maupun Rosalia saling terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Terlebih Rosalia yang benar-benar tak menyangka jika ada seseorang yang benar-benar tega menjualnya seperti pela-cur. Siapa orang jahat itu sebenarnya? Dan apa motif sebenarnya?
“Sudah kuduga kamu tahu kosku. Jadi benar selama ini kamu memang memata-mataiku?” tanya Rosalia begitu turun dari motor Kamasena. Mereka telah tiba di depan indekos Rosalia.
Kamasena hanya tersenyum kecil dan mengangguk. “Aku hanya memastikan kalau itu memang kamu. Dan ternyata benar.”
“Aku nggak menyangka kalau kamu masih mengingatku. Kejadiannya sudah 4 tahun lalu padahal.”
“Aku ingat, karena kamu gadis yang pertama untukku.”
“Apa?”
“Kamu tahu maksudku, Rose.” Kamasena tersenyum penuh arti.
“Sudah lah, jangan dibahas. Kita juga belum tentu akan bertemu lagi.”
“Kenapa memangnya nggak mau bertemu aku lagi?”
“Karena kita memang nggak kenal. Dan ketemu kamu hanya akan mengingatkanku pada kejadian itu. Aku nggak mau ingat terus kejadian itu. Aku mau melupakannya.”
“Kenalkan, namaku Kamasena Prasojo. Mari kita memulai semuanya dari awal.” Masih dengan posisi di atas motornya, Kamasena mengulurkan tangannya pada Rosalia, sebagai bentuk perkenalan.
Rosalia menepis uluran tangan Kamasena. Dia tidak mau berkenalan. “Kamu sudah memberitahu namamu kemarin.”
“Jadi, kita bisa jadi teman bukan?”
“Aku nggak mau berteman dengan seseorang yang sudah ….” Rosalia tidak jadi meneruskan kalimatnya, karena Kamasena sepertinya memang tidak bersalah.
“Sudah apa?” tanya Kamasena dengan ekspresi wajah yang tak seramah tadi.
“Lupakan.” Rosalia mengibaskan tangan di depan tubuhnya. “Kamu, pulang lah sekarang dan hati-hati.”
“Kita akan bertemu lagi,” kata Kamasena sebelum meninggalkan tempat itu dan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Rosalia mengembuskan napas berat. Kenyataan yang baru diketahuinya sekarang benar-benar mengejutkannya. Dia ingin sekali tahu siapa dalang di balik semua ini, tapi bagaimana dia mencari tahunya?
Bersambung