Avia pulang cukup larut malam. Saat ia akhirnya masuk ke kamarnya, Avia mengunci pintu dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas tempat tidur. Dia menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan mata lelah.
Ia ingin pergi dari rumah ini. Tapi ia tidak bisa. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru memaksanya tetap tinggal.
“Avia, kamu anak sulung keluarga ini. Rumah ini adalah tanggung jawabmu. Enggak ada alasan bagimu untuk meninggalkan rumah!” Begitulah kata-kata yang selalu dia dengar dari sang ayah. Namun, Avia tahu alasan sebenarnya. Ayahnya tidak ingin dia pergi karena ingin ia tetap mengurus bisnis keluarga. Bukan karena cinta atau kepedulian, tapi karena status dan reputasi.
Avia memang tak pernah mau terpublikasi, sejak kecil dia tak pernah mau ikut acara perusahaan ayahnya atau terlibat dengan Santana Group. Itu sebabnya dia berusaha dengan keras untuk menyiapkan perusahaan sendiri meski pun ayahnya tetap menjadi investor utamanya. Privillege yang tak bisa didapat semua orang.
Yang orang-orang tahu anak dari Wishu Santana adalah Jasmine, mereka mungkin tahu nama Avia Maharani, namun tak pernah tahu sosok seperti apa Avia?
Jika rumah ini tidak bisa menjadi tempat yang nyaman baginya, maka ia akan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dia pun mengambil laptop dan menyandarkan diri di ranjang, pekerjaan selalu bisa membuatnya kabur dari pikiran tentang keluarganya yang menurutnya berantakan.
Namun, di sudut hatinya, ia merasakan kekosongan yang semakin hari semakin dalam.
Ia tidak ingin mengakuinya, tapi setelah bertemu Dirga lagi, ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah. Pria itu tampak begitu hangat, tatapan matanya. Cara dia berkomunikasi dengan rekan kerja lainnya yang terkadang membuat Avia iri.
Dulu ... hanya Dirga yang bisa membuatnya lupa akan masalah rumahnya. Bahkan secara tidak sengaja Avia mengatakan pada Dirga bahwa ibunya yang saat ini adalah bukan ibu kandungnya. Entahlah apa kah Dirga masih mengingat itu?
Mungkinkah pria itu adalah satu-satunya orang yang bisa melihat dirinya lebih dari sekadar 'Avia si bos galak'? Dia menggeleng pelan. Tidak. Dia tidak boleh berharap terlalu banyak. Hidup sudah mengajarinya bahwa berharap hanya akan membawa kekecewaan. Dia takut jika dia kembali membuka diri pada Dirga, maka pria itu akan kembali pergi meninggalkannya tanpa kata.
Pagi itu, seperti biasa, rumah keluarga Avia penuh dengan hiruk-pikuk yang tak pernah berakhir. Rumah mewah yang megah dan luas, namun terasa dingin dan jauh dari kenyamanan. Avia sedang duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Dalam hati, dia merasa lelah. Lelah dengan rutinitas yang tidak ada habisnya, lelah dengan kesendirian yang seolah tak pernah hilang, dan lelah dengan kenyataan bahwa dia selalu berada di bawah bayang-bayang adik tirinya, Jasmine.
Pagi ini, Jasmine baru saja keluar dari kamar dan hendak melakukan pemotretan. Rambutnya tergerai indah, mengenakan gaun mewah yang mengesankan, seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Dia berjalan dengan anggun masuk ke ruang makan, melemparkan senyuman menawan pada ayah mereka yang tengah duduk di meja, membaca koran.
“Papa, aku mau minta tolong,” ucap Jasmine dengan suara manja, sambil duduk di kursi dekat ayahnya. “Aku ingin mansion baru. Yang lebih besar dari yang sekarang. Yang ada kolam renangnya, ya? Model-model seperti aku butuh tempat tinggal yang nyaman.”
Ayah Avia, yang dikenal sebagai seorang konglomerat sukses, menurunkan korannya dan memandang Jasmine dengan wajah yang penuh kasih. Tidak ada tanda-tanda keraguan atau keberatan di matanya. “Tentu, sayang. Mana mungkin papa menolak permintaanmu,” jawabnya dengan lembut, seolah permintaan itu adalah hal yang biasa dan bisa segera dipenuhi.
Avia yang duduk di meja makan terdiam, menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia tidak bisa menyalahkan ayahnya, karena memang sudah lama Ayahnya menganggap Jasmine sebagai anak kesayangan. Namun, ada perasaan yang membuncah dalam dirinya, perasaan cemburu yang sudah tidak bisa dia tahan lagi.
“Jasmine, kamu enggak berpikir itu terlalu berlebihan?” ujar Avia akhirnya, memecah keheningan yang sudah semakin berat. “Kita sudah punya rumah yang cukup besar. Kamu sudah punya banyak, mengapa harus selalu meminta lebih?”
Jasmine menoleh dengan tatapan tajam, senyum manisnya berubah menjadi sesuatu yang lebih seperti seringaian. “Kamu cemburu, ya, Kak?” tanyanya dengan nada mengejek. “Papa tahu kok aku berhak dapat yang terbaik. Model ternama sepertiku harus punya tempat tinggal yang layak, bukan rumah biasa seperti ini.”
Avia merasa jantungnya berdegup kencang, merasa perasaan itu mulai meluap begitu saja. Selama bertahun-tahun, Jasmine selalu mendapat apa yang dia inginkan. Tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena dia adalah anak kesayangan ayahnya.
Avia? Tidak pernah mendapat perhatian lebih dari ayahnya. Setiap kali dia meminta sesuatu, seperti saat ingin pindah ke apartemen untuk hidup lebih mandiri, ayahnya selalu menolak dengan alasan yang sulit diterima.
“Papa,” panggil Avia mencoba berbicara lebih tenang, meskipun di dalam hatinya ada rasa yang sangat kesal, “Aku hanya ingin pindah ke apartemen. Enggak perlu mansion besar-besaran. Aku hanya ingin hidup lebih tenang tanpa semua hiruk-pikuk ini.”
Ayahnya menatapnya dengan mata yang tampak penuh keheranan. “Avia, kenapa kamu selalu ingin pergi? Kamu enggak pernah puas dengan apa yang sudah ada. Apa yang kurang di rumah ini? Kamu sudah punya segalanya, perusahaan, fasilitas, apa lagi yang kamu butuhkan?” ujar Wishnu, Margaretha hanya menunduk, namun Avia tahu dia tersenyum dibalik wajahnya.
Avia menundukkan kepala, menahan amarah yang hampir meluap. Sejak kecil, dia selalu merasa tidak cukup. Apa pun yang dia lakukan, ayahnya selalu saja menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tapi ketika Jasmine meminta sesuatu, apapun itu, selalu diberikan dengan mudah. Entah karena kecantikannya, statusnya sebagai model terkenal, atau sekadar karena dia adalah anak kandung? Avia tidak tahu pasti.
“Papa, aku enggak minta banyak,” ujar Avia, berusaha menahan suara yang mulai bergetar. “Aku hanya ingin punya ruang untuk diriku sendiri. Enggak ada yang salah dengan itu.”
Namun, ayahnya hanya menghela napas dan berdiri dari kursinya. “Kamu sudah memiliki segalanya di rumah ini Avia, atau mungkin Papa bisa mempertimbangkannya, jika kamu menikah. Baru papa bisa melepas kepergian kamu dari rumah ini.”
Jasmine menoleh dengan senyum tipis, seolah memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih menegaskan d******i dalam keluarga. “Kamu itu terlalu keras kepala, Kak. Kenapa sih nggak bisa lebih fleksibel sedikit? Semua orang juga tahu, Papa lebih suka dengan anak yang bisa bersyukur.”
Avia merasakan sakit di dadanya. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk perlahan-lahan. Ia tahu, tidak ada tempat untuknya dalam hati ayahnya. Tidak pernah ada ruang untuknya seperti yang ada untuk Jasmine.
Avia menatap kepergian ayahnya, menuju ruang kerjanya. Di pagi hari biasanya ayahnya akan berada di ruangan itu sebelum berangkat ke perusahaannya.
Setelah pertengkaran dengan ayahnya dan Jasmine, dia merasa hampa. Sejak kecil, Avia selalu merasa terpinggirkan di rumah, di antara keluarganya, dan bahkan kadang-kadang di tempat kerjanya. Di mana pun dia berada, selalu ada bayangan Jasmine yang lebih menarik perhatian, lebih mendapatkan pujian, lebih menjadi pusat dunia.
Avia tidak bisa terus seperti ini, karena itu dia mengekor ayahnya menuju ruangan kerjanya. Bertanya tentang kata pernikahan yang ayahnya gelontorkan secara tiba-tiba tadi. Dia tahu usianya tak muda lagi, sudah kepala tiga. Namun, mengapa dia harus menikah dulu untuk keluar dari rumah yang seperti neraka ini?
Di ruang kerja, Ayah Avia tampak menunggunya. Senyum miringnya tercetak, dia sangat kenal anaknya. Avia tak pernah puas dengan kata-katanya dan akan mengkonfrontasinya.
Pemandangan yang selalu sama, meja besar dengan tumpukan dokumen dan berkas-berkas yang menunjukkan betapa sibuk dan pentingnya dia. Ayah Avia itu sosok yang bisa dibilang sukses dalam segala hal, tetapi dengan keluarga, dia selalu tampak jauh.
“Papa yakin seratus persen kamu akan menemui papa secara pribadi.” suara Ayahnya terdengar tegas dan tanpa ekspresi.
Avia duduk di kursi di hadapan meja ayahnya. “Ya, dan aku selalu penasaran kenapa setiap kali papa marah padaku papa selalu pergi?”
Ayahnya menghela napas dan membuka laci meja, mengeluarkan beberapa berkas yang tampaknya sangat penting. “Aku tahu kamu ingin keluar dari rumah ini, tapi itu bukan keputusan yang tepat. Kamu lebih baik tinggal di sini saja. Jangan terlalu terobsesi dengan hal-hal pribadi yang enggak penting.”
Avia menahan napasnya. Kata-kata itu terasa begitu pedas, seolah-olah semua perasaannya yang selama ini terkubur terungkap begitu saja. “Aku enggak minta banyak, Pa. Aku hanya ingin merasa punya ruang sendiri. Kenapa itu salah?”
Ayahnya menatapnya dengan tatapan datar. “Ini bukan soal salah atau benar, Avia. Ini soal tanggung jawab. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti itu. Lagi pula, Jasmine lebih membutuhkan perhatian kita. Kamu seharusnya bisa lebih fleksibel.”
Avia merasa perasaannya terluka lebih dalam dari yang dia duga. “Papa lebih peduli sama Jasmine dari pada sama aku, Pa,” suara Avia hampir hilang di ujung kalimatnya. “Apa aku bukan anak kamu juga?”
Ayahnya terdiam sejenak, matanya menatap berkas di depannya. “Kamu tidak mengerti. Jasmine, dia anak yang berbeda. Dia membawa nama baik keluarga, dia bisa mendapatkan apa saja yang dia mau, dan itu sangat penting untuk reputasi kita.”
Avia merasa seperti dinding batu di depannya semakin tinggi dan kokoh. “Jadi, aku enggak penting?” tanya Avia dengan suara gemetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Ayahnya menatapnya dengan kesal. “Jangan seperti ini, Avia. Kamu hanya perlu belajar untuk menerima kenyataan.”
Avia menghela napas, berusaha menahan air mata yang sudah hampir jatuh. “Aku enggak bisa menerima kenyataan seperti itu, Pa. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin merasa dihargai. Kenapa sih susah banget aku pergi dari sini, padahal papa tahu tante Margareth enggak pernah menganggap aku layaknya anaknya.”
“Baik kalau kamu memang mau keluar, menikahlah. Baru kamu bisa keluar dari rumah ini. Dengan begitu papa bisa mengatakan pada ibumu bahwa tanggung jawab papa sudah selesai,” ucapnya membuat Avia memandang dengan pandangan pilu, dia menggeleng seraya tersenyum sarkastik.
“Oke, aku akan menikah.”
“Dan bukan pernikahan Kontrak!”
“Yang penting menikah, Kan? Apa peduli papa? Toh enggak ada yang tahu juga kalau aku anak papa Wishnu Santana!”
Setelah beberapa saat hening, Avia bangkit dari kursinya, meninggalkan ayahnya yang tampak bingung dan frustrasi. Di luar, langit cerah, tetapi hatinya terasa gelap. Sesuatu dalam dirinya telah pecah, dan Avia tahu bahwa dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di dalam rumah yang penuh ketidakadilan ini. Perasaan terpinggirkan yang dia rasakan sudah cukup lama, dan kali ini, dia merasa lebih yakin dari sebelumnya bahwa dia harus melangkah keluar.
***