6. Dua Arah Angin

1654 Kata
Hari pertama latihan Ersha dimulai di ruang tamu kontrakan kecil mereka. Ikha duduk di lantai beralas karpet tipis, sementara Ersha dengan penuh semangat menulis angka-angka di buku catatannya. “Jadi, jika satu apel seharga 500 rupiah dan kamu membeli tujuh apel, berapa yang harus kamu bayar?” tanya Ikha sambil tersenyum lembut. Ersha mengerutkan kening, menggigit ujung pensilnya. “Hm, Tujuh kali lima ratus.” “Duh, ini gampang banget, Ersha!” seru Kenzo dari dekat pintu. Hari masih sore dan Dirga mungkin sebentar lagi akan pulang ke rumah jika melihat waktu yang bergulir. Jarak dari perusahaan tempatnya bekerja dengan rumah kontrakannya tidak terlalu jauh. “Kenzo, jangan ganggu!” ujar Sierra, menegur sambil menyiapkan camilan di dapur. Ikha hanya tertawa kecil. “Biarkan Ersha berpikir sendiri dulu, ya.” Senyumnya tampak lembut ke arah Kenzo yang kemudian hanya tersenyum tak enak dan memutuskan pergi dari ruang tamu yang jika malam digunakan sebagai ruang tidurnya bersama Dirga. Mungkin dia akan menemui teman-teman lainnya, ketika dia mengambil sandal dia pun tertunduk, kepalanya terasa sangat pusing. Dia berpegangan dengan tiang, lalu berjongkok meraba sandalnya. Dia memakainya dengan sedikit kesusahan karena matanya terasa buram. Dua detik dia memejamkan mata, lalu dia merasa lebih baik dan dia pun kembali berdiri. Dia tak mengerti mengapa belakangan dia sering pusing, dan padangannya sering mengabur? Dia tak mau menceritakan itu pada Dirga karena tak mau menambah beban kakaknya itu. Setelah beberapa detik, Ersha akhirnya menjawab, “Tiga ribu lima ratus rupiah!” Ikha tersenyum lebar. “Bagus! Kamu cepat menangkapnya,” ucap Ikha sambil mengusap rambut Ersha dengan lembut. Tak berapa lama terdengar suara deru motor Dirga yang berhenti di depan rumah kontrakannya. Dia melihat ada flat shoes di depan rumahnya. Sepatu asing yang dia tebak milik guru Ersha. Biasanya gadis kecil itu akan berlari memeluknya, namun tak ada tanda-tanda adiknya itu keluar, hingga Dirga mengucap salam dan masuk ke dalam. Tampak Ikha menoleh ke arahnya, senyumnya begitu lembut. Warna bibir merah muda yang tampak natural membuat wajahnya tampak cantik sekaligus kalem. “Selamat sore,” sapa Ikha. “Sore, Bu. Maaf ya rumahnya sempit,” ucap Dirga, meletakkan helmnya di luar. “Enggak apa-apa, yang penting kan nyaman,” tutur Ikha. Sierra yang mengintip dari arah dapur hanya tersenyum tipis. Dirga kemudian menuju dapur dan melihat adiknya yang sudah memberi tatapan menggoda. Dirga mendengus dan menjentikkan jari di kening Sierra. “Kamu bikin apa sih?” tanya Dirga. “Pisang goreng, tadi ibu Ros ngasih pisang jadi aku goreng saja.” Ibu Ros adalah ibu baik hati pemilik rumah kontrakan ini. “Oh, Kenzo mana?” tanya Dirga. “Main, soalnya ganggu Ersha terus,” gerutu Sierra membuat Dirga tertawa. “Sini biar abang yang antar ke depan,” ucap Dirga. “Cieee bilang aja mau lihat ibu Ikha lagi,” racau Sierra membuat Dirga memiringkan bibirnya. “Terus saja,” ujarnya. Dia pun membawakan pisang goreng itu ke depan. Ikha masih serius mengajari latihan soal untuk Ersha. “Terima kasih,” ucap Ikha. Dirga mengangguk dan ikut duduk, melihat kertas soal yang tengah dikerjakan oleh Ersha. “Ini pelajaran SD sekarang?” tanya Dirga. “Iya, kenapa?” tanya Ikha. “Kayaknya dulu pelajaran ini saya pelajari saat SMP?” gumam Dirga membuat Ikha tertawa kecil. Wajahnya saat tertawa tampak begitu imut. “Jaman sudah berubah, Pak,” tutur Ikha, Dirga menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mengangguk. Ersha tampak serius mengerjakannya. Hingga acara belajar mereka selesai. Setelah sesi belajar selesai, Ikha membantu Sierra merapikan buku-buku Ersha di meja. “Bu Ikha, ibu sering mengajar privat di rumah murid?” tanya Sierra sambil memasukkan buku ke dalam rak. Ikha menggeleng, tersenyum kecil. “Enggak terlalu sering. Tapi untuk murid spesial seperti Ersha, saya tidak keberatan.” Sierra melirik ke arah Dirga yang sedang berbincang dengan Kenzo yang sudah pulang dari main. “Jadi, Ersha yang spesial atau Bang Dirga?” Ikha terbatuk pelan, wajahnya sedikit memerah. “Maksudmu apa?” “Enggak, cuma penasaran aja,” ucap Sierra hanya tersenyum penuh arti. Ikha menggeleng menatap Sierra. “Bagaimana sekolah kamu? Lancar? Pasti berat ya mengambil peran seorang ibu?” tanya Ikha yang sudah mendengar dari Ersha tentang kehidupan keluarganya. Sierra menarik napas panjang dan megembuskannya perlahan, “enggak seberapa sulit dibanding kehidupan Bang Dirga, seharusnya dia sudah menjalani hubungan romantis, tapi dia malah jadi ayah tunggal bagi tiga adiknya.” “Kalian itu kuat, makanya Tuhan kasih kalian jalan seperti ini, tapi percaya sama ibu, bahwa kalian akan mendapat kebahagiaan yang jauh lebih besar dari semua kesulitan yang sudah kalian lalui,” tutur Ikha membuat Sierra mengangguk yakin. Sementara itu, Dirga tidak menyadari percakapan kecil mereka. Ia sibuk memastikan Kenzo mengerjakan PR-nya. Saat Ikha hendak pamit, ia berdiri di depan pintu sambil menatap Dirga. “Terima kasih sudah mengizinkan saya membantu Ersha. Saya benar-benar senang bisa melihat dia berkembang.” Dirga mengangguk, “Kami justru yang berterima kasih. Tidak banyak guru yang sepeduli Anda.” Ikha tersenyum lembut, lalu dengan ragu-ragu berkata, “kalau Pak Dirga butuh bantuan lain, entah untuk Ersha atau hal lain, jangan ragu menghubungi saya, ya.” Dirga sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Saya akan ingat itu, Bu Ikha.” Dirga mengantar Ikha sampai depan teras, “terima kasih ya, Bu,” ucap Dirga. “Sama-sama, Pak. Saya menaruh keyakinan bahwa Ersha bisa memenangkan olimpiade matematika, dia sangat pandai. Dirga ikut tersenyum. Ikha melirik ke arahnya. “Sepertinya kepintaran itu menurun dari kakaknya, ya?” Dirga mengangkat bahu, pura-pura tak acuh, tapi dalam hati ia merasakan sesuatu yang hangat dari cara Ikha berbicara padanya. Setelah Ikha pergi dan Dirga kembali masuk ke dalam, Kenzo menatap Dirga dengan ekspresi menggoda. “Bang Dirga, Bu Ikha suka sama Abang, deh!” Dirga mengacak rambut Kenzo. “Ah, bocah tahu apa soal cinta?” Sierra terkikik. “Tapi beneran lho, Bang. Cara Bu Ikha mandang Abang tadi tuh, beda.” Dirga menghela napas, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang berbeda dari Ikha. Namun di dalam hati, ia tahu bahwa hatinya masih terikat pada satu nama lain. Avia. Dia masih sangat penasaran dengan wanita sedingin es itu. Wanita yang menatapnya dengan pandangan tajam, wanita yang sangat jarang tersenyum seolah senyumnya itu sangat mahal! Beberapa hari berlalu sejak kedatangan Ikha di rumah Dirga. Kehadiran wanita itu meninggalkan kesan yang mendalam, baik pada Dirga maupun pada dirinya sendiri. Setiap kali Dirga berinteraksi dengan Ikha, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Keberadaan Ikha, dengan sikap lembut dan penuh perhatian, membuat Dirga merasa nyaman dan dihargai. Sementara itu, di sisi lain kota, Ikha tengah sibuk mengajar di kelas. Ia memandangi anak-anaknya yang sedang belajar dengan antusias. Namun, hatinya tidak sepenuhnya berada di situ. Pikirannya melayang pada Dirga, yang beberapa kali dia temui. Setiap kali melihat Dirga, Ikha merasa seperti ada sesuatu yang tidak bisa dia pungkiri. Perasaan itu tumbuh perlahan, dan walaupun dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, hatinya tetap saja merasa tergerak oleh sosok Dirga yang penuh perhatian terhadap adiknya. Ikha tahu bahwa perasaannya mungkin tidak akan mudah diterima. Dirga, dengan segala kesibukannya, tampaknya lebih tertarik pada kehidupan pekerjaannya dan keluarga kecilnya dari pada perasaan orang lain. Tetapi Ikha tidak bisa menahan perasaan itu, bahkan ketika dia tahu bahwa mungkin tidak ada tempat untuk dirinya di hati Dirga. Meskipun begitu, Ikha tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa setiap kali dia bersama Dirga, ada rasa damai yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Dirga terdengar begitu penuh perhatian, dan dia merasa dihargai. Sifatnya yang tulus, jauh berbeda dengan kebanyakan pria yang pernah dia kenal, menarik Ikha untuk lebih mengenalnya. Dirga, setelah seharian bekerja, pulang ke rumah. Di ruang tamu, Ersha sudah menunggu dengan wajah penuh harap. “Bang Dirga, Bu Ikha tadi bilang dia senang banget bisa ngajar di kelas. Dia bilang, aku pintar, loh!” Dirga tersenyum, mengelus kepala adiknya. “Iya, Ersha memang pintar. Kamu pasti bisa menjadi juara saat lomba.” Di dalam hatinya, Dirga merasa sedikit cemas. Kehadiran Ikha semakin mengganggu pikirannya. Sejak pertama kali bertemu, sampai kini hampir sebulan, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, perasaan yang seharusnya tidak muncul begitu saja. Dia merasa seperti berada di persimpangan jalan, antara perasaan lama yang belum selesai dan sesuatu yang baru, yang tumbuh dengan sangat perlahan. Di sisi lain, Avia, meskipun tidak sepenuhnya menyadarinya, merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Dia merasa bahwa Dirga tidak hanya membawa konflik ke dalam pekerjaan, tetapi juga perasaan yang tak terduga. Ada bagian dari dirinya yang merasa ingin membuka diri, namun takut akan apa yang mungkin ia temui. Dan Ikha. Ikha adalah satu-satunya orang yang terlihat begitu mudah bergaul dengan Dirga, tanpa ada ketegangan atau perasaan yang membebani. Dirga dan Ikha seperti dua orang yang tumbuh dengan kedewasaan yang berbeda seolah melengkapi. Terkadang Dirga memperhatikan cara Ikha mengajar adiknya itu, begitu lembut dan penuh kasih. Tak jarang Ikha memuji Ersha atau mengusap lembut kepala Ersha yang tidak mendapat kasih sayang penuh dari ibu kandungnya yang meninggal. Ikha juga sesekali memperhatikan Kenzo dan Sierra, dia selalu memuji mereka yang tampak berbeda dengan anak lain. Mungkin anak seusia Kenzo lebih suka bermain ponsel atau kumpul dengan teman lainnya. Namun dia lebih sering melihat Kenzo di rumah, membaca buku atau mencuci sepatu seolah itu adalah tanggung jawabnya. Besok adalah hari yang ditunggu, hari perlombaan Ersha, sayangnya Dirga tak bisa hadir karena ada rapat yang cukup penting. Dia hanya bisa berkirim pesan dengan Ikha, meminta Ikha untuk mengabarinya dalam beberapa moment. Dirga tak bisa membiarkan Avia menghandle rapat besar itu seorang diri, dia pernah melihat wanita itu tertidur di saat semua karyawan sudah pulang. Membuat Dirga yakin, ada sisi rapuh dari dalam Avia yang tak pernah ditunjukkannya. Dirga tampak membandingkan dua orang wanita dewasa yang entah mengapa seolah menempati dua sisi yang sama di hatinya? Apakah Dirga akan memilih jalan yang penuh ketidakpastian, ataukah dia akan menemukan kedamaian dalam hubungan yang sudah lama tertunda? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN