5. Kejutan

1604 Kata
Pagi itu, saat Dirga bersiap berangkat ke kantor, Ersha tiba-tiba berlari menghampirinya dengan wajah penuh semangat. Senyum lebarnya tercetak ketika dia menghampiri Dirga yang tengah memanaskan motornya. Motor butut itu sering mati jika mesinnya dingin. Semalam ketika dia pulang ke rumah, adik terakhirnya sudah tertidur pulas sehingga baru pagi ini dia bisa berbicara dengannya. “Bang! Bang Dirga! Aku lolos seleksi lomba Matematika tingkat sekolah dasar!” serunya dengan mata berbinar. Dirga, yang sedang menarik gas tangannya pun menoleh seraya mengangkat alis. “Serius?” Ersha mengangguk heboh. “Iya! Kata Bu Ikha, aku pasti bisa menang kalau aku banyak belajar! Dan kata kak Sierra dulu juga abang sering ikut lomba matematika, Kan?” Dirga tersenyum bangga, lalu berjongkok untuk menatap Ersha setara. Tak lupa dimatikan mesin motornya agar suara bising tak menghalangi pembicaraan mereka. “Wah, adek abang memang hebat! Kapan lombanya?” Mengingatkan Dirga ketika dia masih usia sekolah dia sering ikut olimpiade, bahkan sampai SMA. Rupanya kepintarannya menurun ke Ersha. “Bulan depan!” jawab Ersha penuh semangat. “Tapi aku harus banyak latihan biar bisa menang!” Dirga mengacak rambut adiknya dengan penuh kasih sayang. “Jangan khawatir. Abang akan pastikan kamu dapat semua yang kamu butuhkan untuk latihan.” Dari pintu depan, Sierra tersenyum mendengar percakapan mereka. “Kayaknya kita harus kasih Ersha makanan bergizi supaya otaknya makin encer!” guraunya. Kenzo, yang masih setengah mengantuk di ruang depan yang dijadikan tempat tidurnya pun mendengus. “Apa itu artinya kita harus banyak makan ikan?” Dia kemudian mengerucutkan bibirnya sambil melipat selimut. Ersha mencibir. “Aku nggak suka ikan!” Dirga tertawa. “Kalau mau jadi juara, enggak boleh pilih-pilih makanan, tahu?” Mereka semua tertawa bersama, menikmati momen sederhana itu. Namun, mereka tidak menyadari bahwa kejutan lain akan datang hari itu. Dirga menoleh, merasa diperhatikan oleh seseorang, lalu dia melihat sosok wanita berdiri di depan kontrakannya. Wanita itu mengenakan blouse lembut berwarna pastel, dengan rok panjang yang rapi. Rambut hitamnya tergerai, dan senyumnya terlihat hangat serta sopan. “Selamat pagi. Maaf mengganggu, hai Ersha?” sapanya dengan suaranya lembut, menggunakan nada tenang yang menyenangkan. “Bu Ikha!!” ujar Ersha hendak berlari menubruk wanita yang diketahui merupakan wali kelasnya di sekolah itu, jika saja tak cepat dipegangi oleh Dirga. “Mandi dulu, lihat tuh bu Ikha sudah cantik dan wangi, masa mau dipeluk anak bau iler?” gerutu Dirga membuat Ersha tertawa. “Sebentar ya Bu, aku mandi dulu, bye bye ibu,” ujarnya berlari ke dalam. Sierra hanya menggeleng geli lalu dia masuk ke dalam kontrakannya untuk membantu mencarikan pakaian sekolah Ersha. “Silakan duduk, ehm maaf rumahnya berantakan,” ujar Dirga menunjuk kursi plastik di teras rumahnya. Wanita manis itu pun mengangguk, kulitnya yang putih tampak sangat kontras dengan tas berwarna caramel yang dikenakannya. Wanita itu tersenyum pada Dirga yang menarik kursi untuk duduk agak jauh darinya, “saya Ikha, guru Ersha di sekolah. Saya sengaja datang karena ingin membahas persiapan lombanya.” “Oh, iya Ersha baru saja cerita,” ucap Dirga. Tak berapa lama Sierra keluar membawakan dua gelas teh manis hangat dan mempersilakan keduanya menikmati teh itu, dia sudah mengenakan pakaian sekolahnya sepagi ini. “Saya sudah melihat kemampuan Ersha di kelas, dan saya yakin dia bisa memenangkan lomba. Karena itu, saya ingin menawarkan bantuan untuk melatihnya secara intensif,” jelas Ikha dengan nada penuh keyakinan. Dirga tersenyum tipis. “Terima kasih banyak, Bu Ikha. Kami benar-benar menghargai niat baik Anda. Tapi saya khawatir ini akan merepotkan.” Ikha menggeleng dengan lembut. “Sama sekali tidak. Saya justru senang bisa membantu murid yang berbakat seperti Ersha.” Ersha pun keluar setelah memakai pakaiannya meski rambutnya masih berantakan, di tangannya memegang sisir, dia tersenyum lebar pada gurunya. “Ibu kok enggak bilang-bilang mau ke sini?” tanyanya. Dirga mengambil sisir itu dan mendudukkan Ersha di pangkuannya, lalu menyisiri rambut adiknya dengan lembut. Ikha memperhatikan dengan seksama, betapa hangat perlakuan Dirga. Ikha tertawa kecil. “Ibu datang untuk bicara sama Kakakmu. Mulai minggu depan, kita akan latihan bersama, ya?” Ersha melompat kegirangan. “Yeay! Aku nggak sabar!” Dirga memperhatikan interaksi mereka, lalu menatap Ikha dengan penuh rasa terima kasih. Guru itu memang berbeda dari yang ia bayangkan, tidak hanya cerdas, tetapi juga lembut dan penuh perhatian. Namun, di sudut hatinya, Dirga menyadari sesuatu. Ikha bukan hanya tertarik pada perkembangan Ersha. Cara wanita itu berbicara dengannya, tatapan lembutnya, dan perhatiannya yang lebih dari sekadar seorang guru, seperti ada sesuatu di sana. Sierra, yang sejak tadi mengamati dari dalam, tersenyum penuh arti sambil berbisik pada Kenzo, “Kayaknya ada yang mulai suka sama Bang Dirga.” Kenzo hanya mengangkat bahu, lalu melanjutkan makannya. Tapi Sierra tahu, cepat atau lambat, sesuatu pasti akan terjadi antara kakaknya dan guru cantik ini. Setelah Ersha rapih, dia pun berangkat sekolah bersama Ikha yang kedapatan sempat meminta nomor telepon Dirga karena selama ini yang mengurus sekolah Ersha adalah Sierra jadi di grup chat yang tertera nomor Sierra. Ikha merasa perlu menunjukkan perkembangan Ersha pada kakak tertuanya, kakak yang selalu dikagumi oleh Ersha dan dibanggakan di setiap waktu. Membuat Ikha penasaran, rupanya benar. Pria itu tampak dewasa, dan juga ... tampan. *** Hari itu, Dirga merasa sedikit lebih bingung dari biasanya. Di kantor, dia harus menghadapi Avia lagi, mengingat rapat penting yang harus mereka bahas bersama. Meskipun di luar mereka berdua selalu menjaga sikap profesional, Dirga tahu bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara mereka. Ketegangan yang selalu ada di setiap percakapan mereka, tidak peduli seberapa serius atau santainya topik yang mereka bahas. Dirga sangat ingin berbicara dengan santai, namun Avia seperti tidak mengizinkannya, membangun tembok tinggi di antara mereka. Di ruang rapat, Avia duduk dengan wajah yang kembali terlihat kaku seperti biasa. Kacamata minusnya menyembunyikan sebagian besar ekspresinya, namun mata tajamnya tetap menyorot Dirga dengan penuh perhatian. Seolah-olah dia mengawasi setiap gerak-gerik Dirga. Dirga menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Bu Avia, saya sudah merapikan strategi pemasaran yang anda minta. Saya ingin membahas beberapa hal terkait dengan strategi pemasaran kita ke depan.” Avia hanya mengangguk pelan, tanpa memberikan ekspresi lebih. "Baik, kita mulai saja. Apa yang perlu kita bicarakan?" Dirga mengeluarkan laptopnya dan mulai menunjukkan data yang dia anggap penting. Namun, seiring berjalannya waktu, Dirga merasakan suasana semakin canggung. Avia tidak banyak bicara kecuali untuk memberikan instruksi atau mengomentari sesuatu yang tidak terlalu signifikan. Dirga merasa bahwa meskipun mereka berada dalam satu ruangan yang sama, mereka masih sangat jauh satu sama lain. Setelah beberapa menit berbicara, Dirga akhirnya menghentikan presentasinya. “Baik, lanjutkan sesuai rencana kamu, saya perlu melihatnya. Jangan hanya memaparkan teori saja, saya butuh bukti konkret,” ujar Avia seraya menatapnya dengan tatapan tajam. “Baik, Bu,” ucap semua peserta rapat. Tak menyangka rapat hari ini berjalan sangat lancar dan Avia tak banyak berbicara justru langsung menyetujuinya padahal biasanya selalu saja ada alasan untuk menolak usulan Dirga. “Rapat selesai, semua boleh meninggalkan ruang rapat,” ucap Avia sambil menutup laptopnya, para karyawan meninggalkan ruangan itu, hanya tersisa Dirga yang menghampiri Avia. “Kita perlu bicara,” ucap Dirga. Avia hanya mengedikkan dagunya. “Kita sudah bekerja bersama cukup lama sekarang, tapi kenapa kita selalu terasa begitu ... jauh? Aku enggak tahu kenapa? Tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang tertahan antara kita,” tutur Dirga mengungkapkan dengan hati-hati. Avia terdiam beberapa saat. Suasana di ruangan itu menjadi sangat hening. Tidak ada suara selain detak jam di dinding dan suara napas mereka yang semakin berat. Avia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu? Tidak ada yang bisa dia katakan, karena dia sendiri pun tidak mengerti. Mengapa dirinya selalu membangun dinding antara dirinya dan Dirga? Mengapa setiap kali mereka berbicara, dia merasa ada sesuatu yang menghalangi? “Apa yang kamu maksud dengan ‘terasa jauh’?” Akhirnya Avia menjawab, berusaha menjaga jarak dengan apa yang dirasakan Dirga. Dirga merasa sedikit kesal, tetapi dia menahan diri. “Aku enggak tahu, Avia. Aku hanya merasa, kita bisa lebih baik dalam bekerja sama jika kita enggak terus-terusan menjaga jarak. Apa yang kita hadapi ini bukan hanya pekerjaan, tapi juga hubungan profesional kita sebagai rekan kerja.” Avia mengangkat kacamata, meletakkannya di meja, dan menatap Dirga dengan tatapan serius. “Ini bukan masalah pribadi, Dirga. Kamu dan aku bekerja di sini untuk tujuan yang sama, untuk kesuksesan perusahaan ini. Itu saja.” Dirga menelan rasa frustrasi yang menggerogoti hatinya. “Tapi aku merasa kita bisa lebih dari itu. Kita bisa lebih dekat tanpa mengorbankan profesionalisme. Kalau kita bisa saling percaya, segalanya akan lebih mudah.” Avia terdiam. Kalimat-kalimat itu membuatnya tergugah. Apa yang sebenarnya dia takutkan? Mengapa setiap kali Dirga mencoba untuk lebih dekat, dia selalu menahan dirinya? Dan apakah mungkin dia juga merasakan hal yang sama, hanya saja enggan untuk mengakuinya? Avia hanya merasa perlu melindungi dirinya sendiri saat ini. Dulu, ketika dia yakin dengan perasaannya pada Dirga yang lebih dari teman atau saingan, secara tiba-tiba Dirga pergi, membuatnya merasa sangat kehilangan. Dan kini orang itu datang lagi tanpa rasa bersalah, atau mungkin Avia hanya tidak siap dengan alasan kepergian Dirga kala itu. Akhirnya, Avia memutuskan untuk menjawab dengan tegas, “Kita akan bahas itu nanti. Sekarang, mari kita lanjutkan rencana pemasaran kamu.” Dirga mengangguk, meskipun hatinya sedikit terluka. Dia tahu Avia sedang menghindari topik itu, dan entah kenapa, itu membuatnya semakin penasaran? Dirga melangkah keluar dari ruang rapat dengan perasaan campur aduk. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan, tetapi pikirannya terus kembali ke Avia. Ada sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan, sesuatu yang mengganggu dan membuatnya merasa bingung. Mengapa perasaan itu muncul, dan mengapa Avia selalu terlihat seperti tak ingin dekat dengannya. Bukankah mereka teman lama? Setidaknya Avia harusnya menganggap dia sebagai teman lamanya, Kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN