Malam itu, hujan turun deras di Jakarta. Kilat sesekali menyambar, membelah langit yang kelam. Rumah mewah bergaya minimalis yang biasanya hangat dan penuh canda tawa anak-anak kini terasa dingin, seperti ikut menyerap badai yang menggulung di dalam hati penghuninya. Pintu rumah terbuka perlahan. Avia melangkah masuk dengan langkah pelan namun berat. Sepatu hak tingginya membekas di marmer basah yang baru saja dipel bersih oleh Bibi Encun. Wanita itu menyambut dari dapur dengan raut penuh cemas. “Neng Avia ... baru pulang?” tanyanya hati-hati. Avia hanya mengangguk, lalu berjalan tanpa menjawab, membawa koper kecil dan tas selempangnya. Dia berhenti sejenak di tangga, menatap ke atas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lorong menuju kamar tamu di lantai bawah. “Aku tidur di bawah ma