Hari-hari berlalu dalam sunyi yang tidak biasa. Rumah besar yang dulu selalu dipenuhi suara tawa Ersha dan gurauan ringan antara Dirga dan Avia kini seolah hanya dihuni oleh bisikan kaku dan tatapan yang saling menghindar. Avia masih tidur di kamar tamu. Dirga pun tidak lagi mencoba mengetuk pintunya setiap malam seperti sebelumnya. Bukan karena dia menyerah, tapi karena dia tahu, ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Pagi itu, saat Avia turun ke dapur, dia menemukan meja makan sudah tertata rapi. Ada roti panggang, telur rebus, dan segelas jus jeruk. Semua makanan kesukaannya. “Selamat pagi,” sapa Dirga yang muncul dari arah dapur, mengenakan celemek memasak. Avia hanya menatapnya sekilas. “Pagi.” Dia duduk tanpa banyak bicara, mulai menyuap roti dengan perlaha