03 - Pengawal menyebalkan.

1739 Kata
Duel antara Dean dan Devian sudah selesai. Pertarungan di atas ring tinju tersebut dimenangkan oleh Dean, itu artinya Devian kalah. Saat ini, Dean sedang mengobrol dengan Brian, sedangkan di lain tempat, Devian sedang bersama dengan Devina. Devina sedang mengobati luka-luka lebam di wajah Devian. "Akh!" Untuk kesekian kalinya Devian merintih kesakitan, dan itu karena sang adik yang baru saja menekan luka di wajahnya dengan cukup kuat. "Sakit, Devina," desis Devian sambil menatap tajam Devina. "Maaf ya, Kak. Vina sengaja," kekeh Devina sambil tersenyum lebar. Devian sontak mendengus begitu mendengar ucapan Devina yang kelewat jujur, bahkan Devina terlihat sama sekali tidak merasa bersalah karena sudah menekan lukanya. "Vina, sudah selesai atau belum?" Devian dan Devina dengan kompak menoleh. Keduanya melihat Brian yang berdiri di ambang pintu dengan punggung bersandar dan kedua tangan bersedekap. "Sudah, Dad." Devina mulai merapikan kotak obat di hadapannya, sementara Devian mulai memperhatikan wajahnya yang babak belur dari kamera ponselnya. "Kak, bagaimana rasanya? Menyesal tidak karena sudah duel dengan Dean?" "Rasanya jelas sakit, Dad," keluh Devian dengan raut wajah masam. "Daddy kan bisa lihat sendiri kalau wajah Vian babak belur," lanjutnya sambil menunjuk luka lebam di wajahnya. Brian sontak terkekeh. "Padahal tadi Dean bahkan belum menggunakan seluruh kemampuan dan tenaganya, tapi kamu sudah babak belur, Kak." Devina yang mendengar ucapan Brian ternganga dibarengi dengan raut wajahnya yang terlihat shock. "Benarkah, Dad?" Brian mengalihkan pandangannya pada Devina, kemudian mengangguk. "Iya. Tadi, Dean belum menggunakan seluruh tenaga dan juga kemampuannya, Sayang." "Keren," tanpa sadar, Devina bergumam, memuji Dean. Devina antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan Brian, karena menurut Devina, tadi Dean sudah menggunakan seluruh kemampuan juga tenaganya untuk berduel dengan Devian. "Daddy tahu dari mana kalau tadi Om Dean tidak menggunakan seluruh kemampuan juga tenaganya?" Usia Dean sudah 28 tahun, sedangkan usia Devian saat ini masih di bawah 20 tahun, karena itulah, Devian memutuskan untuk memanggil Dean dengan Om Dean. "Daddy pernah melihatnya secara langsung, Kak, lebih tepatnya ketika Dean bertarung di ring tinju melawan seniornya dan seniornya kalah." "Om Lucas memang pandai dalam memilih orang." Devian berdecak, memuji skil Lucas yang pandai dalam memilih orang untuk menjadi seorang pengawal. "Daddy setuju sama ucapan kamu, Kak. Om Lucas memang pandai dalam memilih orang. Pada dasarnya, Dean memang pandai dalam bertarung, tapi setelah berada di bawah pelatihan Om Lucas, kemampuan Dean semakin berkembang pesat. Sekarang Dean bukan hanya pandai dalam bertarung, tapi pandai juga dalam menyusun strategi." "Dad, Kak, ngobrolnya di lanjut di mobil aja ya. Kita pulang sekarang, ini sudah malam." Devina berdiri, di susul oleh Devian yang juga ikut berdiri. Brian, Devian, dan Devina kembali pulang ke rumah. Saat ketiganya sampai di rumah, bertepatan dengan Brianna yang juga baru saja sampai di rumah. Seperti yang sudah Brian duga, Brianna seketika menjerit histeris begitu melihat wajah Devian yang babak belur. Brian meminta agar Devian menjelaskan alasan mengapa wajahnya babak belur. Devian mematuhi perintah Brian, dan menjelaskan alasannya pada Brianna. Brianna hanya bisa menggeleng. Brianna sebenarnya ingin memarahi Devian, tapi tak tega. *** Mulai hari ini, para pengawal Devian dan Devina mulai bekerja, termasuk Dean. "Selamat pagi, Tuan Brian," sapa Dean pada Brian yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Brian membalas sapaan Dean sambil meletakkan ponselnya di meja, kemudian meminta agar Dean duduk di hadapannya. "Silakan duduk, Dean." Dean menurut. "Anda memanggil saya, Tuan Brian?" tanya Dean sesaat setelah duduk di sofa. "Iya," jawab Brian sambil mengangguk. "Kamu sudah tahu kan apa saja tugas kamu, Dean?" Dengan penuh percaya diri, Dean mengangguk. "Iya, Tuan, saya sudah tahu apa saja tugas saya." Brian bukan hanya menugaskan Dean untuk menjaga Devina, tapi Brian juga meminta Dean agar merubah Devina menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jika ada yang bertanya, kenapa Brian atau Brianna tidak mencobanya? Jawabannya adalah, Brian dan Brianna sudah mencobanya, berulang kali, tapi selalu gagal. Ketika Brian dan Brianna mencoba tegas terhadap Devina, Devina selalu berhasil meluluhkan keduanya, sampai pada akhirnya, tak ada perubahan pada diri Devina. Sejak kecil, Devina selalu di manja, baik itu oleh kedua orang tuanya ataupun oleh kedua orang tua Brian juga Brianna, oleh karena itulah, Devina tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Apapun keinginannya selalu Brian dan Brianna ikuti, dan jika keinginannya tidak dituruti, maka Devina akan merajuk. Brian dan Brianna ingin agar Devina menjadi anak yang mandiri, tidak manja seperti sekarang ini. Oleh karena itulah, Brian meminta agar Dean merubah Devina, dan Brian berharap kalau Dean berhasil, tidak gagal seperti dirinya dan Brianna. Dean sudah tahu, apa saja yang boleh dan tidak boleh ia lakukan pada Devina. Brian sudah memberi tahu Dean bagaimana perangai Devina. Brian juga memberi tahu Dean, tentang apa saja yang Devina sukai dan tidak Devina sukai. "Ya sudah, sekarang kamu bangunkan Devina dulu, sepertinya dia belum bangun." "Baik, Tuan." Dean lantas berdiri, dan tak lupa untuk pamit terlebih dahulu. Saat ini, Dean sudah berdiri di depan pintu kamar Devina. Dean sudah mengetuk pintu kamar Devina sebanyak 3 kali, dan tidak ada tanggapan dari Devina. Hal itu membuat Dean yakin kalau Devina masih tidur. Dean memutuskan untuk memasuki kamar Devina. Tebakan Brian ternyata benar, Devina masih tertidur. Dean sudah berdiri di depan Devina yang tidur menyamping menghadap ke arahnya. Devina mulai menggeliat, dan entah Dean sadar sadar atau tidak kalau pria tinggi tegap tersebut kini tersenyum manis. "Cantik," puji Dean tanpa sadar. Dean akui, Devina memang cantik, tapi menurut Dean, Devina terlihat sangat cantik ketika tertidur pulas. Senyum di wajah tampan Dean hilang ketika melihat kelopak mata Devina mulai terbuka. "Akh!" Secara spontan, Devina menjerit, terkejut ketika melihat sosok pria di hadapannya. Dean tahu kalau Devina pasti akan menjerit, karena itulah Dean menutup kedua telinganya sesaat sebelum Devina menjerit. "Om ngapain ada di kamar aku?" Teriak Devina ketika yakin kalau pria di hadapannya adalah nyata, bukan sekedar ilusi. "Sudah saatnya bangun, Nona Devina. Hari ini, Nona harus kuliah," ucap Dean dengan raut wajah datar. Dean juga sudah tahu apa saja jadwal Devina untuk beberapa hari ke depan. Bukannya bangun, Devina malah membelakangi Dean sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Devina menggerutu, tak bisa menutupi rasa kesalnya ketika Dean malah memintanya untuk bangun tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaannya. Dean mulai menghitung dari 1 sampai 3, dan pada hitungan ke 3, Devina masih tetap berbaring di tempat tidur. Dean menghampiri tempat tidur Devina, dengan kuat, menyibak selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh Devina. Devina menoleh, menatap tajam Dean. "Dasar pria tua menyebalkan!" Teriaknya penuh emosi membara. "Berhentilah berteriak, Nona Devina, dan bergegaslah mandi. Jika Nona terlambat mengikuti kelas, maka saya sendiri yang akan menghukum, Nona." Dean mengatakan kalimat tersebut dengan raut wajah datar tapi tatapan matanya begitu tajam. Seketika Devina merasakan bulu kuduknya meremang, sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Entah kenapa, Devina yakin Jika Dean serius dengan peringatannya, dengan kata lain, Dean tidak sedang main-main dan memang akan menghukumnya jika sampai dirinya telat pergi ke kampus. Devina segera menuruni tempat tidur, berlari menuju kamar mandi sesaat setelah menginjak kaki kanan Dean. Injakkan yang Devina berikan pada Dean sama sekali tidak membuat Dean kesakitan. Dean hanya menggeleng, dan memilih untuk memanggil pelayan agar segera merapikan tempat tidur Devina. 30 menit adalah waktu yang Devina habiskan untuk mandi dan bersiap-siap. Lift yang Dean dan Devina naiki terbuka, sudah sampai di lantai yang keduanya tuju. Devina terlebih dahulu keluar dari lift, diikuti oleh Dean yang berjalan tepat di belakang Devina. Devina pergi menuju ruang makan untuk menikmati sarapan bersama dengan orang tuanya. Brian, dan Brianna sudah berada di ruang makan, duduk di kursinya masing-masing. Brianna menoleh ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Brianna menatap bingung Devina yang memasang raut wajah cemberut. "Sayang, kenapa wajahnya cemberut?" "Tidak apa-apa, Mom," sahut lemas Devina sesaat setelah duduk di kursinya. Dean mengikuti Devina memasuki ruang makan, dan berdiri tepat di belakang Devina. Brian menawari Dean untuk sarapan bersama, tapi Dean menolak halus tawaran Brian. 15 menit sudah berlalu. Brian dan Brianna sudah terlebih dahulu menghabiskan makanan mereka, sementara Devina masih berusaha untuk menghabiskan sarapannya. Menu sarapan hari ini adalah makanan kesukaan Devina, tapi entah kenapa, Devina sama sekali tidak nafsu makan. Selera makannya hilang, dan itu semua karena Dean. "Nona, habiskan makanannya!" titah tegas Dean ketika tahu kalau Devina tidak akan menghabiskan makanannya. Brian menggeleng sebagai isyarat agar Brianna membiarkan Dean mengurus Devina dan tidak membela Devina yang tidak akan menghabiskan makanannya. "Dasar pria tua menyebalkan." Untuk kesekian kalinya, Devina menggerutu dan gerutuan Devina di dengar oleh seluruh orang yang berada di ruang makan. Brianna hanya bisa menggeleng, sementara Brian malah terkekeh, dan Dean sendiri hanya menampilkan raut wajah datarnya. Dean sama sekali tidak ambil pusing dengan gerutuan Devina. Meskipun menggerutu, Devina tetap mematuhi perintah Dean. Dengan cepat, Devina menghabiskan makanannya. Tak sampai 5 menit kemudian, makanan di piring Devina habis. Devina tidak mau telat pergi ke kampus, jadi setelah makanannya habis, Devina segera pamit pada kedua orang tuanya. Setelah menempuh perjalanan selama hampir 10 menit, mobil yang Dean dan Devina tumpangi akhirnya sampai di tempat tujuan. Dean dan Devina memang menggunakan 1 mobil yang sama. Dean duduk di kursi kemudi, sementara Devina duduk di samping Dean. Awalnya, Devina ingin duduk di kursi belakang, tapi dengan tegas, Dean melarang Devina untuk duduk di belakangnya. Kedua pengawal Devina yang lainnya, yang tak lain tak bukan adalah bawahan Dean berada di mobil yang berbeda. Mobil yang Arion dan Han tumpangi berada tepat di belakang mobil yang Dean dan Devina tumpangi. Mobil Dean sudah berhenti di tempat parkir, begitu juga dengan mobil yang Han kendarai. "Nona, mulai sekarang, biasakan untuk membuka sendiri pintu mobilnya, jangan manja," ucap Dean sesaat sebelum keluar dari mobil. Devina mendengus, tapi tak ayal menuruti perintah Dean. Dengan malas, Devina keluar dari dalam mobil, dan menutup pintu mobil dengan kuat. Dean menatap tajam Devina, tapi Devina memilih untuk mengabaikan tatapan tajam dari Dean. "Nona, saya akan menunggu di sini. Setelah selesai kuliah, segeralah datang, jangan pergi ke tempat lain!" Dengan tegas, Dean memberi Devina peringatan. "Iya, iya," sahut Devina sambil mengibaskan rambut panjangnya sampai akhirnya ujung rambutnya mengenai wajah Dean. "Nona," desis Dean tajam. Devina menoleh sambil tersenyum lebar. "Ups! Maaf ya, Om, aku memang sengaja melakukannya." Dean mendengus, tahu kalau Devina memang sengaja melakukannya. "Makanya, Om jangan jadi orang menyebalkan." Tanpa menunggu tanggapan dari Dean, Devina pergi memasuki tempat di mana dirinya akan menimba ilmu. Dean hanya bisa menghela nafas panjang, sementara Arion dan Han malah tertawa ketika tadi melihat ulah Devina pada Dean. Baiklah, sepertinya mulai sekarang, Arion dan Han akan melihat kesabaran Dean yang di uji oleh Devina. Sepertinya, Dean dan Devina akan lebih sering terlibat dalam pertengkaran ketimbang akurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN