02 - Pria menggoda.

1611 Kata
Saat ini, Devian sudah berdiri di depan kamar sang adik kembar, Devina. Pintu kamar Devina berbeda dengan pintu kamar yang lain. Pintu kamar Devina paling mencolok karena warna pintunya adalah putih, sedangkan pintu kamar yang lain berwarna hitam. Devina tidak menyukai warna hitam, karena itulah meminta agar pintu kamarnya berwarna putih. Devina sangat menyukai warna putih, warna yang melambangkan kesucian. Devian mengetuk pintu kamar Devina, tak lupa untuk memanggil adiknya tersebut. Jika dalam kurun waktu 1 menit Devina tidak kunjung menyahut panggilannya, maka Devian akan menerobos memasuki kamar Devina. Tak berselang lama kemudian, terdengar teriakan dari Devina yang meminta Devian untuk menunggu sebentar. Devian mundur 2 langkah begitu mendengar suara pintu kamar yang terbuka lebar. Devian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan, lalu tersenyum lebar begitu pintu di hadapannya terbuka, memperlihatkan Devina yang sepertinya baru saja selesai mandi. "Ada apa, Kak?" "Kamu mau ikut gak?" "Ikut ke mana?" "Daddy dan Kakak akan bertemu dengan para pengawal yang mulai besok akan menjaga kita, kamu mau ikut?" Devina menggeleng, menolak untuk ikut. "Enggak ah, ngapain ikut?" "Yakin enggak mau ikut? Kamu gak mau lihat pengawal yang mulai besok akan menjaga kamu?" Devina tidak langsung menjawab pertanyaan Devian. Saat ini Devina sedang berpikir, lebih baik ikut atau tidak ikut. "Ya sudah, Devina ikut deh." Setelah lama berpikir, akhirnya Devina memutuskan untuk ikut bersama dengan Brian dan Devian. "Ganti dulu baju kamu, kita berangkat sekarang." "Ok, Kakak tunggu di bawah ya. 10 menit lagi Devina turun." "Ok. Tolong jangan lama-lama ya, kalau lama nanti ditinggal!" "Iya, Kak. Devina hanya akan mengganti pakaian Devina." Devian pamit undur diri, sedangkan Devina segera pergi menuju walk in closet untuk berganti pakaian. Seperti yang sudah di janjikan, Devina hanya butuh waktu tak lebih dari 10 menit untuk berganti pakaian. Saat ini Devina sudah berada di ruang keluarga bersama dengan Brian dan Devian. Devina mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah mansion, mencari di mana keberadaan Brianna. "Dad, Mommy enggak ikut pergi?" "Mommy tidak akan ikut, karena Mommy ada acara lain." "Oh begitu," gumam Devina, paham. "Ya sudah, ayo kita berangkat." "Ayo." Brian merangkul Devina dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya merangkul Devian. Devian dan Devina sama sekali tidak menolak. Keduanya malah balas melingkarkan tangannya di pinggang Brian. Hanya butuh waktu tak lebih dari 10 menit untuk Brian, Devian, dan Devina sampai di tempat yang mereka tuju. "Wow, gedungnya bagus banget." Devina tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya begitu melihat gedung pencakar langit yang ada di hadapannya. Gedung tersebut tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 15 lantai, tapi tetap saja, gedung di hadapannya ini sangat luar biasa indah, tak kalah indahnya dengan gedung-gedung pencakar langit yang lainnya. "Kamu kan tahu kalau Daddy mempunyai selera yang tinggi, jadi wajar saja kalau gedung ini sangat bagus." Devina meringis. "Kakak benar, selera Daddy memang tinggi." Brian yang mendengar obrolan antara Devian dan Devina hanya terkekeh. Brian menuntun kedua anak kembarnya memasuki gedung. Lagi-lagi Devian dan Devina di buat kagum dengan arsitektur dalam gedung yang bergaya modern, tapi tetap terlihat klasik. Sebelum memasuki gedung, ada banyak sekali penjaga yang berjaga di luar gedung. Saat memasuki gedung, penjaganya jauh lebih banyak. Seperti para penjaga pada umumnya, mereka semua memiliki tubuh yang kekar, dan sudah bisa di pastikan kalau mereka pandai dalam berkelahi juga menggunakan senjata. Mereka semua menunduk hormat begitu melihat kedatangan Brian bersama dengan kedua anak kembarnya. Brian menempelkan telapak tangannya pada alat pemindai, dan tak berselang lama kemudian, lift terbuka. Ketiganya lantas memasuki lift tersebut. "Mereka ada di mana, Dad?" Mereka yang Devina maksud adalah para pengawal yang nanti akan menjaganya dan Devian. "Sepertinya mereka berada di ruang gym, kita akan ke sana." Brian lalu menekan tombol 10, tempat di mana ruang gym berada. Tak berselang lama kemudian, lift terbuka, itu artinya mereka sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan detik. Begitu keluar dari lift, Brian, Devian, dan Devina bisa mendengar suara dari orang-orang yang tentu saja sedang berolahraga. Ada yang sedang memukul sam sak tinju, ada juga yang sedang bertarung di ring tinju, ada yang sedang angkat beban, ada yang sedang melakukan push-up, dan lain sebagainya. Ada banyak sekali orang, mungkin lebih dari 20 orang. Mereka saling menyemangati satu sama lain. "Apa mereka selalu berlatih setiap hari, Dad?" "Rata-rata dari mereka adalah anak baru, karena itulah mereka sering berlatih untuk mengasah kemampuan mereka." Devian dan Devina menyimak dengan seksama penjelasan yang Brian berikan. Devina terus memperhatikan setiap orang yang sedang berlatih, baik itu di ruangan bagian kanan ataupun di ruangan bagian kiri. Dinding dari kedua ruangan tersebut adalah kaca, karena itulah orang yang berada di luar ruangan bisa melihat aktivitas dalam ruangan tersebut dengan jelas. Perhatian Devina akhirnya terfokus pada seorang pria yang sedang melakukan sit-up dengan tubuh bagian atas tang toples. Devina bisa melihat dengan jelas saat pria itu mengatur irama pernafasannya, saat itulah Devina bisa melihat dadanya yang bergerak naik turun. Tubuh pria itu sudah penuh dengan keringat, tapi Devina sama sekali tidak merasa jijik. Devina malah merasa kalau pria itu sangat seksi, sampai rasanya ia ingin melap keringat yang membasahi tubuh bagian depan si pria. "Astaga, gue mau pegang perutnya yang berotot!" Jerit Devina dalam hati. Tanpa sadar, Devina menggigit bibir bawahnya, dan mengucapkan kalimat yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. "Ugh, kenapa dia sangat tampan, dan juga seksi?" "Dad," panggil lirih Devina seraya menarik ujung jaket kulit Brian. "Iya, Sayang, kenapa?" tanya Brian sambil menolehkan kepalanya pada Devina. "Siapa nama pria itu?" Devina akhirnya memberanikan diri bertanya, tak lupa untuk menunjuk pria yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya. "Namanya Dean Alexius Ivander, usia dia 28 tahun, dan dia adalah salah satu pengawal kamu." Dengan cepat Devina menatap Brian yang juga sedang menatapnya. "Dia salah satu pengawal Devina?" ulangnya, memperjelas. "Iya, dia pengawal kamu. Kenapa? Apa kamu tidak suka? Kalau kamu tidak suka maka Daddy akan menggantinya. Atau kamu bisa memilih sendiri pengawal mana yang kamu sukai." Dengan cepat, Devina menggeleng. "Enggak kok, Dad. Devina sama sekali tidak masalah jika dia akan menjadi pengawal Devina, dan sepertinya dia bisa melindungi Devina." Devina ingin sekali menjerit, luar biasa senang ketika tahu kalau ternyata Dean adalah salah satu pengawal pribadinya. Omg! Rasanya Devina ingin sekali beteriak, memberi tahu semua orang kalau ia sangat senang Dean akan menjadi salah satu pengawalnya. Jadi, ia tidak akan meminta Brian untuk menggantikan Dean. "Dia yang terbaik di antara yang lainnya. Itulah alasan kenapa Daddy memilih dia untuk menjadi pengawal kamu." Brian mengusap lembut kepala Devina. Kedua mata Devina membola dengan sempurna. "Dia yang terbaik?" tanyanya dengan raut wajah shock. "Iya, Sayang. Dia yang terbaik. Dean itu pandai dalam menggunakan senjata, berkelahi, mengatur strategi, dan tetap bisa berpikir jernih meskipun dalam situasi genting sekalipun." Penjelasan dari Brian berhasil membuat Devian tertarik pada sosok Dean. Devian jadi bertanya-tanya, sehebat apa Dean? Sampai-sampai Brian yang biasanya jarang memuji orang sampai bisa mengeluarkan banyak sekali pujian untuk Dean. Devian lantas memfokuskan pandangannya pada Dean yang masih berolahraga. "Dad." Brian sontak menatap Devian yang baru saja memanggilnya. "Apa, Kak?" "Boleh gak kalau Kakak sama Om Dean adu tanding di atas ring tinju?" "Kamu yakin? Dean adalah salah satu petarung terbaik di antara yang lainnya. Meskipun dia masih muda, tapi sudah banyak sekali senior yang berhasil dia kalahkan." Ya, sehebat itulah Dean. Brian juga mengucap banyak sekali terima kasih pada Lucas karena sudah rela melepas Dean. Brian tahu kalau pada awalnya, Lucas enggan untuk melepas Dean. Beberapa bulan yang lalu, Brian mengunjungi Lucas, di sanalah untuk pertama kalinya, Brian melihat Dean bertarung. Saat itu, Dean berhasil mengalahkan banyak sekali seniornya. Detik itu juga Brian tertarik pada Dean, lalu meminta Lucas agar mau melepas Dean. Awalnya Lucas tidak mau karena Dean adalah salah satu petarung terbaik miliknya, tapi begitu Brian mengatakan kalau Dean akan bertugas untuk menjaga Devina, Lucas akhirnya melepas Dean. "Kakak yakin, Dad." Devian menyahut dengan tegas, yakin dengan kemauannya sendiri. "Baiklah, ayo kita temui Dean." Brian pergi menuju tempat Dean berlatih, diikuti oleh Devian dan juga Devina yang berjalan tepat di belakangnya. Dean tidak menyadari kehadiran Brian, Devian, dan juga Devina yang saat ini sudah berdiri di belakangnya. "Dean!" Dean menghentikan sejenak kegiatannya, lalu menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat siapa orang yang baru saja memanggilnya. Dean merasa tidak asing begitu mendengar suara tersebut, dan ternyata dugaannya memang benar, Brianlah yang baru saja memanggilnya. Dean beranjak dari duduknya, lalu mengambil kaos hitam polos miliknya yang berada tepat di samping kanannya. Setelah itu, barulah Dean menyapa Brian. Sekilas Dean melihat gadis yang berdiri di samping kanan Brian, gadis yang sejak tadi terus menatapnya secara terang-terangan, sebelum akhirnya melihat sekilas pria yang berdiri di samping kiri Brian. Wajah keduanya kembar, dan saat itulah Dean sadar kalau keduanya adalah anak kembar Brian yang bernama Devian dan Devina. Itu artinya, mulai besok ia akan menjadi pengawal gadis yang berdiri di samping kanan Brian. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Brian?" Dean bertanya sopan, atensinya kembali tertuju pada Brian. Tidak ada senyum manis yang menghiasi wajah Dean, karena raut wajah Dean sangat datar. Brian sudah tahu bagaimana karakter Dean, jadi sama sekali tidak merasa tersinggung ketika Dean memberinya raut wajah datar. "Devian ingin bertanding dengan kamu, apa kamu keberatan?" Brian yakin kalau Dean sama sekali tidak akan merasa keberatan. "Sama sekali tidak, Tuan." Jawaban yang Dean berikan sesuai dengan tebakan Brian. Dean sama sekali tidak menolak. "Jangan sungkan meskipun dia anak saya," kekeh Brian seraya menepuk bahu kanan Dean. Dean mengangguk. "Baik, Tuan." Mereka berempat lantas pergi menuju ring tinju, tempat di mana Dean dan Devian akan bertarung. Seperti yang tadi Brian katakan, Dean tidak akan segan-segan pada Devian, tapi tentu saja ia tidak akan menyerang Devian jika saja Devian sudah meminta ampun. Selama Devian belum meminta ampun, maka Dean akan terus menyerangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN